Vanesha terbangun karena belum dapat menyesuaikan jam tidurnya. Jam 3 pagi waktu New York, tapi mata Vanesha merasa masih segar karena jam segini di Jakarta atau Melbourne pasti masih sore hari.
Dia memandang Iqbaal yang tertidur pulas di sebelahnya.
Mereka sampai di New York dua hari yang lalu. Tentu saja, Iqbaal membeli tiket untuk bulan madu ke New York, sesuai dengan keinginan Vanesha. Oh, dan tiga tiket untuk nonton pertunjukkan Broadway di bulan madu mereka.Salah satu alasan Vanesha bersikukuh ingin ke New York adalah Broadway. Karena, sekalipun mereka meninggalkan teater, baik Iqbaal maupun Vanesha, masih mencintai teater. Dan mimpi untuk melihat pertunjukkan teater di Broadway, adalah mimpi semua pencinta teater, termasuk mereka.
Vanesha mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Memeriksa beberapa pesan masuk kebanyakan dari teman-teman, dan dari Rie, rekan kerjanya. Meskipun Vanesha sedang cuti, dia berpesan pada Rie untu selalu mengabarinya mengenai perkembangan project mereka.Ingat kan, Vanesha bekerja dalam sebuah tim untuk project series terbaru perusahaannya? Mereka berencana untuk membuat 3 warna, tapi satu warna terakhir gagal dan material-nya baru restock tepat saat deadline?
Mau ga mau, Vanesha dan tim merelakan hanya 2 warna saja yang dapat launching, mereka mengubah beberapa iklan, promosi, dan strategi marketing. Begitulah. Kadang apa yang sudah kita rencanakan dan pikirkan baik-baik, tidak selalu berjalan dengan lancar.
Oh ya, series lipstick itu mendapat perhatian yang lebih di pasar, jadi sekarang, tim project diminta untuk upgrade membuat produk lainnya.
Ketika sesuatu berjalan tidak baik, Vanesha percaya selalu ada hal baik yang akan mengikutinya, selama ia tidak putus asa. Dan dengan demikian, dia merasa bahwa salah satu mimpinya semakin dekat. Ia ingin punya brand atau product hasil karyanya sendiri.
Sambil membalas pesan dari Rie, Vanesha melihat pop up notifikasi muncul di layar ponselnya.
Sepersekian detik setelah membaca notifikasi itu, Vanesha terdiam. Dia kemudian menatap Iqbaal yang masih tertidur di sebelahnya, lalu menatap kembali ke ponselnya, lalu menghela nafas berat. Perasaannya tidak enak.
Vanesha menyibak selimut, mengambil kaos milik Iqbaal yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya untuk menutupi tubuhnya yang tanpa busana. Vanesha berjalan perlahan ke arah koper miliknya, mencari-cari barang yang ia simpan di antara tumpukan pakaian dalam, yang entah kenapa dibawa olehnya untuk berjaga-jaga.Tidak, ia memang sengaja membawa ini di kopernya karena intuisinya mendorong dirinya untuk berjaga-jaga.
Apakah dia harus menggunakan ini? Sekarang ?
Vanesha menemukan benda yang dicarinya, lalu menuju ke kamar mandi.
Beberapa menit berlalu Vanesha di kamar mandi. Dia menatap tak percaya pada benda yang kini berada di tangannya. Dengan perasaan berkecamuk, Vanesha keluar dari kamar mandi lalu menuju ke arah kasur. Dia meletakkan benda kecil di tangannya itu di atas meja samping tempat tidur.
“Iqbaal! Bangun! Baal! Bangun!”
Vanesha mengambil bantal dari bawah kepala Iqbaal, menyebabkan kepala Iqbaal membentur kasur, lalu dia memukul punggung Iqbaal dengan kencang.
“Iqbaal! Bangun! Heii!” Vanesha mengguncang tubuh Iqbaal dengan keras, tangannya masih memukul Iqbaal dengan bantal.
“Jangan molor mulu, banguuuun!”
Iqbaal tampak terganggu dengan punggungnya yang dipukul dengan keras oleh Vanesha, dia berusaha membuka matanya.
“Apaan sih, Yang? Kamu kenapa kasar banget?” tanya Iqbaal bingung.
“Bangun dulu”, Vanesha berusaha membuat Iqbaal berbalik. Iqbaal bangun dari tidurnya, matanya terlihat sepet. Dia duduk dan bersender di ujung ranjang.
“Jam berapa ini? Kamu kok udah bangun?” tanya Iqbaal dengan suara parau, “Nggak capek apa tadi malam?”
“Udah sadar belom?” Vanesha memilih tidak menjawab pertanyaan Iqbaal. Dia duduk di sebelah Iqbaal.
Iqbaal hanya mengangguk. Nyawanya belum terkumpul semua.
“Ihhhh aku benci banget sama kamu! Benci! Benci! Benci!!” Vanesha kembali memukul dada Iqbaal, yang sedang tanpa busana, dengan kencang.
Pukulan Vanesha yang cukup kuat, membuat nyawa Iqbaal langsung terkumpul semua. Ia meringis.
“Sha? Sayang? Aduh, kenapa sih? Kenapa aku dipukul sih?”
Iqbaal berusaha menepis tangan Vanesha yang memukulnya, berusaha melindungi dadanya dari amukan tangan Vanesha, sambil masih bingung kenapa tiba-tiba Vanesha memukulnya padahal baru beberapa jam yang lalu mereka masih bermesraan di atas tempat tidur.
“Kamu emang pantes dipukul!”Vanesha masih berusaha memukul dada Iqbaal, atau ke lengannya, atau ke perutnya, “Ini gara-gara kamu!”
“Sha? Apaan sih? Hm?” Iqbaal kali ini tidak menghindari pukulan Vanesha, dia menangkap tangan Vanesha yang berusaha memukulnya, “Kenapa? Aku salah apa? Tadi malam nggak enak?”
Vanesha mendengus mendengar ucapan Iqbaal, ia mengerahkan tenaganya untuk melepaskan tangannya dari tangan Iqbaal, “Bukan ituuu”
“Terus kamu kenapa? Tiba-tiba ngamuk begini?”
Vanesha berusaha mengatur deru nafasnya yang sedari tadi penuh amarah, perlahan lebih teratur. Iqbaal melihat Vanesha yang sepertinya sudah lebih kalem, lalu mengendurkan genggamannya pada tangan Vanesha.
“Lepasin dulu tangan aku”, ucap Vanesha.
“Tapi janji jangan mukul aku lagi. Sakit, yang”
Vanesha mengangguk. Iqbaal melepaskan perlahan genggaman tangannya. Vanesha menghela nafas sekali lagi, lalu menjulurkan tangannya untuk mengambil benda kecil yang sedari tadi ia letakkan di atas meja itu.
Ia memberikan benda kecil itu kepada Iqbaal.
Iqbaal yang bingung, mengambil benda kecil tersebut lalu menatapnya dengan lekat. Dia tentu pernah melihat benda kecil ini. Dia tentu tahu arti dua garis merah di benda tersebut.
“Kamu… hamil?”
“Gara-gara kamu!!!” Vanesha kembali memukul lengan dan dada Iqbaal, “Aku udah bilang buat pakai kondom tapi kamu nggak mau dengar!”
“Hei.. hei…”, Iqbaal berusaha menghindar dari serangan pukulan Vanesha, “Sayang, bukannya ini berita baik kalo kamu hamil?”
“Iya, tapi kita baru nikah dua hari yang lalu, Baal!” Vanesha setengah berteriak, “Aku kan udah bilang buat pakai pengaman tapi kamu malah kelepasan mentang-mentang mau nikah. Ngeseliiiin!” Vanesha kembali memukul tubuh Iqbaal.
Iqbaal tertawa, menghindari pukulan Vanesha, berusaha memeluknya.
“Ini namanya aku jago, baru dua hari nikah, istriku langsung hamil!”
Vanesha meronta berusaha melepaskan pelukan Iqbaal, “Ngeselin banget kamu emang. Ini namanya nabung duluan, dasar mesum!”———————————————————
Hehe. Bonus dikit. Janji ini terakhir.
Nanggung ya, epilog-nya?
😬
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST IN TIME
General FictionKatanya, kebetulan yang terjadi berulang-ulang, adalah takdir. Writer's Note : Hai, first timer here! Semoga cerita ini bisa diterima dan bisa buat bahagia hehe. Jadi, cerita ini benar terinsiprasi banget dari Iqbaal dan Vanesha, tapi pengembangan...