20.b

587 52 15
                                    

Sepertinya Melbourne sedang galau. Dalam minggu ini entah berapa kali hujan turun dengan derasnya, seperti hari ini hujan masih turun dengan derasnya dari subuh tadi.

Lusa Iqbaal akan kembali pergi ke New Zealand buat seminggu. Kunjungan terakhir Iqbaal ke sana sebelum pernikahan. Jadi weekend pagi ini, seperti biasa, Vanesha menghabiskan waktu di apartemen Iqbaal. 

Ketika sampai di apartemen Iqbaal, Vanesha sudah melihat sebuah koper yang sudah tergeletak rapi di dekat pintu apartemen. Apartemen Iqbaal sudah terlihat begitu kosong, beberapa barang sudah dipindahkan ke rumah mereka, sementara sisanya mungkin akan diangkut minggu depan, selepas Iqbaal dari NZ.

Vanesha masuk ke dalam kamar Iqbaal dan menemukan Iqbaal sedang berkonsentrasi bermain dengan console game miliknya.

“Hallooo?” Vanesha berteriak dari depan pintu. Iqbaal menoleh dan tersenyum lebar.

“Kamu udah sampai?”

“Ya udahlah, badannya udah disini”, Vanesha berjalan masuk ke dalam kamar, “Main game dari kapan?”

“Abis subuh, beresin koper, terus main game”, ucap Iqbaal tanpa melepaskan pandangannya dari game miliknya.

“Udah sarapan belum?”

“Belum”

“Mau makan apa mau main game terus?”

“Lagi nanggung, Yang, bentar ya”, ucap Iqbaal tanpa menoleh ke arah Vanesha.

Vanesha tidak berkata apa-apa lagi kemudian keluar dari kamar dan menuju dapur. Ia lalu menyiapkan sepotong roti panggang, scrambled egg, dan secangkir kopi hangat. Dia menuju kamar Iqbaal, dan melihat Iqbaal masih asyik bermain game.

“Mau sarapan di kamar apa di meja makan?” tanya Vanesha.

Sebenarnya, Vanesha berulang kali meminta Iqbaal untuk memindahkan console game nya dari kamar ke ruang tamu karena meskipun Iqbaal bisa dengan mudah langsung dapat main game kalau sedang bosan, tapi posisi main game di atas kasur kadang membuatnya lupa diri. Dan Iqbaal juga hanya memegang console game-nya di weekend seperti ini sih, jadi Vanesha juga tidak ingin melarang-larangnya. Pria itu bahkan kadang terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sampai sering kali lupa untuk bersenang-senang.

“Sebentar”, Iqbaal menjawab pertanyaan Vanesha, tapi tidak nyambung.

Vanesha mengerlingkan matanya kesal, lalu berjalan ke arah dapur, dan membawa sarapan yang ia siapkan tadi ke dalam kamar Iqbaal.

“Makan dulu”, Vanesha menyodorkan roti panggang yang sudah ia tambahi dengan scrambled egg, ke depan mulut Iqbaal. Iqbaal membuka mulutnya, lalu menggigit roti tersebut, lalu mengunyahnya. Begitu seterusnya sampai roti, telur, dan kopi tersebut habis.

“Cari dimana coba calon istri yang kayak aku gini”

Iqbaal tertawa lalu mengecup pipi Vanesha, “Nggak ada, makanya aku maunya kamu. Makasih ya, Sayang”

Nggak peduli jika orang-orang menghakimi Vanesha terlalu cepat luluh dengan ucapan Iqbaal, tapi bagi Vanesha, dia percaya setiap ucapan Iqbaal dan setiap ucapan Iqbaal begitu terdengar tulus.

Vanesha keluar dari kamar Iqbaal, menuju dapur, membereskan peralatan masak dan piring kotor, lalu memilih untuk duduk di ruang tamu seraya membuka tab-nya.

Vanesha menatap tab-nya, sedang mencari beberapa perabotan untuk ditaruh di dalam rumah mereka nanti. Rumah yang sudah disiapkan Iqbaal, dan Vanesha sudah melihat rumah itu beberapa minggu setelah Iqbaal melamarnya.

Saat itu, Vanesha tidak bisa berkata apa-apa karena dia merasa sangat bahagia dan terharu melihat rumah itu. Rumah dengan banyak jendela, dan sebuah kolam renang, persis seperti denah yang bertahun-tahun lalu Iqbaal gambar, persis seperti keinginan Vanesha. Ternyata, Iqbaal masih ingat dengan mimpi dan obrolan mereka dulu yang terdengar hanya bercanda, tapi kini menjadi kenyataan.

Itu sebabnya orang-orang seringkali bilang, hati-hati dengan apa yang kau ucapkan dan harapkan, mungkin suatu hari akan terkabul.

Rumah itu, terwujud setelah obrolan santai mereka nyaris tujuh tahun yang lalu. Semesta memang penuh dengan kejutan, ya.

Vanesha ingat persis, sore itu, ketika Iqbaal membawanya ke sub-urban Mebourne. Katanya dia perlu bantuan Vanesha. Ternyata bantuan yang ia butuhkan adalah untuk mengisi perabotan sesuai dengan keinginan Vanesha.

We’re gonna live here, sampai kempot, sampai kita nggak bernafas lagi”, ucap Iqbaal, “Gimana? Suka?”

Vanesha mengangguk, lalu memeluk Iqbaal erat. Dan sejak saat itu, Vanesha dan Iqbaal mulai menyicil beberapa perabotan untuk dimasukkan ke dalam rumah. Sampai hari ini. Vanesha belum menemukan kursi yang cocok untuk meja makan mereka.

Cukup lama Vanesha memilih dan membanding-bandingkan beberapa kursi dan perabotan lainnya lewat website, ketika dia mendengar suara petir menggelengar di luar sana. Tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti, dan cuaca menjadi sangat dingin.

JUST IN TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang