Iqbaal melirik ke arah Vanesha yang duduk diam di sebelahnya. Sejak jalan dari kampus hingga naik ke trem, mereka berdua hanya diam, tidak banyak bicara.
“Sha”, panggil Iqbaal pelan.
Vanesha menoleh, menunggu Iqbaal melanjutkan ucapannya.
“Seberapa sering kamu masih berhubungan sama Bunda?”Vanesha mengalihkan pandangannya ke arah luar, “kan aku nggak harus putus silaturahmi juga kan ke keluarga kamu?” ucapnya tanpa memandang langsung ke arah Iqbaal. Iqbaal menatap pantulan wajah Vanesha di kaca.
“Terus karena aku punya pacar, kamu silaturahmi nya jadi putus?”Vanesha menghela nafas pelan, “Ya nggak enaklah, Baal. Nanti orang-orang tanggapannya apa coba kalau aku masih intens berhubungan sama Bunda? Lagipula kan nggak putus silaturahmi, frekuensinya aja yang berkurang”
“Memang orang-orang pada tahu gitu? Aku aja nggak tahu, kalau Bunda tadi ngga ngomong”
“Ya mungkin Bunda rasa kamu juga nggak perlu tahu selama ini”Iqbaal terdiam. Ia menatap lurus ke depan, tak lagi menatap ke arah pantulan wajah Vanesha di kaca.
“Masih suka teater?”
Vanesha menoleh ke arah Iqbaal, “kenapa tiba-tiba tanya soal teater?”
“I’m kinda miss it”
“Tapi kamu nggak pernah datang buat berkunjung setiap kali pulang ke Jakarta?”
“Too little times, too many things to do. Biasanya kalau pulang harus ikut acara ini itu, tiba-tiba udah harus balik ke Melbourne aja”
“Bukan karena menghindari aku, kan?”Iqbaal terkejut mendengar pertanyaan Vanesha, karena satu, dia tidak menyangka Vanesha akan bertanya langsung seperti itu, dan kedua, karena pertanyaan itu terdengar seperti jawaban. Well, tidak seratus persen benar, tapi alasan terbesar Iqbaal tidak pernah main ke teater Semesta adalah karena begitu banyak kenangan dirinya bersama dengan Vanesha, baik ataupun buruk.
“Te—tentu saja tidak. Kenapa kepikiran begitu?”
“Bukan aku yang mikir begitu, hampir semua orang di teater Semesta mikir begitu. Jadi, aku nggak pernah ke teater Semesta lagi setiap kali pulang ke Jakarta. They still talk about us, meskipun itu udah berlalu bertahun-tahun”
“Orang bakal ngomong apa aja sih, seakan-akan mereka tahu semuanya”“Iya. Aku kangen teater. Tapi sejak kuliah, kayaknya waktu yang aku habisin buat belajar udah cukup melelahkan, jadi nggak pernah kepikiran mau ikut teater atau apalah di sini”, Vanesha akhirnya menjawab pertanyaan Iqbaal.
“Pernah nonton teater di sini?”
Vanesha menggeleng.
“You should, one day. Kalau ada info soal teater yang menyenangkan, nanti aku info ya”
“Oh, okay”
“Terus, gimana persiapan birthday partymu?”
“Hah? Oh, birthday party bukan aku yang urus tapi teman ku. She’s such a good party planner, tanpa dibayar, so ya aku serahin semua ke dia. No complain”
“Mau hadiah apa buat ultah?”Vanesha mengernyitkan dahinya, lalu menatap Iqbaal, “Pertanyaan yang aneh”, ucapnya seraya tertawa, “tapi yang anehnya juga, semakin ke sini, aku nggak terlalu peduli orang kau hadiahin aku atau nggak. Usia kepala dua emang beda ya sama teenager. Ingat nggak, dulu aku bisa ngambek karena nggak dikasih hadiah?” Vanesha tertawa, “Sekarang sih terserah aja, aku nerima apapun yang dikasih ke aku. Meskipun sebenarnya aku berharap dikasih tas tahun ini”
Iqbaal tertawa, “Dasar”
“Ya tapi kalau nggak ada yang mau ngasih juga gapapa sih, nggak ngarepin juga. Kalau ada yang ngasih tas, ya, alhamdulillah. Udah kodein ke Amel buat ngasih tas, tapi gatau dia beneran mau ngasih apa nggak”
Tidak ada yang berbicara lagi setelah itu. Ada perasaan aneh di diri Vanesha. Ini adalah percakapan panjang mereka setelah lebih dari satu tahun tanpa komunikasi. Tapi, berbicara dengan Iqbaal, sedari dulu, adalah hal yang menyenangkan, Vanesha akui itu. Dia pendengar yang baik, setiap kali Vanesha berbicara, dia merasa diterima.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST IN TIME
Fiction généraleKatanya, kebetulan yang terjadi berulang-ulang, adalah takdir. Writer's Note : Hai, first timer here! Semoga cerita ini bisa diterima dan bisa buat bahagia hehe. Jadi, cerita ini benar terinsiprasi banget dari Iqbaal dan Vanesha, tapi pengembangan...