15.b

518 56 4
                                    

Orang tua Iqbaal sampai di rumah sakit siang hari. Saat itu Vanesha sudah mandi dan bebersih karena Gio dan Leah menawarkan untuk menjagai Iqbaal. Iqbaal belum juga sadar. Tadi pagi tim dokter sudah datang dan melakukan pemeriksaan.

Menurut mereka, tanda-tanda vital Iqbaal terlihat baik, jadi hanya menunggu waktu saja sampai ia bangun. Tapi sampai siang ketika orang tuanya hadir, Iqbaal tak kunjung bangun.

Bunda meminta Vanesha untuk beristirahat kembali ke hotelnya, meskipun Vanesha berulang kali menolak, dia akhirnya menyerah. Vanesha kembali ke hotelnya, mengurus perpanjangan waktu inap nya selama sepuluh hari berikutnya, sesuai perkiraan dokter untuk waktu penyembuhan Iqbaal.

Vanesha ingin sekali tidur dengan nyenyak siang itu, tapi ia tidak bisa. Ia menelepon Mama dan Kak Sissy untuk menceritakan kegundahan hatinya. Setidaknya, keluarganya bisa memberikannya kenyamanan dan membiarkan hatinya penuh dengan rasa tenang.

Vanesha akhirnya bisa menikmati tidur satu jam sebelum akhirnya dia terbangun karena telepon dari Bunda yang menginformasikan bahwa Iqbaal sudah siuman. Vanesha segera beranjak menuju kamar mandi, mempersiapkan diri dan menuju rumah sakit kembali.

Ayah akan kembali langsung malam ini karena besok sudah ada jadwal meeting besar yang tidak bisa tidak ditunda, sedangkan Bunda akan berada di sini sampai Iqbaal pulih.

“Bunda sama Ayah cari makan dulu”, ucap Bunda begitu melihat Vanesha berdiri di depan pintu kamar Iqbaal.

Ayah menggandeng tangan Bunda, lalu mereka berjalan keluar kamar.

Vanesha menatap Iqbaal yang masih berbaring di ranjang. Dengan perlahan, Vanesha berjalan mendekati Iqbaal.

“Hai”, ucap Iqbaal seraya tersenyum, terlihat masih lemas dan lemah, tapi dia berusaha menunjukkan wajah baik-baik saja bagi Vanesha. Vanesha merasakan air matanya kembali menggenang di pelupuk mata.

Dia memeluk tubuh Iqbaal perlahan, sambil terisak.

“Eh kok nangis sih, Sha? Aku masih hidup loh”

“Iya, memang, ini nangis karena lega kamu masih hidup”, ucap Vanesha lalu melepaskan pelukannya dari tubuh Iqbaal. Ia menyeka air matanya.

“Kenapa? Kamu emang sempat mikir aku bakal nggak hidup lagi?” tanya Iqbaal jahil.

Vanesha memukul pelan lengan Iqbaal, “Aku tuh takut banget tahu nggak, kamu ngeluarin banyak darah, harus dioperasi, operasinya lama banget, dokter ngasih info soal kamu katanya kamu kritis lah, aku tuh takut! Kalau tahu kamu bakal jahil gini lagi setelah bangun sih, aku jadi nyesal kenapa ketakutan banget kemarin”, Vanesha mengomel. Membuat Iqbaal tertawa pelan, karena dia masih merasa sakit di daerah perutnya setiap kali dia berbicara atau membuat suara atau melakukan apapun yang menyebabkan area perutnya bergerak.

“Jadi gimana nih, nyesel ga aku masih bangun sekarang?”

“Ya nggak lah, aku senang banget kamu masih selamat”

“Kenapa?”

“Semua orang juga senang kamu selamat, Baal”

“Iya tahu”, Iqbaal mengisyaratkan dengan tangannya agar Vanesha duduk di kursi pinggir ranjang, “Tapi aku mau tahu alasan Vanesha senang dan lega aku bisa selamat”

Vanesha duduk di kursi, lalu menatap Iqbaal dengan penuh tatapan sayang. Tatapan yang selalu ia punya untuk Iqbaal meskipun ia tidak mengakuinya.

“Karena…”, Vanesha menggenggam telapak tangan Iqbaal, “Aku takut kehilangan kamu. Aku orang nomor tiga yang takut banget kehilangan kamu, Iqbaal”

“Kok nomor tiga?”

“Soalnya nomor satu dan dua masih ada Bunda sama Ayah”, Vanesha tertawa pelan, “Jadi aku nomor tiga aja”

Iqbaal tertawa lalu menggenggam tangan Vanesha semakin erat. Vanesha seperti memberikan aliran kekuatan baru dalam dirinya. Bahkan dengan melihatnya saja, Iqbaal merasa bahagia. Setidaknya dengan melihatnya saja, Iqbaal merasa rasa sakitnya sedikit berkurang.

***
Sore itu, seluruh keluarga Leah dan Gio datang menjenguk di rumah sakit, mereka berencana untuk kembali ke Melbourne. Tentu saja, kecuali Gio dan Leah.

You’ll be fine”, Olivia mencium pipi Iqbaal, “Like me

Iqbaal tersenyum, lalu mengelus kepala Olivia pelan, “I know right? We are a great survivor, right?

Olivia mengangguk. Tangan kecilnya memegang tangan Iqbaal dengan erat. Sepertinya dia paham mengenai mengapa Iqbaal berada di rumah sakit, dan mengapa Iqbaal sama dengan dirinya.

Menurut Bunda, meskipun mereka telah melaporkan mengenai Max ke polisi terdekat, Bunda dan Ayah memikirkan apakah sebaiknya mereka mencabut gugatan tersebut, karena sebenarnya Iqbaal bukanlah tujuan utama penyerangan itu. Iqbaal adalah korban salah sasaran.  Kemungkinan besar sih, jika Max berhasil ditangkap, dia akan menjalani hukuman pidana atau paling ringan, akan dideportasi kembali ke negaranya.

Dan Iqbaal juga selamat dan meskipun membutuhkan waktu untuk sembuh, Iqbaal tetap masih hidup. Harusnya ini lebih dapat disyukuri.

Iqbaal sudah mulai belajar untuk duduk, dan pemulihannya berlangsung dengan baik. Vanesha dan Bunda selalu hadir di sebelahnya untuk membantunya dalam pemulihan. Memastikan Iqbaal makan dan minum obatnya dengan teratur.

Sore itu, Vanesha tidak menemani Iqbaal di rumah sakit. Ia janji bertemu dengan Megan di Tanah Lot.

Megan tampak tersenyum seraya melambaikan tangannya kepada Vanesha begitu Vanesha melewati pintu pura. Vanesha menemani Megan untuk mengambil air suci, menjepret beberapa foto sebagai dokumentasi Megan, lalu seiring matahari mulai tenggelam, mereka berjalan di pesisir pantai.

“Megan, soal kita….”

I know”, ucap Megan, menatap matahari yang mulai tenggelam di perbatasan laut ujung sana.

Megan sudah menyatakan berulang kali kepada Vanesha bahwa ia menyukai dan mencintai Vanesha. Tapi Vanesha selalu membalasnya dengan tersenyum dan menganggap Megan hanya bercanda.

JUST IN TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang