“Makasih ya, kamu repot-repot bawain mainan dan peralatan gambar segala buat Oliv”
“Nggak repot kok, aku juga bingung soalnya mau bawain apa, masa ngejenguk nggak bawa apa-apa ya kan. Aku juga gak tau tradisi menjenguk di Australia gimana, apakah perlu bawa buah-buahan atau kue kayak di Indo atau nggak”
Vanesha tertawa, “Bawa buah-buahan sama kue, tapi yang sakit nggak bisa makan”
“Yang ngabisin justru yang jagain haha”, Iqbaal tertawa.
“Tapi Oliv kelihatan senang tadi”
“Syukurlah, aku bakal tengsin abis sih kalo sampai dia ga suka dikasih mainan. Dan aku sempat baca-baca di internet, anak korban kekerasan orang tua, mungkin akan trauma, dan butuh dukungan, butuh kegiatan-kegiatan positif, salah satunya menggambar atau mewarnai. Yaudah, aku beli aja. Ternyata dia suka, syukurlah”
Vanesha tertawa lagi. Iqbaal, bagaimana pun terlihat begitu lempeng dan seperti tidak peduli, dia adalah tipe orang yang akan mencari tahu cara bagaimana untuk dapat membuat orang lain merasa bahagia, paling tidak untuk membuat orang lain merasa lebih baik. Bahkan untuk orang baru yang ditemuinya, Olivia.
“Mau main gak, Sha?” tanya Iqbaal tiba-tiba.
“Hah? Main? Main apa maksudnya?”
“Ikut ajalah yuk”, Iqbaal meraih tangan Vanesha lalu menggandengnya, mereka berjalan bergandengan menuju pemberhentian trem terdekat.
Vanesha pikir, Iqbaal akan melepaskan genggaman tangannya begitu mereka masuk ke dalam trem dan duduk, tapi tidak. Oh, mungkin dia akan melepaskan genggaman tangannya setelah sampai di tempat tujuan. Tapi begitu mereka sampai di Luna Park, Iqbaal tidak juga melepaskan genggaman tangannya.
Vanesha merasakan jantungnya berdegup dengan kencang. Sampai-sampai dia bisa mendengar bunyi detak jantungnya sendiri. Meskipun begitu, dia merasa kehangatan mengalir dari tangan Iqbaal ke tangannya. Berulang kali Vanesha mendengar suara di kepalanya untuk melepaskan genggaman tangan itu, tapi dia malah balas menggenggam tangan Iqbaal lebih kencang.
“Aku belum pernah ke sini”, ucap Vanesha begitu mereka masuk ke dalam Luna Park, “Wah, ada kora-kora juga di sini”, ucapnya sambil tertawa.
“Ini nggak segede dufan sih, tapi lumayanlah ya kita bisa main bentar di sini. Kamu mau nyobain apa?”
“Apa aja selain rollercoaster”, Vanesha bergidik menatap jalur rollercoaster yang ada di hadapannya, “Takut. Kalau kamu mau main rollercoaster, sendirian aja gih”
Iqbaal tertawa, “Aku takut juga deh kayanya. Tapi kalo berdua, takutnya bisa di-share, kan? Jadi nggak kerasa serem”
“Ih apaan, kalo dua orang takut naik rollercoaster yang ada takutnya dobel, tahu!”
Iqbaal tertawa melihat wajah Vanesha yang merengut. Dia terlihat kesal, tapi dari dulu, Iqbaal selalu merasa Vanesha cantik saat dia sedang kesal. Saat dia sedang menangis pun, Vanesha tetap terlihat cantik.
Ah, bilang saja apapun yang Vanesha lakukan tetap cantik di mata lo, Baal!
“Yaudah, takutnya kita hadapin bareng-bareng aja”, ucap Iqbaal, seraya tersenyum. Senyum yang akhirnya membuat Vanesha luluh dengan berkata, “Ya terserah deh, Baal”
Vanesha dan Iqbaal menghabiskan siang hingga sore hari itu bermain di Luna Park, dari permainan menantang adrenalin sampai duduk-duduk manis di atas caraousel.Iqbaal Membelikan Vanesha kembang gulali besar warna-warni.
“Padahal kalau di Dufan ini tuh paling cuma lima puluh ribu”, ucap Vanesha begitu tahu harga kembang gulali di sana.
“Yaudah ga jadi beli nih”, Iqbaal membalikkan badannya, yang langsung ditahan oleh Vanesha.
“Lah, sayang, Baal. Udah di depan tendanya gini. Malah mas-mas nya udah lihat kita, udah senyum ke kita lagi”
“Jadi mau apa nggak nih?”
“Ya maulah”, ucap Vanesha pelan. Iqbaal tertawa gemas.
Vanesha itu menggemaskan sekali, ya.
“For your beautiful girlfriend”, ucap pria penjual kembang gulali seraya menyerahkan kembang gulali tersebut kepada Vanesha.
“I’m not his gi—"
“Thank you”, potong Iqbaal sebelum Vanesha sempat mengklarifikasi kepada penjual kembang gulali, “Terakhir? Naik ferris wheel?”
Vanesha mengangguk bersemangat lalu menuju ke are ferris wheel. Antrian tampak sudah mengular karena setiap orang ngejar sunset.
Vanesha memotong sedikit gulali nya, lalu menyodorkannya ke mulut Iqbaal. Dengan refleks, Iqbaal membuka mulutnya dan mengunyah gulali tersebut.
Setelah mengantri lebih dari 15 menit, Iqbaal dan Vanesha berhasil masuk ke salah satu ferris wheel tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST IN TIME
قصص عامةKatanya, kebetulan yang terjadi berulang-ulang, adalah takdir. Writer's Note : Hai, first timer here! Semoga cerita ini bisa diterima dan bisa buat bahagia hehe. Jadi, cerita ini benar terinsiprasi banget dari Iqbaal dan Vanesha, tapi pengembangan...