Bagi Iqbaal, setiap pertanyaan dari Vanesha seperti menamparnya telak, bahwa setiap pertanyaan Vanesha justru membuat hatinya merasa sangat sakit. Pertanyaan Vanesha adalah hal yang menjadi pikirannya selama ini, hal yang sangat sulit dia akui selama ini, dan sekarang hal tersebut disampaikan langsung tepat di hadapannya.
Dan menusuk ego nya begitu tajam.
Iqbaal menghabiskan banyak sekali malam untuk memikirkan mengenai kondisinya dengan Vanesha. Dan, pada akhirnya dia sedikit paham bahwa dia pun memiliki andil terhadap kondisi hubungannya dengan Vanesha.
Dia terlalu pengecut. Dia terlalu banyak berpikir sendiri, sampai-sampai dia mengambil kesimpulan sendiri, sampai-sampai dia terlalu takut untuk bertanya kepada Vanesha, sampai-sampai dia terlalu takut untuk menyuarakan perasaannya.Sampai akhirnya, dia tidak pernah menyangka bahwa Vanesha bisa saja meninggalkannya dan ia merasakan patah hati yang paling menyakitkan, untuk pertama kalinya.
Iqbaal tidak ingin mengakui hal tersebut. Mengakui bahwa dirinya pengecut, mengakui bahwa dia tidak mampu membuat hubungan yang baik dengan Vanesha, tentu saja melukai harga dirinya. Tentu saja membuatnya merasa kerdil. Dan Vanesha, sekarang membuatnya merasa demikian.
Tapi daripada menyangkal kembali , Iqbaal memilih untuk mengakuinya.
Mungkin saat ini, mengakui hal tersebut dapat memberikan kelegaan bagi keduanya.
“Aku memang brengsek, Sha”, ucap Iqbaal akhirnya, “Aku minta maaf”
“Jangan minta maaf. Kamu buat aku bingung lagi kalau kamu minta maaf. Kamu harusnya tetap jadi brengsek aja”, Vanesha menjawab seraya menggeleng perlahan.
Tangan Iqbaal turun dari wajah Vanesha ke bahunya.
“Jadi kamu maunya aku bilang apa selain maaf?” tanya Iqbaal.
Vanesha diam, tidak menjawab.
“Aku sama bingungnya dengan kamu, Sha. Untuk saat ini, kamu cukup tahu aja kalau dari dulu, dari dulu aku sayang sama kamu, dan aku terlalu pengecut untuk memulai semuanya dengan kamu. Aku takut berkomitmen dengan kamu kalau pada akhirnya aku akan ninggalin kamu jauh ke Melbourne. Aku takut ketika nggak sengaja ketemu kamu lagi, karena aku belum bisa lupain kamu. Aku takut aku nggak punya kesempatan lagi, jadi aku cium kamu malam itu. Dan ya, aku memang salah, aku juga nggak bisa cari kata lain yang tepat untuk membela diri”, ucap Iqbaal panjang lebar.
Mendengar Iqbaal akhirnya mengatakan bahwa ia menyayangi Vanesha bahkan sampai sekarang, tidak membuat Vanesha lebih senang ataupun tenang, dia merasa jauh lebih bersalah sekarang. Itu karena dia dapat memahami perasaan Iqbaal.
Vanesha tahu betul bagaimana gamang dan bingungnya Iqbaal, karena dia pernah berada di posisi Iqbaal, dulu. Saat dia memutuskan untuk berpacaran dengan Adipati, dan menganggap bahwa ia akan dengan mudah melupakan Iqbaal dan dapat mencintai Adipati.Tapi, hari demi hari berlalu, semakin Vanesha berusaha melupakan, semakin dia tidak dapat melupakan. Semakin hari, dia merasa bersalah kepada Adipati, karena tidak dapat memberikan sama seperti apa yang diberikan Adipati kepadanya. Akhirnya, hari-hari mereka semakin lama malah penuh dengan pertengkaran.
Tuntutan Adipati agar Vanesha bisa segera mencintainya dan memberikannya cinta yang Adipati butuhkan. Vanesha tidak bisa memberikan itu dengan segera, dan Adipati tidak memahaminya.
Bagi Vanesha, dia dapat memahami Iqbaal. Bagi Vanesha, semua pertanyaan ‘kenapa’ yang dia sampaikan tadi hanya mengungkapkan betapa Iqbaal, sangat bingung sekarang.
Iqbaal menatap Vanesha sambil tersenyum, pahit.
“Selama kamu masih ada di sekitar ku, aku nggak akan bisa menahan diri. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak menanyakan kabarmu, bertanya bagaimana harimu, bertanya apakah kau kesulitan hari ini , bertanya apakah kau bahagia hari ini. Aku lakuin itu bertahun-tahun, bahkan setelah aku memintamu untuk bersikap layaknya orang asing, aku masih memikirkan hal tersebut. Tapi….”
Vanesha tahu, semua kalimat yang diucapkan Iqbaal sebelum kata ‘tapi’, tidak akan berarti. Karena kalimat setelah kata ‘tapi’ adalah hal yang lebih penting.
“ I don’t want to break my current relationship”, ucap Iqbaal akhirnya.
Vanesha tertawa pelan, mengejek dirinya sendiri, karena ucapan Iqbaal itu seperti meruntuhkan harapannya sampai ke dasar.
“Kamu sayang banget sama Zee ya?”
“She helps me to cope my worst broken heart”, jawab Iqbaal, “You”
Ada jeda di antara mereka berdua.
“Aku bakal tetap sayang sama kamu, like, I will always love you”, ucap Iqbaal akhirnya, “tapi untuk saat ini, sama seperti kamu dahulu, biarin aku pertahanin apa yang udah aku pilih”
Dan hati Vanesha hancur. Berkeping. Tidak berbentuk. Tidak bersisa.
Air mata Vanesha menetes perlahan.
“Please?” tanya Iqbaal lagi, seolah meminta persetujuan.
Vanesha menatap Iqbaal. Menatapnya dekat mungkin memang untuk terakhir kalinya.
“Jadi kita akan jadi strangers lagi?” Vanesha memastikan.
Iqbaal menghela nafas dengan pelan, lalu mengangguk.
Vanesha menatap ke atas, ke arah langit. Dia tidak ingin air matanya jatuh menetes lagi. Ia menenangkan dirinya sepersekian detik, lalu mengumpulkan kepingan keikhlasan hati miliknya.
Vanesha lalu mengangguk.
“Be good to Zidny”, ucap Vanesha, suaranya terdengar pelan, dan getir.
Iqbaal mengangguk.
Vanesha lalu memegang wajah Iqbaal dengan wajahnya, “I will always love you, too”
Kali ini, Iqbaal tahu bahwa dia akan merekam ucapan Vanesha tersebut terus di otaknya. Dia pernah dicintai oleh Vanesha, sebesar Iqbaal mencintainya. Tapi, Iqbaal dan Vanesha berusha untuk bersikap dan bertindak dewasa dalam hidup mereka. Dan mereka paham itu. Dan mereka terluka karena hal itu.
“Can I have a goodbye hug?” tanya Iqbaal, seraya tersenyum, “This is the most beautiful broken heart that I ever had”
Vanesha tertawa, lalu memeluk Iqbaal erat. Hangat. Seandainya mereka bisa seperti ini ketika berpisah dulu. Tapi, saat itu mereka masih sangat kecil, sangat muda, sangat labil. Lebih memilih untuk menghindar daripada bertemu dan patah hati.
Mungkin, perpisahan seperti ini memang tepat terjadi saat ini. Ketika mereka sudah belajar dari kejadian sebelumnya. Ketika mereka sudah bertambah usia. Ketika mereka sudah lebih dewasa.
“Happy birthday”, bisik Vanesha sambil tetap memeluk Iqbaal.
I’m gonna miss you, like always, like I always do, bisik Iqbaal dalam hatinya.
Pelukan itu, malam ini, dihiasi oleh kembang api yang terpancar Indah di langit yang kelam. Sama seperti pelukan ini, hanya terasa indah untuk sementara, setelah itu semuanya terasa kosong.
Hampa.
Tapi setidaknya sudah bahagia.🎶If i should stay, i would only be in your way,
So I'll go,but i know i'll think of you in every step of the way
Bittersweet memories, that is all i'm taking with me
So goodbye, please, don't cry
We both know i'm not what you need
And i will always love you
I hope life treats you kind
And i hope you have all you've dreamt of
And i wish to you joy and happiness
But above all this i wish you love
And i will always love you🎶
***
Hari-hari berikutnya berjalan sangat lambat bagi Iqbaal dan Vanesha. Rutinitas yang sama terulang kembali, sama seperti dulu. Mereka saling menghindar. Mereka saling bertahan untuk tidak saling berkomunikasi dan merindu. Sesekali mereka berpapasan di trem, namun keduanya mengalihkan pandangan dan berusaha meredam keinginan untuk saling tersenyum.
Beberapa bulan berlalu setelah perpisahan di Christmas Party tersebut.Dan Iqbaal berusaha mengalihkan fokusnya dengan mengerjakan tugas akhirnya dan berusaha maksimal dalam pekerjaannya.
Ia berusaha memperbaiki hubungannya dengan Zidny, dan mengabaikan beberapa foto Zidny dan seorang pria, yang dikirim Abby beberapa kali.
Mungkin aku bisa memperbaiki hubunganku dengan Zidny, ucap Iqbaal.Untuk itu, ia menyempatkan diri untuk pulang ketika libur akhir tahun, dan bertemu dengan Zidny untuk memperbaiki hubungan mereka. Tentu saja, dia tidak bisa mengatakan kepada Zidny bahwa dia bertemu dengan Vanesha. Tidak satu cerita pun mengenai Vanesha, sama seperti Zidny tidak menceritakan apapun kepada Iqbaal mengenai sosok laki-laki yang ada di foto-foto kiriman Abby.
“I miss you”, ucap Iqbaal seraya menatap Zidny yang ada di layar handphonenya. Zidny tersenyum singkat.
“I miss you too”, ucap Zidny, “Minggu depan aku wisuda dan kamu nggak disini”
“Bulan depan aku wisuda dan kamu nggak disini”
Beberapa bulan setelah memperbaiki hubungan tersebut, Zidny dan Iqbaal akhirnya akan wisuda.
“Balik ke Jakarta tanggal berapa?” tanya Zidny.
“Tanggal 20. Bunda sama Teh Ody mau jalan-jalan di sini dulu”
“Sampai ketemu tanggal 20 kalau begitu, Sayang”
Iqbaal mengangguk.
“Zee?” panggilnya
“Hm?”
“Setelah itu aku akan balik ke Melbourne lagi”
Zidny diam.
“Mereka menawariku pekerjaan”
Zidny masih tidak berbicara.
“Zee?”
“Jadi kita akan lanjut LDR seperti ini?” tanya Zidny akhirnya.
Iqbaal mengangguk.
“Sampai kapan?”
Iqbaal menggeleng, “I don’t know. Aku bahagia bisa kerja di sini”
Zidny hanya menatap Iqbaal tanpa berkata apa-apa.---------------‐-----------------------------------
Chapter 8 yang menguras emosiku ketika menulisnya 😭 Ketik, hapus, ketik, hapus, sampai beberapa kali, tapi akhirnya aku memutuskan agar ceritanya terjadi seperti ini.
Awalnya aku mau menyelesaikan kisah mereka di chapter ini, tapi aku benar-benar sayang sama dua karkater ini, jadi aku menulis beberapa chapter lagi untuk mereka.
Ditunggu, yaa.Makasih semuanya udah baca, vote, ataupun udah komen. Really appriciate that! Thankyouu💕
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST IN TIME
Ficción GeneralKatanya, kebetulan yang terjadi berulang-ulang, adalah takdir. Writer's Note : Hai, first timer here! Semoga cerita ini bisa diterima dan bisa buat bahagia hehe. Jadi, cerita ini benar terinsiprasi banget dari Iqbaal dan Vanesha, tapi pengembangan...