Selepas dari restoran Megan, Vanesha mengarahkan mobilnya menuju bandara hendak menjemput Iqbaal yang baru kembali dari soft opening penginapan di Bali yang ia kerjakan.
Hujan turun dengan derasnya ketika Iqbaal dan Vanesha dalam perjalanan pulang ke apartemen Iqbaal.
“Aku mandi dulu ya”, ucap Iqbaal setelah membereskan koper-nya.Vanesha mengangguk, menuju ke dapur dan memanaskan beberapa makanan yang tadi ia take-away dari restoran Megan.
Sambil menunggu Iqbaal selesai mandi, Vanesha menuju ke arah keyboard yang ada di dekat televisi, lalu memainkan tuts keyboard tersebut perlahan sambil bersenandung.
Hujan masih turun dengan derasnya di luar.
Iqbaal keluar dari kamar mandi dengan berpakaian lengkap namun rambutnya masih basah. Ia menatap Vanesha yang sedang memainkan melodi dan bersenandung di ujung ruangan. Iqbaal berjalan mendekatinya, lalu mencium puncak kepala Vanesha.
“Udah selesai mandi?”
“Udah”
“Makan dulu yuk”, Vanesha menghentikan dirinya memainkan tuts keyboard lalu berdiri.
“Kata Megan, dia minta kita food testing dua minggu lagi”, Vanesha membuka pembicaraan sambil menyantap makanannya.
“Kita mah udah percaya sama masakan dia ya. Ini aja enak banget”
“Aku udah bilang gitu, tapi dia bilang tetap harus ada food testing, sesuai sama selera kita apa nggak”
“Oh yaudah, atur jadwalnya aja, Yang”
Vanesha mengangguk.
“Kain untuk baju pengantin dikirim hari ini. Begitu sampai, kita langsung ukur badan di tempatnya Tante Sari, ya”
“Oke”
“Terus jas yang mau kita sewa untuk resepsi di Melby bisa diambil h-3 hari, katanya”
“Oke”
“Terus….”, Vanesha berhenti sejenak dari kegiatan makannya, “Sepertinya untuk gedung pernikahan di Jakarta, aula-ya bakal diganti ke yang lebih besar….”
“Hm? Kenapa? Aula yang udah kita pilih sebelumnya bukannya udah cukup buat nampung lima ratusan orang?”
“Jumlah undangannya nambah jadi enam ratusan…”
Iqbaal menghentikan makannya.
“Aku udah coba bujuk, tapi aku gak bisa bilang apa-apa lagi, Yang”
Iqbaal menatap Vanesha yang tampak sedikit merasa bersalah. Iqbaal menghela nafas lalu menghentikan makannya. Ia berdiri dan menuju kamar, lalu kembali dan duduk di sebelah Vanesha seraya membuka tab-nya.
“Ini budget dan dana lebihan yang kita siapin”, ucap Iqbaal seraya menunjukkan beberapa data kepada Vanesha, “sebisa mungkin dana lebihan nggak kita pakai, kan? Lebih baik uangnya kita pakai untuk kebutuhan setelah menikah. Aku akan telepon Mama dan Bunda, ya?”
Vanesha mengangguk, Iqbaal mencium dahi Vanesha lalu berdiri dari kursinya, mengambil hanpdhonenya, lalu berjalan menuju ke arah ruang kerjanya.
Vanesha tidak bergerak dari meja makan.
Iqbaal cukup ketat terhadap beberapa hal, salah satunya adalah mengenai waktu dan uang. Sebagai orang yang akan menikah, Iqbaal dan Vanesha sudah terbuka dan jujur sejak awal mengenai konsep pernikahan yang mereka inginkan, dana yang mereka butuhkan dan yang bisa mereka alokasikan untuk pernikahan tersebut. Ketika orangtua memutuskan untuk membantu, Vanesha tidak bisa berkata tidak.
Cukup lama Iqbaal berada di dalam ruangan kerjanya. Sampai Vanesha sengaja memperlama kunyahannya agar dia tak menghabiskan makanannya sebelum Iqbaal kembali.
Tapi karena cukup lama dan Vanesha penasaran, ia akhirnya memutuskan untuk berjalan ke arah ruang kerja Iqbaal, lalu mendorong pintunya sedikit.
“Iya, Ma”, terdengar suara Iqbaal, “Iqbaal hanya minta jumlah undangannya nggak nambah lagi. Pernikahan ini memang pesta penting, tapi kalau orangnya terlalu banyak dan tidak ada yang kami kenal, juga menghilangkan esensi pesta pernikahan bukan?”
Vanesha melihat Iqbaal berbicara di telepon, membelakangi pintu, wajahnya menatap ke arah luar jendela, melihat hujan masih turun dengan derasnya.
“Bukannya Iqbaal dan Sasha tidak mau menerima bantuan Mama dan Bunda-”
Iqbaal diam. Mungkin Mama sedang ngomong di ujung sana.
“Iya, Iqbaal ngerti. Kita win win solution aja gimana, Ma? Iqbaal sama Sasha akan hitung ulang semuanya dengan jumlah undangan 600 orang. Kalau kami nggak sanggup, kami akan bilang. Iqbaal dan Sasha ingin pernikahan ini bisa ngundang keluarga inti, bisa dinikmati bareng-bareng, tidak membebani keluarga. Boleh ya, Ma? Jangan nambah lagi?”
Ada jeda, Iqbaal berhenti berbicara.
Vanesha tahu, Iqbaal ingin bertanggungjawab sendiri atas pernikahan ini. Memberikan pengertian kepada orang tua di saat terpisah jarak begini juga adalah sesuatu hal yang sulit.
“Makasih ya, Ma, atas pengertiannya”, ucap Iqbaal akhirnya.
Percakapan tersebut berakhir dan Iqbaal menghela nafas berat setelah hubungan telepon tersebut terputus.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST IN TIME
General FictionKatanya, kebetulan yang terjadi berulang-ulang, adalah takdir. Writer's Note : Hai, first timer here! Semoga cerita ini bisa diterima dan bisa buat bahagia hehe. Jadi, cerita ini benar terinsiprasi banget dari Iqbaal dan Vanesha, tapi pengembangan...