1.b

567 64 1
                                    

Vanesha membuka pintu apartemennya.

“Kamu nggak perlu repot-repot loh, Baal”, ucap Vanesha setelah Iqbaal meletakkan tiga kantong belanjaan di atas meja. Setelah meletakkan kantong belanjaan yang dia pegang juga, Vanesha dengan segera mengambil segelas air untuk Iqbaal.
“Kan aku yang nawarin diri. Berarti nggak repot. Lagian kamu juga, belanja segitu banyaknya sendirian. Buat makan sebulan?”
“Duduk dulu”, ucap Vanesha seraya menyerahkan segelas air dingin ke Iqbaal, yang langsung diteguk Iqbaal dengan cepat. “Harusnya aku sama temenku hari ini tapi dia mendadak nggak bisa”, ucap Vanesha seraya menatap Iqbaal yang sedang minum, “mau tambah minumnya?”

Iqbaal menggeleng, “Terus kenapa kamu belanja sendirian sebanyak itu? Kan bisa nunggu dia kosong, atau bagi dua belanjanya”
“Itu udah bagi dua”, ucap Vanesha seraya tertawa
“Sebanyak itu mau ngapain? Kawinan?”
Pikiran yang sama seperti Vanesha.
“Cuma buat birthday party kok”
Birthday party sia—“, ucapan Iqbaal menggantung sebelum dia akhirnya menyadari ini bulan berapa, “Oh, kamu”

Vanesha tertawa lagi, “Makasih ya, Baal. Kamu udah bantuin aku. Bawain belanjaan, berdiri pula di trem”, Vanesha mengambil sesuatu dari lemari dapur miliknya.
Imagine if you were alone, with those groceries
“Iya, aku salah”, ucap Vanesha lalu membawa sebuah toples dan duduk di hadapan Iqbaal, “mau? Aku buat peyek kacang nih”
Iqbaal menatap toples yang ditawakan Vanesha lalu mengambil sebuah rempeyek, lalu mengunyahnya, “Kamu buat sendiri?” tanya Iqbaal setelah menelan rempeyek itu.
“Iya.. Aneh ya rasanya? Nggak enak?” tanya Vanesha insecure.
Iqbaal tertawa pelan, “Not bad kok. Kamu bisa masak sekarang?”
“Namanya anak rantau, di sebelah ga ada warung yang jualan peyek sih, jadinya bikin sendiri. Kalau kamu mau, aku masih ada setoples lagi, kamu bisa bawa pulang”
“Eh, nggak usah, Sha”
“Ucapan terimakasih karena udah bantuin aku. Nggak boleh nolak, lho”
Iqbaal tahu, Vanesha pasti akan tetap memaksanya untuk membawa peyek itu, jadi ya percuma kalau dia menolak lagi. 

Vanesha mengambil sebuah toples lagi lalu memasukkannya ke dalam goodie bag.
“Lumayan buat cemilan di rumah”
Iqbaal tertawa, “Makasih, Sha. Kalau gitu aku pulang dulu ya”
“Oh, iya, makasih udah bantuin aku”
“Udah ngucapin makasih tiga kali, loh”, ucap Iqbaal laku mengambil kantong belanjaan miliknya, dan memasukkan goodie bag berisi rempeyek buatan Vanesha, “lain kali, belanja jangan sebanyak itu, bahaya”
“Iya”
“Hmmm aku pulang dulu, Sha”
“Aku anter ke bawah”
“Nggak per—“
Vanesha menatap Iqbaal dengan tatapan yang Iqbaal tahu adalah tatapan tidak mau dibantah. Ia mengalah.

“Apartemen kamu jauh nggak?”
“Hmm.. lumayan”
“Duh, jadi nggak enak harus jauh karena nganterin aku ke sini”
It’s okay, Sha. Aku duluan ya. Thanks for the rempeyek by the way”
Vanesha mengangguk.
“Baal”, panggil Vanesha ketika Iqbaal sudah berjalan beberapa langkah. Iqbaal menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah Sasha.
“Kamu mau hadir di acara birthday party aku nggak?”
Vanesha merasakan otaknya berbicara memarahinya sedetik setelah ia mengatakan pertanyaan itu. Bodoh. Buat apa bertanya?

“Nggak janji ya, Sha. Bye
Kan, seharusnya nggak perlu ditanya, ucap si otak, lalu menyalahkan si hati, lain kali jangan impulsif begitu, udah tahu jawabannya bakal menyakitkan, masih aja ditanya. Seneng banget menyakiti diri sendiri.
Vanesha menatap punggung Iqbaal yang perlahan menghilang, lalu berjalan masuk ke apartemennya.


***
Iqbaal masuk ke dalam apartemen miliknya. Meletakkan kantung belanjaan dan goodie bag berisi rempeyek dari Vanesha. Iqbaal menatap toples berisi rempeyek itu dengan bimbang. Pikirannya berkecamuk ke 4 tahun yang lalu.

“Udah dibilangin jangan makan beginian dulu”, Iqbaal merebut plastik yang masih berisi rempeyek kacang, tinggal setengahnya.
“Apaan sih, Baal?”Vanesha tampak merengut dan mencoba mengambil kembali plastik berisi rempeyeknya.
“Show tinggal seminggu lagi, Sha. Jangan sakiti tenggorokkan kamu gini”
“Kan Cuma rempeyek, bukan gorengan”
“Apa bedanya? Sama aja”
Vanesha diam, mengalah, tidak mau berdebat dengan Iqbaal lagi.

“Kenapa makan peyek?”
“I’m nervous”, ucap Vanesha seraya memainkan jari-jarinya, menunjukkan keresahannya, “i know, kita udah latihan keras banget 6 bulan ini, tapi aku masih ngerasa insecure. Ini show pertama aku, dan aku excited tapi juga nervous banget. Aku butuh peyek itu untuk bisa calm down. Please? Give it back to me?”
“No”, ucap Iqbaal tegas, “Ayo, ikut aku”, Iqbaal berdiri, lalu menarik tangan Vanesha.
“Eh mau kemana?”
Iqbaal tidak menjawab. Ia menggandeng tangan Vanesha erat, menyusuri lorong di belakang panggung, lalu menuju ke arah luar gedung. Ia berjalan ke arah halaman belakang, menyusuri sebuah taman kecil.

“Buntu?”tanya Vanesha bingung ketika melihat tembok yang ada di hadapannya. Iqbaal melepaskan  tangan Vanesha, kemudian mencari-cari sesuatu di dekat taman kecil tersebut. Ia mendorong sebuah palet, ke arah tembok.

“Naik”
“Hah?”
“Sini”, Iqbaal menggandeng tangan Vanesha, membantunya naik ke atas palet.
“Lihat gedung ini”, ucapnya lalu naik pula ke atas palet, berdiri di samping Vanesha, di hadapan mereka terpampang tampak belakang gedung kesenian, “Pentas di sini adalah mimpi ku dari kecil. Tapi tahu nggak pertama kali aku pentas, aku jadi apa?”
Vanesha menggeleng.

“Gelandangan”, Iqbaal tertawa, “Satu dari dua puluh anak gelandangan. Gak ada tuh yang namanya penampilan solo. Yang tahu ada aku di situ, cuma orang tua ku. Selebihnya, penonton mungkin nggak sadar siapa aja anak-anak gelandangan yang rame bergerombol nyanyi dan nari di atas pentas”

Vanesha tidak tahu apa hubungan makan rempeyek diam-diam dengan cerita Iqbaal barusan.

“Aku sih  senang-senang aja bisa pentas. Setelah itu, banyak pentas yang aku ikutin tapi tetap aja, nggak ada sutradara atau produser yang melirik aku. Bertahun-tahun, sampai suatu hari, Mas Ignasius hadir”

Mas Ignasius adalah produser, sutradara, penulis naskah, dan sekarang menjabat menjadi ketua umum Teater Semesta, tempat Iqbaal dan Vanesha berlatih peran.

“Waktu itu, Mas Ignasius, diminta untuk membantu Teater Semesta untuk pagelaran anniversary ke 5. Dia memandangku, menyuruhku membaca potongan naskah dan bernyanyi, lalu menunjukku untuk jadi Julius Caesar, pemeran utama saat itu. Saat itu aku merasa senang banget karena akhirnya ada yang melihatku, melihat kemampuanku, melihat kecintaanku kepada teater. Aku berlatih sepuluh kali lipat lebih keras dari biasanya, dengan harapan kalau aku bisa memainkan peran  sebagai Julius Caesar dengan sempurna”

“Terus?”
“Saat pentas, aku lupa dialog. Suaraku serak dan nyanyianku fals. Padahal, aku sudah berlatih keras, padahal aku tidak makan gorengan sejak dipilih jadi Julius Caesar, padahal aku tidak ingin menghancurkan pertunjukan pertamaku sebagai pemeran utama. Itu adalah show pertama, show pembuka, untuk acara besar anniversary kelompok teater. Bayangin, Sha. I should do about 4 others performances for 2 days, and i ruined it since day one”
Iqbaal menatap gedung itu, lalu menatap Vanesha dan tersenyum.
“I was so broken hearted. I was screwed. I blame myself the second after i cannot reach that notes. Tapi show harus tetap jalan, dan anak remaja labil ini berusaha untuk menyelesaikan pertunjukkan itu. Selesai pertunjukkan, aku lari ke sini. Aku bahkan tidak menghapus make up dan tidak mengganti baju. Aku bersembunyi di sini, menatap gedung ini, terus nangis. Mimpiku seakan hancur. Aku menghancurkan mimpiku sendiri. Aku menyalahkan diriku yang lupa, menyalahkan suaraku kenapa tiba-tiba serak. Aku merasa terlalu malu untuk melanjutkan pertunjukan lainnya. Lalu, Mas Ignasius menemukanku disini”

“Aku nggak tahu kamu pernah ngalamin itu”
“Sekarang udah tahu, kan?”ucap Iqbaal, lalu menggenggam jemari Vanesha, “Sha, aku tahu kamu udah mempersiapkan banyak hal dengan baik. Tapi, Sha, ketika udah pentas, semua potensi buruk bisa terjadi di atas panggung. Apapun. Baik kesalahan kita pribadi, ataupun kesalahan teknis. Kamu tahu kenapa suara aku serak meskipun aku jaga makan? Because i was so damn excited and stressed. Aku bernyanyi tidak sesuai dengan apa yang udah aku latih, i was so damn greedy to show my capability and think that i can hold my breath longer and finish the notes but i was wrong. Saat di panggung, wajar kok kita merasa sangat hype karena ada penonton, kostum yang mewah, musik yang grande, hormon adrenaline dan serotonin langsung meluap, dan kita bakal ngerasa kita bisa ngelakuin lebih dari apa yang udah kita latih, tapi itu bahaya banget. All you can do now is accept your nervousness, accept your insecurities, karena semua hal buruk yang kamu pikirkan emang bisa terjadi. Kita berusaha untuk memberikan penampilan terbaik, please have fun aja di atas panggung, and you’ll be fine”

Nasehat terpanjang yang pernah Iqbaal ucapkan kepada Vanesha, terhitung sejak mereka mulai dekat 6 bulan terakhir ini.

“Gedung ini, adalah tempat dimana kamu bisa belajar acceptance. Semua bakat kamu. Semua lelah karena latihan dari malam ke malam. Semua ketegangan dan ketakutan kamu. Semua tepuk tangan maupun kritik dari penontonnya”

“Okay”, Vanesha menghela nafas pelan, “aku paham, Baal. Thanks ya. I feel better, and feel so ease now”
“Dan, pertunjukkan nanti adalah pertunjukkan kita. Kita harus kompak dan saling percaya, ya?”

Vanesha menatap mata Iqbaal yang penuh dengan kesungguhan. Vanesha melepaskan genggaman jemari Iqbaal, lalu menyentuh pipi Iqbaal perlahan, “I trust you. Thank you for trusting me too dengan ceritain hal ini”

Iqbaal tersenyum, menyentuh tangan Vanesha yang ada di pipinya, “No more rempeyek diam-diam, ya. Nanti setelah pentas, kita baru borong peyek sebanyak-banyaknya”
Vanesha tertawa.

Lamunan Iqbaal buyar ketika ponselnya berdering. Zidny.
“Halo, Zee?”
“Hai, sudah pulang? Kok nggak ngabarin?”
“Udah di rumah nih. Kamu kok belum tidur?” Iqbaal menatap jam dinding yang ada di atas televisi. Jam 8 malam waktu Melbourne.
“Oh, ini baru sampai rumah juga”
“Katanya tadi udah pulang?”

“Ummm, iya, tadi diculik lagi sama Sonny dan temen-temennya buat makan, jadi baru sampai rumah lagi”
“Oh, okay. Kamu istirahat dulu, lain kali kalau ada yang ngajakin makan jangan nongkrong sampai larut gini dong”
“Iyaa...iyaaa... Bye, Sayang. Kamu istirahat juga ya”

JUST IN TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang