Vanesha tidak tahu berapa lama waktu yang sudah berjalan sejak operasi dimulai tapi dia merasa telah menunggu sangat lama di luar.
Setelah berkomunikasi dengan Bunda, yang ternyata malah menenangkan Vanesha, dan berjanji untuk segera ke Bali esok pagi, Vanesha duduk termenung di kursi.
“He’s gonna be okay”, ucap John dengan tenang, seraya menggenggam tangan Vanesha. Vanesha menatap John dan mengangguk.
Megan datang membawa kopi hangat untuk semuanya. Vanesha menerima kopi tersebut tapi tidak ada niatan sedikitpun untuk meminumnya.
“Sha, minum dulu. Supaya lebih tenang”, ucap Megan pelan, berusaha tidak menyebabkan Vanesha merasa tidak nyaman.
Vanesha hanya mengangguk tanpa meminum kopi tersebut.
Beberapa jam berlalu ketika dokter akhirnya keluar dari ruang operasi. Vanesha langsung berdiri dan mencoba menerka-nerka wajah dan ekspresi dokter tersebut.
Dokter mendekati Vanesha, menjelaskan dengan detail dan sederhana mengenai kondisi Iqbaal di dalam sana.
Menurut Dokter, mereka kewalahan karena lukanya cukup dalam, Iqbaal mengalami pendarahan berat, dan Iqbaal sempat mengalami syok hipovolemik, yang menyebabkan Dokter harus bekerja keras agar Iqbaal tidak mengalami kerusakan organ ataupun serangan jantung.
Menurut Dokter, tanda-tanda vital Iqbaal sempat menurun, sehingga operasi berlangsung lebih lama dari seharusnya. Beruntungnya, menurut Dokter, adalah organ – organ di perut Iqbaal semuanya dalam kondisi baik, meskipun nyaris mendapatkan luka tusuk juga.
Vanesha rasanya ingin sekali menyela penjelasan dokter karena pada intinya dia ingin tahu apakah Iqbaal baik-baik saja atau tidak.
Kata Dokter, masa kritis Iqbaal sudah lewat, tanda-tanda vitalnya sudah membaik, dan operasi dapat dinyatakan berhasil. Luka tusuknya sudah dijahit juga. Iqbaal sedang tertidur dan akan dibiarkan beristirahat sampai sekitar minimal 10 hari sampai dinyatakan boleh pulang. Mereka akan membawa Iqbaal menuju ruang rawat sebentar lagi.
Vanesha dapat merasakan kelegaan besar di dalam dirinya.
Iqbaal selamat. Dia masih hidup.
Saat kelegaan itu menyeruak di dalam hatinya, Vanesha merasakan kakinya tidak sanggup menahan tubuhnya.Mungkin Vanesha sudah memaksa kakinya untuk tetap berdiri sedari tadi meskipun terasa sangat lemas. Mungkin kakinya sudah sampai batas limit nya untuk menahan tubuh Vanesha. Dia terjatuh ke lantai.
Tapi dia tersenyum.
Terimakasih, sudah berjuang untuk tetap hidup.
***
Vanesha menolak untuk pulang, dia memilih untuk tetap di rumah sakit. Berkali-kali Megan berusaha membujuknya agar beristirahat dan kembali lagi esok pagi, Vanesha tetap menggeleng. John akhirnya menyuruh Megan untuk tidak memaksa Vanesha.“Darling, we’re gonna back home now”, John menggenggam tangan Vanesha, “You cant take care of sick people if you’re sick, so please have a great sleep tonight and we’ll see you tomorrow. Okay?”
Vanesha mengangguk, menggenggam tangan John lebih erat karena dia merasa berterimakasih John tidak menyuruhnya untuk meninggalkan Iqbaal dan mengerti bahwa saat ini, hal yang dibutuhkan Vanesha adalah berada di rumah sakit, bukan di hotel atau di tempat lainnya.
John menepuk tangan Vanesha hangat, lalu mengajak Ben dan Megan untuk segera pulang.
Kini hanya ada Iqbaal, yang kini masih tertidur, dan Vanesha yang duduk di sebelahnya, menggenggam tangannya Iqbaal yang terpasang infus.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST IN TIME
General FictionKatanya, kebetulan yang terjadi berulang-ulang, adalah takdir. Writer's Note : Hai, first timer here! Semoga cerita ini bisa diterima dan bisa buat bahagia hehe. Jadi, cerita ini benar terinsiprasi banget dari Iqbaal dan Vanesha, tapi pengembangan...