14.b

450 53 6
                                    

Leah dan Gio akan memotong kue pernikahan mereka, dan kue yang diberikan oleh Megan. Iqbaal duduk tidak lagi berada satu meja dengan Vanesha dan Megan, dia memilih untuk duduk satu meja dengan Anna dan Austin.

Olivia mendekati Iqbaal lalu duduk di pangkuan Iqbaal, membuat Iqbaal tersenyum.

Hai, princess. Are you sleepy yet?”

No

Olivia mengambil potongan kue milik Iqbaal di atas meja, meraihnya dengan tangan mungilnya lalu menyicip kue itu.

Does it taste good?

Olivia mengangguk.
Iqbaal tertawa lalu mengelus sayang kepala Olivia. Kata terapisnya, Olivia mengalami perkembangan pesat sejauh ini.

Dia sempat mogok berbicara selama beberapa bulan setelah peristiwa dia ditusuk oleh ayahnya dan dirawat di rumah sakit hampir 3 minggu. Dia tidak mau berbicara, dia hanya menangis ketika lapar dan ingin ke toilet.

Menurut dokter, tidak ada yang salah dari perkembangan fisik lidah ataupun mulutnya, ataupun perkembangan otaknya, karena mereka sempat mencurigai Olivia mengalami gangguan berbicara. Tapi ternyata diamnya Olivia lebih kepada trauma.

Menurut psikiater dan psikolog yang menolongnya, Olivia sempat berbicara kepada ayahnya untuk tidak menyakitinya. Namun tidak didengar.

Setelah tertusuk, Olivia menangis dengan sangat kencang hingga ada tetangga yang mendengar, sehingga Leah yang baru saja balik dari kedai kopi Gio, berlari dengan kencang begitu menyadari anaknya menangis.

Menurut mereka, Olivia merasa ia lebih didengar ketika menangis daripada berbicara. Itu sebabnya dia sempat menolak untuk berbicara.

Iqbaal sering mengunjunginya dan mengajaknya mengobrol. Olivia juga mendapat terapi wicara untuk menstimulasinya berbicara kembali.

Sekarang, dia sudah lebih mau berbicara. Meskipun masih sedikit-sedikit dan belum dalam kalimat yang panjang.

Olivia mengambil kue sedikit di tangannya lalu menyodorkannya ke mulut Iqbaal.

I’m not hungry”, ucap Iqbaal seraya menggeleng.

Namun Olivia menyodorkan kembali kue tersebut semakin dekat dengan mulut Iqbaal.

It will make you happy”, ucap Olivia pelan. Kalimat terpanjang yang pernah Iqbaal dengar dari Olivia.

Iqbaal tersenyum lalu membuka mulutnya dan memakan kue dari tangan mungil Olivia.

You are happy now”, ucap Olivia seraya tersenyum.

Indeed. You make me happy

No”, ucap Olivia seraya mengambil kue lagi dengan jari-jari mungilnya, “Cake do that

Iqbaal tertawa, “Are you happy, Olivia?

Olivia mengangguk seraya menjilat tangannya yang penuh dengan krim.

Actually you just made my day because I am not really feeling happy right now

Olivia mengambil lagi potongan kue dan menyodorkannya ke mulut Iqbaal.

Gio datang mendekat ketika Iqbaal memakan kue yang disodorkan Olivia.

Can we talk, mate?” tanya Gio , “Olivia, I need to talk with him. Can I borrow him for a second?

Olivia mengangguk, lalu turun dari pangkuan Iqbaal. Iqbaal berjalan mengikuti Gio ke arah pintu yang menghubungkan taman dengan bangunan villa. Gio membelakangi pintu tersebut, sementara Iqbaal berada di hadapan Gio.

Thank you”, ucap Gio seraya tersenyum, “You help me a lot with this wedding and this villa, I cant thank you enough for that

It’s okay”, Iqbaal tertawa, “I’m happy you like that. I enjoy this wedding so much. You and Leah look good together

Yeah, so you and Sasha

Iqbaal menatap Gio, berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Gio, lalu menggeleng, “No. Me and Sasha are nothing

No”, Gio menggeleng, “I know you are really upset right now but Sasha and Megan—

Belum sempat Gio melanjutkan ucapannya, Iqbaal dapat melihat sosok pria berlari dari arah dalam Villa dengan sangat cepat, menuju ke arah mereka.

Iqbaal perlu waktu beberapa detik memproses mengapa ada pria yang berlari dari arah dalam Villa, tapi matanya menangkap kilauan putih dari tangan pria itu.

Pisau.

Dengan sigap, Iqbaal menarik tangan Gio, membawa Gio ke dekapannya, lalu memutar tubuhnya.

Ia pikir, ia masih dapat menahan serangan pria itu, jadi Iqbaal berbalik, tangannya bersiap untuk menahan tangan pria itu.

Namun, tidak bisa.

Dengan cepat, dalam sepersekian detik, pisau itu menembus perut Iqbaal. Membuat Iqbaal mengeluarkan suara merintih kesakitan.

Pria yang memegang pisau tersebut tampak bingung karena pria yang tertusuk di depannya adalah orang yang bukan menjadi targetnya, sehingga ia dengan paksa mencabut pisau tersebut dan berlari ke dalam bangunan Villa dan menghilang.

Iqbaal merintih semakin keras karena ia merasa seperti tertusuk kedua kalinya ketika pisau itu tercabut dari dirinya.

Yang terakhir kali dia ingat, darah mengucur dengan derasnya dari perutnya. Ia memegangi perutnya secara refleks.

Yang terakhir kali dia dengar, ada suara teriakan dan namanya dipanggil berkali-kali.

Yang terkahir dia lihat, adalah bintang yang tampak redup di langit. Dan kemudian semuanya perlahan menjadi gelap.

***
Vanesha berteriak dengan keras begitu melihat Iqbaal merintih kesakitan ketika seorang pria asing tiba-tiba menusuknya. Vanesha berlari meninggalkan Megan, mendekati Iqbaal dan Gio lalu melihat pria itu mencabut pisau tersebut dari tubuh Iqbaal.

Vanesha dapat melihat pria itu dengan jelas.

Dan dia yakin betul, pria itu adalah pria bule yang menabraknya di pasar, yang ia lihat saat sedang berbelanja di pasar, dan yang mondar-mandir di depan villa malam sebelumnya.

Vanesha melihat darah segar mengucur dari Iqbaal, seketika kakinya berasa sangat lemas, tapi otaknya masih menyuruhnya untuk berpikir apa yang harus dilakukan.

Dengan sigap, John mengambil taplak meja dan mendekati Iqbaal, berusaha menekan bagian perutnya agar darah tidak keluar semakin banyak. Ben dan Gio kemudian membopong tubuh Iqbaal. Vanesha mengambil tasnya dan merogoh kunci mobilnya. Ia mengarahkan mereka agar membawa Iqbaal ke mobilnya.

“Hei, aku aja yang nyetir”, ucap Megan ketika Vanesha menyalakan mesin mobilnya, namun Vanesha menggeleng.

“Aku aja, aku tahu rumah sakit terdekat dari sini” 

Sesungguhnya, Vanesha tidak tahu.
Dia hanya pernah melihat sekilas rumah sakit di dekat sini saat berputar-putar di sekitar villa Gio, di hari dia menabrak bule itu di pasar.

Megan tidak berkata apa-apa lagi karena Vanesha terlihat tidak ingin dibantah, tapi dia khawatir sehingga dia duduk di kursi penumpang, memastikan Vanesha menyetir dengan baik.

Vanesha berjalan mengikuti instingnya. Di kursi belakang, Iqbaal ditemani oleh John dan Ben.

Vanesha berusaha agar pikirannya tetap tenang dan fokus, meskipun jantungnya rasanya berdebar-debar penuh ketakutan, dan rasanya ia ingin menangis saja. Tapi tidak, dia memutuskan untuk tetap sadar karena menangis bisa dilakukan nanti, sementara mengendarai mobil dan menyelamatkan Iqbaal adalah fokus utama saat ini.

Mereka sampai di Rumah Sakit Umum terdekat, dengan selamat. Entah bagaimana cara Vanesha bisa mengendarai mobil dan mengikuti jalan tanpa menggunakan gps. Yang pasti, Megan segera turun dari mobil, berlari ke arah UGD, dan tak lama kemudian petugas medis keluar dengan membawa ranjang rumah sakit.

Saat melihat tubuh Iqbaal dibawa ke dalam UGD, Vanesha baru bisa merasakan oksigen masuk ke dalam paru-parunya.

***
Ternyata, kecemasan Vanesha tidak berhenti sampai di situ. Begitu masuk ke dalam UGD, Vanesha mendengar bahwa Iqbaal harus dioperasi.

Vanesha beruntung sekali karena dokter menginformasikan dengan sangat mudah kepadanya mengenai situasi Iqbaal saat ini sehingga ia dapat mengerti di situasi kalut begini.

Vanesha tidak ingat benar apa kata-kata dokter, tapi yang pasti Iqbaal mengalami pendarahan karena pencabutan pisau yang menusuknya menyebabkan pendarahan hebat terjadi, dan luka yang terjadi cukup dalam sehingga mereka ingin memastikan bahwa tidak ada organ tubuh Iqbaal yang terluka karena tusukan tersebut.

Operasi tersebut harus segera dilakukan.

Dan Vanesha, bertanggungjawab untuk menandatangani consent operasi. Tidak bisa menunggu sampai ada keluarga Iqbaal yang datang karena ini operasi berpacu dengan waktu.

Kata dokter, setiap detik sangat berharga, dan bagi Vanesha, setiap detik yang dia punya dapat menyelamatkan Iqbaal. Dia akan memberitahu Bunda nanti, setelah Iqbaal ditangani oleh petugas medis.

Sambil menandatangani kertas tersebut, Vanesha menatap dokter , memohon, menahan air matanya jatuh.

“Tolong selamatkan Iqbaal, Dok”

Dokter tersebut menatap Vanesha dengan mata yang sungguh meneduhkan, sepertinya ia terbiasa melihat wajah-wajah khawatir dan ketakutan setiap hari di depan ruang operasi. Ia mengangguk, lalu meminta Vanesha untuk percaya kepadanya dan berdoa. Karena, apalagi yang Vanesha bisa lakukan selain kedua hal tersebut?

Dokter tersebut masuk ke dalam ruang operasi, dan Vanesha baru merasakan kelelahan.

Sedari tadi, ia menguat-nguatkan dirinya sendiri untuk melihat darah yang masih bercucuran dari perut Iqbaal.

Sedari tadi, ia menguat-nguatkan dirinya untuk dapat menginjak kopling dan gas mobilnya dan melihat jalanan meskipun dia merasa sangat ketakutan.

Sedari tadi, ia berusaha menghipnotis pikirannya agar tetap berpikir jernih agar semuanya berjalan dengan baik.

Tapi ketika dia sendirian dan kehirukpikukan itu berlalu ke ruang operasi, Vanesha terbawa ke kondisi dirinya yang sebenarnya.

Bahwa sebenarnya dia sungguh sangat lemas daritadi. Bahwa sebenarnya dia ketakutan setengah mati. Bahwa pikirannnya sangat kalut. Bahwa dia sungguh ingin menangis.

Megan mendekatinya.
“Sha, duduk yuk”

Megan menuntun Vanesha agar duduk di sebelah John dan Ben yang sedari tadi sudah berada di sana. Mereka menatap Vanesha, tapi tidak ada yang berbicara. Vanesha sedang tidak butuh kata-kata penghiburan.

Vanesha berdiam diri beberapa detik kemudian menyadari bahwa dia harus menghubungi keluarga Iqbaal. Entah apa yang akan ia katakan kepada Bunda dan Ayah, tapi mereka harus tahu mengenai kondisi Iqbaal.

Vanesha berdiri. Tasnya masih terselempang di bahunya. Ia berjalan menjauh dari kursi, mengambil hanpdhone nya lalu menghubungi Bunda.

Sudah jam 10 malam waktu WITA, seharusnya Bunda belum tidur.

“Eh? Halo, anak cantik? Apa kabar?”
Terdengar suara Bunda yang ceria di ujung sana.

Saat itu, begitu mendengar suara Bunda, detik itu pula tangis Vanesha pecah.

“Eh? Kok malah nangis? Sha? Kamu kenapa, Sayang?” di ujung sana, suara Bunda mulai terdengar panik karena Vanesha tiba-tiba menangis begitu pilu. Sungguh menyayat hati.

“Iqbaal, Bunda…”

Dengan terbata-bata, sambil menangis, Vanesha memberitahu mengenai kondisi Iqbaal saat ini kepada Bunda.

Dan saat itu, Megan, di ujung sana, melihat Vanesha yang menangis tersedu-sedu sambil terduduk di lantai.

Tangisan itu begitu pilu. Begitu menyayat hati. Begitu membuat Megan seperti menyadari sesuatu.

Vanesha begitu takut kehilangan Iqbaal.

JUST IN TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang