Bab 41

98 6 0
                                    

Ezra berjalan dengan murung, menaruh tas nya diatas kursi meja belajar. Merebahkan tubuhnya di atas kasur, memandangi langit langit kamarnya.

Dia menghela nafas panjang, "Masa kata kata tadi serius?" gumamnya. "Gak mungkin, kan?" lanjutnya yang masih bingung.

Ezra mengubah posisinya, mengambil ponsel yang ada di kantung celananya. Matanya berubah jadi sendu, ada kesedihan yang tampak pada mata itu.

"Zra?"

Ezra menoleh, mengangkat satu alisnya. "Kenapa?" jawabnya singkat.

"Lo gapapa kan?"

Ezra mengangguk, "Gapapa kok, tenang aja," katanya sambil tersenyum. "Bisa minta tolong bikinin gue makanan gak rez?" lanjutnya.

"Makanan apa?" tanya Reza

"Sebisa lo deh, apa gitu yang bisa di jadiin masakan," jawab Ezra santai sambil membuka seragamnya.

"Oke, tapi kalau makanannya gak enak jangan salahin gue ya"

"Iya"

Reza keluar dari kamar Ezra, tak lupa dia menutup pintu kamar itu. Ezra segera mengganti pakaiannya, dan segera menghampiri Reza. Dia takut masakan Reza tidak memiliki rasa atau malah berlebih, dia lebih suka makanan yang rasanya cukup atau sesuai dengan lidahnya. Tidak terlalu hambar, namun masih ada sedikit rasa.

"Masak apaan nih?" tanya Ezra sambil memainkan ponselnya dan duduk di salah satu kursi meja makan.

"Gak tau, di kulkas cuma sisa roti doang," jawab Reza

"Serius? Masa cuma tinggal roti doang sih?" tanya Ezra sambil menghampiri

"Tuh, liat aja"

Ezra berdecak sebal, tidak ada makanan lain selain roti. Dia mengambil susu, lalu menutup pintu kulkas itu.

"Mau diapain?" tanya Reza

"Mau di minum lah, masa mau di buang," jawab Ezra santai sambil mengambil sebuah gelas, lalu duduk di salah satu kursi meja makan.

Reza hanya mengangguk, lalu meninggalkan Ezra yang sedang asik meminum segelas susu.

"Zra, minta file latihan soal ekonomi dong," kata Reza sambil membawa sebuah buku cetak tebal di tangannya.

Ezra menoleh, "Lah, kita kan beda jurusan kakak Reza yang ganteng, pintar, dan mempesona. Mana mungkin sama soal latihannya," jawabnya.

"Sama woi, guru yang ngajar kita aja sama kok," jawab Reza

"Oh, yaudah. Buka aja sendiri filenya di laptop, di folder 'lat.soal ujian', tinggal pilih aja filenya," jawab Ezra.

Reza mengangguk, dia berjalan ke arah kamar Ezra yang tepat di sebelah kamarnya. Sedangkan Ezra, dia tampak sibuk bermain dengan ponselnya.

Brrrtttt

Ezra tersenyum, menggeser kearah warna hijau.

"Halo?"

"....."

"Iya, benar"

"......."

"Kok bisa? Apa sudah yakin? Siapa yang tanda tangan?"

"....."

"Kapan?"

"......"

"Oke, besok aku datang ke sana"

"....."

"Iya, selamat sore"

Senyum Ezra berubah menjadi muram, dia menarik nafas dalam dalam. Matanya sendu kembali. Semua kesenangan yang berusaha ia bangun, seakan runtuh hanya dengan satu sentuhan.

****


Ruangan serba putih, dengan bau antiseptik yang memenuhi ruangan. Ezra berjalan dengan perlahan, tangannya terasa berat saat membuka tirai penutup.

"Aku boleh masuk kan?" katanya pelan, namun terdengar berat.

Ezra menyibakkan tirai itu perlahan, nafasnya tak beraturan. Dia menelan salivanya, dia menutup mulutnya menggunakan telapak tangan.

"Kenapa? Kenapa begini?" katanya sambil berjalan perlahan mendekati tempat tidur pasien. Dia memperhatikan sosok yang dia sayanginya itu, kepalanya penuh dengan perban luka, terdapat sebuah infus di tangannya, dan tampak tangan kirinya penuh dengan luka yang terbalut perban.

Sungguh pemandangan yang tak mengenakkan hati, melihat kesedihan yang tak ada habisnya datang menghampiri. Menyayat sebuah luka baru, pada titik yang tetap sama.

"Kenapa? Kenapa begini?" katanya sambil memegang tangan itu. "Jangan tinggalin aku sendirian," lanjutnya sambil memegang erat tangan itu.

Ezra menunduk sedih, ingin rasanya memeluk tubuh yang terbaring lemah itu. Ingin rasanya bisa memegang tangannya erat, mengajaknya pergi mencari kesenangan bersama, menikmati aroma bunga di taman, dan mendengarkan sebuah musik kesukaan mereka.

Matanya kini tampak berkaca kaca, dia bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dia bersandar pada sebuah tembok, kakinya terasa lemas.

"Kenapa?" teriaknya. "Kenapa Tuhan? Kenapa engkau membiarkan semua ini terjadi?" lanjutnya dengan perasaan yang sedang kacau.

Ezra terduduk lemas di tanah, dia memandang ke langit. Nafasnya mulai tak beraturan, air mata keluar dari pelupuknya. "Kenapa? Kenapa semua ini terjadi?" teriaknya sekali lagi.

Ezra menunduk, mengacak acak rambutnya, pandangannya lurus dan kosong. Fikirannya kini di penuhi dengan hal hal negatif, tidak sedikitpun ruang untuk satu hal positif. Sesekali dia menyeka air mata yang jatuh dengan telapak tangannya.

"Tuhan, tolonglah dia. Berikan rencana terbaik-Mu," ucapnya lalu bangkit berdiri. Ezra menghela nafas panjang, membenarkan penampilannya. Dia melangkah kembali menuju kamar pasien itu, mencoba untuk tersenyum untuk menguatkan hati.

"Ayo, pasti bisa. Tetaplah hidup, jangan tinggalin aku," ucapnya sambil  mengusap lembut punggung tangan pasien itu. "Lekas sembuh," lanjutnya.

"Permisi, boleh saya periksa keadaan pasien?"

Ezra menoleh, mempersilahkan perawat itu melakukan tugasnya. Ezra  hanya diam, menunggu perawat itu selesai.

"Sepertinya pasien dalam keadaan baik, apakah anda keluarganya?" tanya perawat itu.

Ezra mengangguk. Perawat itu tersenyum, lalu meninggalkan ruangan itu.

"Aku pulang dulu ya, cepet sembuh," kata Ezra dengan tatapan sedih. Dia mencium punggung tangan pasien itu, memperhatikan sejenak sebelum dia benar benar meninggalkan pasien itu.

To be continued









TERIMA KASIH UNTUK KALIAN
YANG SUDAH MEMBACA DAN MENGIKUTI ALUR CERITA PROSPECT. ✨🙌

JANGAN LUPA VOTE
SETELAH MEMBACA

SATU VOTE DARI KALIAN DAPAT MEMPENGARUHI KEBERLANJUTAN CERITA INI :)

PROSPECT  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang