8. Semoga

1.4K 112 14
                                    

“Bang, gurame sekilo berapa?”

“25, Neng.”

Mira meraba-raba ikan gurame yang ada dihadapannya. Beberapa ibu-ibu yang ada di sana sukses menjadikan Mira sebagai pusat perhatian.

“Neng, tinggal di rumah yang itu ya?”

Mira mengangguk dengan senyumnya. “Iya, Bu.”

“Mm... Neng kok jarang keluar, Neng? Jarang keliatan.”

“Iya Bu, di rumah aja. Lagian juga gatau daerah sini,” sahutnya, “oh iya Bang, sekilo.”

“Umm, iya iya, pengantin baru mah beda ya Bu, hahhaha.” Tawa mereka pecah.

“Si Daffa Daffa itu kalo ngga salah yang orangnya tinggi ganteng kan ya? Aduh kepelet berondong nih saya,” kata si ibu. Yang lain menjotos jidatnya.

“Nih, Neng.”

Mira mengeluarkan uang dari dompetnya. “Ih Neng, itu kenapa tangannya?”

“Kena beling, Bu. Em... yaudah, saya permisi. Assalamualaikum.”





“Mas... hari ini aku masak gurame. Kamu suka ngga?” tanya Mira saat melihat Daffa yang lewat dapur. Mira tersenyum manis, sangat manis. Tapi sayangnya, tak terpengaruh bagi Daffa.

“Hm.”

“Tunggu makan siang ya, Mas. Nanti aku siapin sambel terasi juga, jangan ke mana-mana.”

Daffa menatap Mira sebentar. “Gausah banyak ngomong ga bisa emangnya?”

Mira kikuk. “Maaf, Mas.”

“Kamu juga ngapain suruh adik songong kamu itu ke sini?” Daffa berdecak pinggang. Satu alisnya naik menunggu jawaban Mira.

“Astaghfirullah, Mas. Aku ngga nyuruh sama sekali. Dia dateng sendiri karena khawatir sama kondisi tangan ak—”

“Khawatir? Berarti kamu cerita ke dia kalo tangan kamu kayak gitu?”

“Iya, lewat telepon.”

“Bego... bego.”

Daffa tertawa. Mira menggigit bibirnya. “Mas, kamu ngomong apa sih...”

“Heh Mira, denger ya. Saya gamau karena ulah adik kamu itu, mama saya tau semuanya.” Daffa melangkah maju. “Kalo ngga...”

Mira tegang. Lehernya mundur beberapa senti menjauh dari pisau yang ditodongkan Daffa.

“Kalo engga...” Daffa masih menggantungkan ucapannya. Ujung pisau ia mainkan di dagu Mira. Membuat si empunya meringis, menahan napas.

“Kamu mati.”






Mira sedang duduk di tepi kasur, diam, hanya itu. Pandangannya tertuju pada sebuah foto berukuran 2R. Terpampang foto keluarganya, ayah, ibu, Adnan dan ia sendiri. Mira rindu.

“Bu, maafin Ameera, ya.”

Tangannya mengusap wajah sang ibu, air mata tak menitik. Sudah lelah dengan beratnya masalah yang ia hadapi, dan perasaannya semakin gundah kala mengetahui sikap suaminya yang mulai terbuka secara terang-terangan. Brutal, brutal sekali.

“Miraa.”

“Iyaaa, Mas.”

Mira keluar, mendapati Daffa yang sedang duduk santai dengan tumpahan kopi di lantai. Mira mengerutkan keningnya. Kenapa tumpah lagi? Batinnya.

Cinta SesungguhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang