30. Perfect

1.4K 116 14
                                    

Lima belas hari sudah Mira lewati dengan masa lelapnya. Tapi sampai saat ini, tak jua keluarganya berhenti berkunjung dan berdoa. Karena mereka yakin, Ameera bisa sembuh. Mereka yakin Mira bisa kembali mengembangkan senyumnya semanis madu.

"Daf," panggil Rika. Beliau duduk di sisi kiri putranya.

"Ya, Mah."

"Mama yakin istri kamu bisa sembuh dan bangun dari masa komanya. Mamah yakin."

Daffa tersenyum dan mengangguk. "Aku juga yakin, Mah."

"Terus kenapa kamu murung?"

"Aku cuma kangen sama dia." Daffa semakin sendu, Rika membalas dengan usapan sayang di bahu.

"Mama pulang gih, udah malem."

"Kamu gimana? Baru pulang kerja udah ke sini aja. Aturan mandi aja dulu di rumah, biar segeran."

"Buat Mira aku selalu seger kok, aku kan kuat." Daffa tersenyum lalu berdiri, diikuti Rika.

"Yaudah deh, mama pulang ya. Papa kayaknya udah di jalan. Kamu jangan lama-lama di sini, nanti Mira-nya bangun, malah kamu yang sakit."

Daffa terkekeh. "Nggalah, udah sana. Assalamualaikum." Daffa mencium tangan Rika. Rika berlalu dan punggungnya mulai hilang.

Daffa menghembuskan napas. Hari-harinya sepi tanpa Mira, tak ada lagi teri kacang yang ia nikmati di rumah. Hanya mie instan dan sarden, mungkin makan rendang dan opor ayam kalau Rika atau Aminah yang mengirimnya.

Daffa masuk, balutan jas kerja masih menempel.

"Assalamualaikum, Ameera. Gimana hari ini?" tanya Daffa. Meski bertanya ribuan kali pun Daffa tau tak akan ada balasan. Tak akan ada balas genggaman tangan atau bahkan hanya sekadar lirikan mata sayu, tak akan, tidak akan ada.

"Kamu mau sampe kapan seperti ini? Bangun dong, Ra..."

Daffa tersenyum, memainkan bulu-bulu tangan Mira yang ramai dengan telunjuk panjangnya. "Kamu gamau aku buatin nasi goreng?"

"Ra..."

Daffa menopang kepalanya dan menatap wajah Mira yang ekspresinya tak berubah sejak kali pertama ia menjenguk.

"Makasih ya udah janji sama diri kamu sendiri untuk merubah aku, dan makasih karena janji kamu sudah dilunasi. Aku seneng bisa balik ke Daffa yang dulu, makasih juga udah datangin Saka waktu itu."

Daffa memejamkan matanya, mengingat momen di mana Mira tersenyum dan menyiapkan makan untuknya.

"Bukannya kamu bilang sama Saka akan main ke rumah dia? Yuk cepetan bangun, nanti kita ke Jogja, beli klepon dan oleh-oleh yang banyak untuk Adnan sama Chintya. Ibu sama ayah kamu juga jangan dilupain ya, kita beliin buat semuanya."

Diam sejenak, lelah juga dua minggu berbicara sendiri. Daffa meraih sebotol air yang ada di atas nakas, yang di sampingnya terdapat buah-buahan.

"Aku haus, bentar ya."

Glek Glek Glek.

"Udah," lapor Daffa.

"Em... tadi sampe mana ya, Ra?" Daffa berpikir sejenak. "Oh iya, Jogja. Jadi, Mira mau kapan bangunnya? Aku ga sabar lho.

Nanti kita nginep di hotel dan nikmatin indahnya Jogja berdua, Saka ga usah diajak dulu.

Terus, kita makan soto ayam sama bakso. Kan kamu suka ba-eh... kamu... kamu suka apa ya, Ra? Maaf Ra aku ngga tau kamu suka makanan apa, nanti aku tanya deh sama ibu. Jangan marah ya."




Pagi ini Daffa berjalan di koridor rumah sakit dengan baju santai. Di hari minggu berarti libur dong? Nah, Daffa pun sama. Ia tak bisa sehari pun tanpa ruang ICU yang di dalamnya menampung bidadari tak bersayap yang sedang sakit.

Kakinya melangkah dengan perlahan, menimati sejuknya udara pagi itu. Matanya memejam sejenak. Hidung mancungnya mengendus dan tersenyum. Sampai akhirnya,

"Ehh maaf-maaf, saya ngga sengaja."

Daffa tersenyum. "Gapapa."

Dokter itu sempat salting saat mengetahui ketampanan pria dihadapannya. "Mm.. oke, saya permisi."

Daffa menaikkan kedua bahunya tak acuh. Lalu berjalan lagi.

"Daffa!"

Ada yang manggil?

Daffa pun menoleh, senyumnya mengembang kala melihat David, sang papa. Daffa menyalimi papanya dan jalan beriringan.

"Ga bareng mama, Pah?"

David menggeleng. "Ngga, mama kamu arisan. Tadinya mau ke sini sama Chintya, tapi dia malah lanjutin tidur, mungkin kecapekan."

Daffa mengangguk. "Papa ke sini ngapain?"

"Ya jenguk mantu Papa, lah!" ketus David seperti biasa. Daffa terkekeh.

"Pah, Papa sayang sama Mira, ngga? Trus kenapa sih Papa mau jodohin aku sama dia?"

David berdeham. "Sayang dong, dan untuk urusan kenapa menjodohkan kamu sama dia, ya karena Papa sama Adam itu udah kenal dari dulu, trus karena Papa suka dengan tabiat keluarga itu yang sangat sopan, Papa tertarik untuk ngajak Adam menjodohkan anak kita masing-masing... seliat Papa juga Mira anaknya... hm, perfect."

Daffa tersenyum. "Trus, Papa pikir aku pantes buat dia?" tanya Daffa pelan. David melirik sebentar.

"Lho ga pantes kenapa emangnya? Kamu kan saat itu udah mapan dan pribadi yang cukup baik, jadi Papa berani untuk menjodohkan kamu dengan Mira."

"Makasi ya, Pah, udah jodohin aku sama Ameera."





"Hei!"

Daffa dengan wajah lelahnya menoleh ke samping, ada dokter tadi pagi dengan seorang laki-laki yang sebaya dengannya, hanya saja menggunakan jas kantor.

"Daffa, ya?" tanya laki-laki itu. Daffa mengangguk dan tersenyum.

"Silakan duduk," ucap si dokter. Daffa duduk dihadapan mereka.

"Saya Jerry," katanya dengan tangan diulurkan. Daffa menerimanya. "Daffa."

"Kita pernah bertemu, lho. Rapat seminggu yang lalu. CEO Arthaya," jelasnya. Daffa masih berusaha mengingat.

"Oh, iya ya, maaf saya lupa."

Jerry mengulas senyum pertanda memaklumi, lalu ia mengarah ke dokter. "Ini Revi, teman SMA saya yang ternyata malah jadi istri, hahahaha."

Dokter Revi tertawa. "Revi."

"Daffa."

Jerry mengangguk. "Oh ya, di sini lagi jenguk atau apa?"

"Jenguk," balas Daffa, "istri saya sakit."

Revi mengerutkan keningnya. "Sakit apa?" tanyanya, lalu menoleh ke Jerry. "Pasienku bukan, ya?" Jerry hanya menaikkan kedua bahunya. Lalu memakan baksonya lagi.

"Ameera, dirawat di ruang ICU, sudah 15 hari koma dan belum juga bangun."

Kedua orang dihadapannya tidak bergeming, diam dan seperti ada rasa bersalah. "Mm... emang penyebabnya apa?"

"Cedera kepala."

Revi refleks membuka mulutnya lebar. "Mm... apa ada wejangan khusus dari dokter yang menangani?"

"Ngga ada."

Jerry berdeham. "Setauku ya, kalo orang koma itu bisa diajak cerita. Dia terkadang denger apa yang kita omongin, tapi sayangnya dia ngga bisa balas dengan gerakan tubuh atau hanya sekadar buka mata, dia ga bisa."

Revi mengangguk. "Waktu itu, gue pernah denger, Prof. Pape yang sekolah kedokteran di Chicago pernah bilang, kalo orang yang koma itu diperdengarkan orang terdekatnya cerita menyenangkan bisa melatih sirkuit otak yang bertanggung jawab terhadap memori jangka panjang. Sehingga, rangsangan itu perlahan membantu memicu bangkitnya kesadaran mereka yang koma."

Daffa mengangguk-angguk.

"Terima kasih, Dok."

☜☆☞






Sabtu, 20 Juni 2020
1016 kata
09.50

Cinta SesungguhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang