28. Kehilangan

1.8K 139 35
                                    

“Kak Daffa ke mana aja?” tanya Chintya setelah melihat kedatangan Daffa.

“Maaf ya.” Daffa tersenyum kecil, lalu memeluk adiknya. “Kak Mira.... Dia ngga baik-baik Kak,” adu Chintya.

Daffa mengeratkan pelukannya, itu semua karena aku, Chin, ujarnya dalam hati.

“Mana mama?”

“Mamah lagi sama ibu di dalem, Kak.” Chintya menunjuk ruangan tempat Mira dirawat. Daffa meninjau semuanya dari sana.

“Setelah mama keluar, Kakak yang ke dalam, ya?” pinta Chintya.

Daffa menggeleng pelan, membuat Chintya mengerutkan keningnya. “Kenapa?”

“Aku mau bicara sama Adnan, dia di mana?”



“Nan,” panggil Daffa saat berada di samping adik iparnya. “Gue duduk, ya?”

“Ngapain lo ke sini?” ketus Adnan, ia terlihat tak acuh akan kehadiran Daffa.

“Apa yang udah lo rencanain? Kenapa ga aduin gue ke polisi? Dan kenapa lo ngeletakin alamat rumah sakit ini di atas meja makan?”

“Dasar sinting! Ya biar lo dateng, lah!”

Daffa diam.

“Lo mau pukulin gue?” tawar Daffa. Senyumnya mengembang kaku. Adnan melihatnya dengan tajam.

“Ga usah mancing gue,” kata Adnan dan terus memakan gado-gadonya.

“Terus kenapa lo ngga bilang semuanya sama mama? Sama yang lain?”

Adnan berdecih lalu menatap Daffa. “Gue ngga mau nyakitin Teh Mira, seperti apa yang lo lakuin. Karena gue ga mau ada keributan di sini, gue ga mau teteh makin sedih karena tau lo dipenjara atau bahkan, mati.”


Daffa pulang, ia berjalan masuk dengan tangan yang membuka kaitan jaket. Menyisakan kaos hitam dengan gambar puntung rokok. Ia duduk.

Daffa mengukir senyumnya, di sini, di tempat ini ia pernah menyakiti Mira. Sekali lagi, pernah menyakiti Mira.

Ia mencengkeram tangan Mira yang saat itu keadaannya tidak baik-baik saja, jahitan pun belum kering. Namun, Daffa melakukannya, tanpa memikirkan Mira. Istrinya sendiri.

Daffa melirik ke sampingnya, pernah ia dorong Mira sampai terjatuh, lalu ia lempar dengan majalah. Setelah itu Adnan datang, mengusiknya.

Hembusan napasnya teratur, Daffa berdiri dan berjalan ke dapur untuk membuat makanan. Ia mulai semuanya sendirian, seperti yang ia lakukan dulu saat masih sendiri.

Dulu? Ah... Sudah hampir berapa bulan ya ia menikah?

Daffa duduk, dengan telur dadar dan nasi. Simple.

Kunyahannya terasa begitu hambar, kurang garam ternyata. Jika mengingat masalah masakan, Mira tidak pernah mengacau. Masakannya selalu enak, pas dan setiap harinya hampir tak membosankan. Hanya saja, Daffa yang terus mencari onar.

Daffa serat, tanpa pikir panjang ia membuka mulutnya. “Ra, air putih dong.”

Daffa terbatuk. “Raaaa.”

Ups.

Tidak ada.

Maaf, Tuan Daffa. Mira istrimu sudah tidak ada di sini.

“Raa... Maaf.”

Lagi-lagi, Daffa hanya mengucapkan itu di tempat yang bukan seharusnya. Harusnya, ia datang dan bicara itu di depan Mira, di depannya.

Cinta SesungguhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang