31. Bukan Lagi Katanya

1.3K 115 14
                                    

Daffa melangkah masuk dan meletakkan tentengannya di atas paha. Sebelumnya ia sudah izin pada penjaga ICU untuk bisa membawa tentengan itu ke dalam.

“Ra, kamu udah baikan?”

Daffa mulai mengeluarkan isi dari bungkusan itu. Tangannya menjulur untuk menyoel pipi kanan Mira yang tersisa sedikit. Memang ventilator itu menguasai wajah Mira.

“Ra, maaf ya baru beliin sekarang. Aku sempet lupa,” ujar Daffa. Mengeluarkan dua kerudung dengan warna yang berbeda. Daffa mendekatkan kerudung itu ke wajah Mira. Hari itu istrinya terlihat lebih baik, tidak sepucat satu minggu lalu.

“Cantik,” gumamnya. Daffa tersenyum.

“Kemarin aku ketemu dokter, dia bilang kalo kamu bisa denger aku, tapi ngga bisa kasih respons.”

“Katanya, orang terdekat pasien yang koma itu bisa ngajak pasiennya untuk bercerita. Pengalaman menyenangkan pas lagi barengan gitu katanya bisa bantu kamu buat kamu sadar, Ra.”

Daffa memasukkan kerudungannya lagi ke dalam, tentengannya ia letakkan di atas nakas dan menarik kursinya supaya lebih dekat.

“Aku orang terdekat kamu kan ya, Ra?”

Daffa tersenyum lagi. Ia tatap wajah Mira yang hanya datar-datar saja, tidak ada lagi senyuman. Senyuman yang amat Daffa rindukan.

“Aku pengen banget cerita sama kamu. Tapi, semua cerita tentang kita ngga ada yang menarik, ga ada yang menyenangkan. Aku minta maaf, ya?”

Daffa meletakkan tangannya di bahu kanan Mira dan mengusapnya. “Maaf aku cuma bisa kasih satu hariku buat kamu waktu itu, harusnya aku denger dulu penjelasan kamu. Harusnya aku dengerin semuanya. Dan seharusnya aku tau kalo kamu ngga akan khianatin aku.”

Daffa tersenyum pilu.

“Ra... Bangun.”

“Cerita Romance bagus banget ya ternyata, mirip-mirip cerita kamu.”

Daffa menopang kepalanya dengan dua tangan dan menatap Mira sendu. Mulai lelah.

“Ra... aku capek ngomong sendiri.”

Daffa meletakkan tangannya di tepi brankar, menatap telapak tangan Mira yang ia pijat perlahan. Jemari itu saling berangkulan, berdoa supaya manusia di hadapannya sebentar lagi akan bangun. Lalu sembuh dan kembali tersenyum dan memanggil namanya.

“Kamu dengerin aku ngga, ya?” Tangan Daffa terjulur untuk mengelus sayang pipi Mira.

“Ra, kalo kamu denger aku...” Daffa diam, suasana haru sudah menguasai sanubarinya. “Kalo kamu denger...”

Tes. Setetes air mata pria itu terjatuh.

“Aku sayang sama kamu.”

Daffa berdecih. “Cemen banget ya aku, berani bilangnya pas kamu ngga sadar gini. Tapi aku janji, Ra. Aku janji akan bilang ke kamu kalo kamu udah bangun.”

“Raa... kenapa sih kamu bisa sebaik itu?”

Daffa berdiri. Ia tatap Mira yang masih penuh selang infus dan teman-temannya.

“Bangun...”

Daffa mendekatkan wajahnya ke wajah Mira. “Aku mau kamu bangun, sekali aja, bahagia sama aku, Ra,” bisik Daffa persis di telinga Ameera.

Daffa mendaratkan bibirnya di kening Mira yang bebas. Pucuk kerudungnya ia singkirkan supaya tidak menghalangi.

Kecupan hangat yang pertama kalinya. Seharusnya ini adalah momen paling menggembirakan, namun ternyata Daffa memilih sekarang. Rasa rindu yang selama ini ia tahan belum juga hilang. Nyatanya, semakin ia berusaha untuk menghilangkannya, malah semakin bertambah.

Cinta SesungguhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang