7. Alasan Bertahan

1.6K 124 9
                                    

Mira terjerembap jatuh, bahunya didorong keras oleh Daffa.

“Mas, aku minta maaf.” Mira menangis, selain kaget akan perlakuan suaminya, tangan kanannya pun sempat terbentur lantai sangat keras sehingga membuat desiran ngilu.

“MAAF? NI MAAF!”

Plak.

Daffa melempar majalah ke arah Mira. “Tuh maa—”

“TEH MIRA!!!”

Mira langsung menoleh ke belakang, pintu yang terbuka... ah, kenapa harus terbuka?

Di sana, di ambang pintu, memperlihatkan sosok pemuda berpostur tubuh tinggi dengan jaket denim berwarna biru muda. Wajahnya menampakkan kemarahan yang amat luar biasa, matanya melotot menatap lelaki yang bajunya terkena noda kopi.

Mira berusaha bangun, sempat melirik Daffa yang juga menatap Adnan.

“Nan? Ka-kamu kok a-ada di sini?”

Adnan berdecih. “Ini suami Teteh? Dia Daffa yang penyabar dan lemah lembut itu, Teh? Iya?!” Adnan merebut bahu Mira, menggoyangkannya dua kali. Meminta jawaban.

“Adnan, jangan marah-marah ya. Teteh mau ngomong sama kamu abis ini, ayo duduk du—”

“TEH JAWAB!! DIA DAFFA SUAMI TETEH ATAU KUTU BANGSAT?!”

“Astaghfirullah.”

“Heh, jaga mulut lo!!” kini Daffa yang menggemakan ucapannya. Matanya sudah ikut mengkobarkan api.

“Adnan Adnan, istigfar.”

Mira mengelus dada Adnan, berharap segala amarah di sana lekas hilang. Tapi kalau menurutku, mana ada seorang adik yang rela kakaknya diperlakukan seperti itu?

“Teh, kenapa ga pernah cerita sama aku? Kenapa jadi gini, Teh?” Adnan menatap mata Mira dalam. Merah. Menangis.

Mira menjulurkan tangannya untuk mengelap tiap tetes yang jatuh dari sana. “Ayo pulang.”





“Kenapa Teteh ga cerita sama Adnan, Teh?!”

Adnan menangis, di samping kakaknya. Untung tadi Adnan meminjam mobil sang ayah, jadi membuatnya tertutup dari keramaian kota di malam hari.

“Teteh bingung harus cerita sama siapa, Nan. Maaf.” Mira menyetir mobil dengan lemas, ia memang lihai di bidang itu. Dengan satu tangan pun tak ada masalah.

“Bingung gimana? Teteh kan punya aku, ibu sama ayah. Mertua juga! Teteh kenapa sih, Teh?”

“Adnan, banyak hal yang belum Teteh ngerti. Kamu juga ngga boleh ngomong kotor kayak tadi, ibu dan ayah ga pernah ngajarin itu kan?”

“Adnan minta maaf, Adnan cuma gamau Teteh sakit. Adnan langsung ke rumah Teteh karena khawatir sama tangan Teteh yang katanya dijahit.”

“Iya Teteh ngerti.”

“Adnan gamau Teteh masih sama dia. Teteh harus pisah!!”

Adnan mengucapkan dengan lantang. Mira menelan salivanya. “Nan...”

“Teh...”

“Nan, tapi kamu belum tau apa yang sebenarnya terjadi.”

“Ya emangnya Teteh tau apa yang terjadi?! Ngga, kan? Yaudah, udahan aja. Ga usah main tebak-tebakan lagi sama dia, Teh! Ayo pulang, kita obatin luka Teteh selama di sana. Aku ga sudi Teteh balik lagi!”

“Adnan, tolong ngerti.” Mira berusaha tenang, tidak ikut tersulut seperti Adnan. “Ngerti apa lagi? Harusnya Teteh yang ngertiin diri Teteh sendiri. Teteh ga inget apa yang dibilang ibu? ‘segala sesuatu yang berawal kekerasan, berujung perpisahan,’ itu pasti, Teh!”

Cinta SesungguhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang