13. Mie Ayam

1.2K 100 13
                                    

Mira duduk di sofa dengan tumpukan buku di sampingnya. Pertama kali ke toko buku, dan pertama kali juga punya buku novel sebanyak itu, 5.

Awalnya hanya niat membeli satu, tapi entahlah, perempuan. Tapi memang toko buku selalu punya tarikan tersendiri, apa lagi ditambah cover-cover unyu, lucu, bagus dan keren itu bikin Mira makin pengen.

Jam menunjukkan pukul 3 sore, pantas jika Daffa belum kembali ke rumah. Karena biasanya kalo ngga jam 5 ya jam 8 malam. Atau bisa jam 12.

Mira mulai membuka buku fantasi yang ia maksud, ada beberapa part yang dibuat berbeda. Nampaknya semakin membuat Mira menyukai buku itu.

“Saya mau mie ayam.”

“Astaghfirullah,” latah Mira, tangannya sudah berada di dada dengan mata yang tertutup. “Kamu udah pulang kerja?”

“Dah, buruan beli. Uangnya masih ada kan?”

“Masih, Mas, masih.”

“Yaudah.” Daffa mendaratkan tubuhnya di sofa, di samping Mira lalu mengeluarkan ponselnya. “Buruan, mau sampe kapan liatin saya gitu?!”

wehh santuy dong!!

Mira terkesiap, dengan cepat membereskan bukunya dan berlalu. “Mm... belinya di mana, Mas?”






“Keren ya, bisa ketemu lagi kayak gini. Jangan jangan...”

Mira terkekeh. “Jangan jangan, jangan bilang kalo kita jodoh.”

Si abang tertawa. “Ah... udah keduluan hahaha.”

“Udah Bang, buruan, nyelip aja. Suami saya laper,” kata Mira. Si abang hanya diam dan setelah itu tersenyum.

“Mbaknya sayang banget ya sama suami?” Mira mengerutkan keningnya, tentu dengan wajah humor. “Apa gimana?”

“Eh??! Engga-enggaaa, maaf Mbak, maaf. Jangan kasih saya bintang satuuu...” sewotnya. Mira tertawa.

“Iya gapapa, Abang udah menikah?”

“Belum, masih kerja. Mbaknya usia berapa?”

“Saya 24.”

Si abang mangut-mangut, lalu mengetuk-ngetuk jarinya di stir. “Saya 25. Suami Mbak umur berapa?”

“Umurnya 26, bulan depan dia ulang tahun,” balas Mira dengan girang, membuat si abang makin tak keruan. “Enaknya ngado apa ya?”

“Ya tergantung, suaminya Mbak tipe yang kayak apa. Kalo kalem, maybe suka topi, kaos, sepatu. Kalo cool kayak saya gini...” Ucapannya terpotong dengan tawa Mira yang menggema, lantas si abang tersenyum dan melirik sedikit.

“Kayaknya ngga cool, deh.” Mira membekap mulutnya, berusaha menahan tawa.

“Mm... yaudah. Pokoknya kalo suami Mbak orangnya cool cool gitu, kasih aja jam tangan atau satu set tuxedo.”

Mira berdeham. “Tuxedo itu jas kan ya?”

Si abang tersenyum. “Iya Mbak, cuma setelan gitu. Satu set udah ada jas, kemeja, dasi, rompi dan celananya juga.”

Di perjalanan penuh dengan pembicaraan tentang Daffa, Mira mulai mengangkat tubuhnya supaya menegak karena sudah sampai tujuan. Si abang meminta untuk menunggu, bahkan mengajak Mira makan lebih dulu di sana tapi tetap ditolak.

“Ayoo plis plis, Mbak. Kalo Mbak gamau makan sama saya, seengganya saya nunggu. Kan Mbaknya nanti harus mesen dua kali, kenapa ga sekalian aja?” Si abang mulai menyerocos, Mira yang tak enakan bimbang. Ia masih duduk di kursi penumpang dengan tangan yang sudah siap membuka pintu.

Cinta SesungguhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang