14. Alasan Memilih Diam

1.3K 130 19
                                    

“ANJIIING!!!”

Daffa meludahkan air lemon yang ia teguk. Bukan sensasi terbakar yang ia dapat, melainkan asam yang membuatnya mual.

“MIRAAAA!!!”

Yang dipanggil sedari tadi sudah sadar, ia buru-buru bangkit untuk mengunci pintu kamar. Sejak umpatan Daffa terdengar, Mira tak berani lagi bersua. Ia hanya diam memainkan jari-jarinya.

“Miraaa... keluar.” Daffa mengetuk pintu kamar dengan tiba-tiba. Tidak memberinya waktu untuk berpikir apa yang harus dilakukan.

“Ra...”

“MIRAAAA!!”

Kini bukan ketukan, tapi gedoran. Pintu tebal itu rasanya hampir ambruk jika didiamkan kira-kira 10 menit lagi. Karena Daffa juga mengikutsertakan kakinya untuk mendobrak. Mira sudah menangis.

“Mas... istigfar, Mas....” Mira menahan pintunya.

“Kamu istri ga berguna! Ayo cepet keluar!!”

Bahunya naik turun tanda gusar, air matanya sudah mengambil alih untuk turun. Mira belum juga menemukan cara, atau ia kabur lewat jendela? Menelepon Adnan? Ahh... tidak, akan mempersulit keadaan dan belum lagi menunggunya. Ngga, terus? Atau pesan go-car lalu pergi sejauh-jauhnya? Ke rumah ibu misalnya.

BRAK!!

Mira terlonjak kaget kala gagang pintu sudah tak ada di sampingnya, pintu sudah didobrak. Daffa dengan seringainya masuk, menyisakan rasa takut Mira yang semakin menjadi-jadi.

Mira menelan salivanya kala Daffa membawa sebuah botol yang isinya masih bercucuran karena ia membuang-buangnya.

“Kamu mau main-main sama saya?”

Mira menangis. “Ngga, Mas. Aku c-cuma ngga mau kamu minum i-ituu...”

“Emang ada sangkut pautnya sama kamu? Dan apa pernah saya nyusahin kamu saat saya mabuk? Pernah ngga?” Masih dengan intonasi normal, Daffa maju membelai dagu Mira. Sudah pasti pertanda tidak baik sebentar lagi terjadi.

“Aku cuma mau kamu berubah, Mas.” Suaranya bergetar, ketakutan sudah semakin menguasai tubuh Ameera. Daffa dengan tawanya mundur beberapa langkah, memainkan botol tadi.

PRAK!!

Mira tegang, matanya yang basah melebar dengan bibir bawah yang digigit. Daffa memecahkan botolnya persis di sampingnya, hanya berjarak 1 inci. Dan mungkin Mira akan kehilangan mata kirinya jika bergerak.

“Kalo misalnya mama saya tau hukuman kamu adalah mati, beda dengan ini. Siapapun yang mengganggu kesenangan saya, hukumnya akan rumah sakit. Entah hanya ruang inap, ICU atau mayat.”

“M-m-maasss...”

“Jangan pernah ganggu hidup saya lagi. Jangan pernah urusin hidup saya.”

“Aku punya banyak bukti tentang kamu yang seperti ini, aku bisa aduin kapan aja. Tapi aku memilih diam karena aku tau kamu bisa berubah, Mas.” Mira menangis, tubuhnya memojok di dinding dengan mata sembap yang melirik ke arah Daffa.

Daffa membuang gagang botol. “Saya ngga peduli. Karena saya yakin kamu ngga akan pernah bisa ngelakuin itu.”

Tanpa kata-kata penutup dari Ameera, Daffa berlalu. Membawa semua amarahnya pergi karena dia sendiri pun sadar akan kekalapannya jika terus-terusan dihadapan Mira, secuilnya mungkin Mira masih hidup, namun darah bersimbah yang akan jadi mimpi buruknya.






“Lah, Daf? Lo ke sini?” tanya Jovi. Karena pasalnya lelaki itu bilang kalau ia sedang tidak ingin ke club.

Cinta SesungguhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang