32. Akhir Dari Penantian

1.7K 131 26
                                    

Daffa berlari menuju tempat Mira dirawat, tangannya lemas dan rasa khawatir sudah menyebar di dalam tubuhnya.

Langkah demi langkah membawanya semakin mendekat. Memperlihatkan orang-orang yang ia kenali itu menoleh.

“Daffa!” teriak Rika, tangannya melambai untuk mengisyaratkan supaya Daffa cepat sampai. Daffa berlari segera memeluk Rika.

“Ada apa, Mah?”

Rika mengelus pundak Daffa. “Istri kamu sadar, Nak. Penantian kita selama ini sudah berakhir.”

Daffa melepas pelukannya. “Serius? Mama ngga bohongin aku, kan?”

Rika menggeleng kuat. “Kita tunggu di sini ya, dokter lagi ngecek tingkat kesadaran Mira. Tadi dia sempet buka mata dan natap ibunya pas mama sama Bu Aminah lagi di dalem. Mama kaget banget.”

Daffa duduk di samping Chintya yang juga sedari tadi memperhatikannya. “Alhamdulillah, makasih ya Allah.” Daffa menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bersyukur sekali mendapat kabar menggembirakan seperti itu.

Lalu pintu ruang ICU dibuka, seluruhnya langsung berdiri. Adnan dan keluarganya mendekati dokter tersebut.

“Alhamdulillah, pasien berhasil bangun dari komanya dengan baik. Tidak kehilangan ingatannya, namun, pasien masih bingung akibat efek samping dari cedera kepalanya.” Dokter dan satu suster itu menatap Aminah dan Adam bergantian.

“Alhamdulillah, terima kasih, Dok.” Adam menjabat tangan si dokter, sementara Adnan dan Aminah berpelukan.

“Ngomong-ngomong, tadi saat saya meminta pasien berbicara, dia menyebut nama Daffa, apa di sini ada yang bernama Daffa?”

Adnan langsung melirik Daffa. Laki-laki itu mengangkat tangannya rendah dan mendekat. “Saya, Dok. Saya suaminya.”

“Oh. Oke, ada baiknya jika yang pertama masuk adalah Pak Daffa.”

Adam dan Aminah mengangguk. “Iya, ayo Daf, masuk.”

Daffa mengangguk. Sebelumnya, dokter dan suster sudah pamit. Yang lain menunggu di luar. Daffa mulai menutup pintunya dan berjalan beberapa meter terlebih dahulu, setelah itu ia berhenti, menatap Mira yang juga menatapnya.

Kesunyian memeluk keduanya. Terdengar suara monitor dan bau obat-obatan yang menyengat. Daffa menatap penuh wajah Mira yang pucat dengan bekas ventilator yang tercetak di tengah hidungnya.

Mata Daffa mulai memerah. Tangannya terkepal kuat menahan rasa sakitnya melihat Mira terluka seperti itu. Rahangnya mengetat menahan air mata untuk tidak jatuh. Dadanya menahan rasa sesak untuk tidak mengeluarkan isakan. Daffa menahannya.

“Maas...”

Suara itu. Suara yang amat dirindukan Daffa. Terdengar lagi dengan amat lirih, meski serak Mira mengucapkannya dengan senyum kecil yang berusaha ia buat di wajahnya. Daffa tau itu tidak mudah untuk ukuran orang yang baru sadar dari koma.

Daffa tak sanggup. Pertahanannya runtuh seketika kala menatap Mira yang juga ikut menangis. Air mata itu lolos dengan sendirinya. Kepalanya menunduk, kakinya beranjak untuk mendekat ke brankar besi yang di atasnya terbaring sang istri.

Isaknya semakin terdengar, rambutnya berjatuhan seolah ikut merasakan duka di antara mereka. Tangannya mencengkeram kuat brankar besi, menjadikannya pelampiasan atas sakit hatinya yang kembali menjalar saat Mira tersenyum.

“Kenapa kamu nangis, Mas?” tanya Mira dengan lirih. Masih lemas. Bahkan nyaris tak terdengar jika Daffa tak melihatnya.

Daffa semakin terisak. Ia menutup wajahnya karena malu dengan tangis yang semakin deras. Daffa merindukan semuanya, merindukan Mira yang berbicara banyak. Merindukan Mira yang memasak dengan gerak tubuh yang cepat. Tidak seperti sekarang. Daffa tak ingin Mira sakit.

Cinta SesungguhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang