3. Antara Senang dan Khawatir

1.9K 151 6
                                    


“Mas, nanti ibu sama ayah main ke sini. Gapapa kan?” tanya Mira. Perempuan itu sedang menyiapkan susu hangat untuk suaminya yang sedang membuat pola segitiga pada dasinya.

“Gapapa.”

“Mas, kamu masih ngantuk ya? Kantung mata kamu keliatan begitu,” kata Mira. Matanya melihat penuh selidik.

“Gapapa, nanti juga ilang sendiri.”

“Hati-hati ya, Mas, kerjanya.” Mira tak lepas dari pergerakan Daffa saat menegus susu buatan Ameera.

“Makan malam nanti saya mau makan rendang. Kalo kamu ga sempet buat, bisa pesen online aja.”

Mira mengangguk dan tersenyum. Rencananya ia akan membuat rendang buatannya sendiri, ia ingin meluluhkan hati suaminya untuk bisa berbalik badan dan menganggap Mira sebagai istri sahnya.

“Nanti siang tolong kamu bersihin kolong kasur, tadi malam saya ga sengaja numpahin kopi.”

Mira tersenyum. “Iya, Mas.”

“Dan satu lagi,” katanya, “kalo saya kerja. Pintu rumah selalu kamu kunci. Karena ada beberapa teman saya yang kalau ke sini main masuk aja, ngerti?”

“Iya, Mas, oh iya, bel rumah belum dibenerin ya?”

Daffa mengernyitkan keningnya. “Nanti saya panggil tukang.”






“Gimana hubungan kamu sama Daffa, Nak?” tanya Aminah.

“Alhamdulillah baik, Bu.”

“Gimana?”

“Apanya?” tanya Mira. Aminah hanya mengangkat kedua alisnya dengan mata yang menatap Mira konyol.

“Ih Ibu!” cetus Mira saat baru memahami maksud dari ibunya.

“Pokoknya Ibu cuma minta kamu jadi istri yang baik dan bisa ngerti keadaan suami. Ibu yakin kamu paham, Ra, semoga rumah tangga kalian samawa ya.”

“Makasih ya, Bu, aku janji akan melakukan yang terbaik. Aku minta doanya.”

Aminah datang sendiri, Adam tidak bisa ikut menemui putrinya karena ada urusan mendadak.

Pembicaraan terus terjadi karena rasa rindu dan khawatir seorang ibu saat anaknya sudah memisahkan diri dari rumah. Tak ada lagi kebiasaan Mira yang terjadi di rumah lama.






Daffa mengetuk pintu rumahnya pelan, tenaganya tak cukup kuat. Bel yang rusak pun belum benar, jadi menjadi kendalanya. Untung Mira mendengar karena memang posisinya tak jauh dari ruang tamu.

Mira membuka pintunya dan terlihat wajah pucat Daffa. Lalu Daffa oleng dan dengan cepat Mira memeluk laki-laki itu dengan erat. Daffa menjatuhkan tasnya karena tak kuat lagi.

Sayangnya Aminah sudah pulang dengan adiknya yang bernama Adnan.

Mira berjalan mundur untuk membawa Daffa ke kamar. Laki-laki itu pingsan dan badannya panas.

“Mas, kamu sadar ga?” tanya Mira sambil melihat ke belakang.

“Oh engga ya,” katanya lagi. Entah kenapa bisa ia mengajak orang pingsan berbicara.

Mira bernapas lega saat Daffa sudah berada di kasur. Mira langsung mengecek keadaan suaminya.

Lalu Daffa membuka matanya. “Saya pusing.”

“Kamu laper, Mas? Aku beliin bubur ya?”

“Ga usah, saya butuh istirahat.”

“Yaudah, kamu istirahat ya, aku siapin kompres dulu.”

Cinta SesungguhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang