12. Dengan Senang Hati

1.2K 91 13
                                    

Mira menangis sejadi-jadinya kala Daffa menyundutkan rokoknya di telapak kaki Mira, dan dengan bangsatnya laki-laki itu tertawa kencang.

Mira sekarang masih duduk di pojok tempat tidur. Daffa menyesap rokoknya, masih memperhatikan Mira. Sedari tadi Mira tak berbicara karena takut jika ucapannya malah membuat Daffa semakin marah.

“Kenapa diem aja? Masih kuat ya?”

Daffa menjulurkan tangannya, dengan rokok di sela telunjuk dan jari tengahnya. “Katanya kuat?”

“Nangis doang ah, males. Lemah banget,” ocehnya. Mira masih diam, hanya itu. Tangisnya benar-benar pilu, kenapa dirinya harus menikah dengan Daffa? Apa salah Mira sampai-sampai mendapat cobaan seperti itu?

Bekas sundutan rokok masih terlihat jelas, memang hanya satu yang Daffa sundutkan. Karena sepuluh menitnya hanya ia gunakan dengan meniup asapnya persis di depan wajah Ameera. Mira berusaha menahan napas, tapi Daffa terus mengarahkan ke hidung perempuan itu. Bahunya dicengkeram, lututnya dihadang lutut Daffa, di mana kedua kaki mereka sama-sama dilipat.

Mira menangis, Daffa sama sekali tak tersentuh hatinya.

“Hari ini saya udah habis 1 bungkus,” katanya. Lalu berdiri, membawa korek dan bungkusnya. Lalu pergi, Mira menatap kepergian Daffa dengan sorot mata ketakutan.

Mira mual, ia memuntahkan semuanya. Bau asap rokok menurutnya sangat amat menjijikkan, Mira membenci itu. Ia cepat-cepat meraih bajunya dan bergegas mandi.

Kamu keterlaluan, Mas, batinnya. Di bawah shower ia hanya menangis, menumpahkan semuanya di sana. Ia berharap ini semua hanya mimpi, dan ia terbangun di lima detik sebelum akad nikahnya dengan laki-laki penyabar dan lemah lembut yang sebenarnya.






Uhuk... Uhuk...

Karena ulah Daffa, Mira akhir-akhir ini jadi batuk dan sulit bernapas. Memang itu sering Mira rasakan kala menghirup polusi udara yang ditimbulkan dari asap kendaraan ataupun rokok. Memang tidak sampai separah ini, karena Mira jadi kesulitan bicara. Hampir lima detik sekali perempuan itu terbatuk, dan jadi dua menit kalau ia tahan.

Mira merebahkan tubuhnya, istirahat, kerongkongannya lelah.

Drrtt...Drtt...

Mira meraih ponselnya.

Assalamualaikum, halo.”

“Waalaikumsalam, Nan. Uhuk... uhuk...”

“Teh, kenapa?”

“Ga, uhuk, gapapa. Kamu kenapa nelepon?”

“Lho, bukannya sekarang Teteh harus lepas benang jahitannya?”

Hampir lupa.

“Oh iya, Teteh siap-siap dulu.”

“Oke, kalo udah kabarin. Adnan udah siap.”

“Ok, Assalamualaikum.”

Setelah beberapa menit bersiap, Mira mengabarkan adiknya lagi dan ia memutuskan untuk menunggu adiknya di depan. Daffa tidak ada di rumah, sudah mulai kerja.

Suara klakson terdengar, Mira keluar, mengunci pintu dan mendekati mobil putih.

“Haloo Teteh Cantik.”

“Ya, udah buruan.”

“Kok Teteh ga pake masker?” Adnan mulai menjalankan mobilnya, Mira diam saja. Lelah jika menghadapi adiknya yang banyak omong.

“Teh.”

“Hm?”

“Kenapa ga pake masker? Trus, Teteh kenapa bisa batuk-batuk gitu? Diapain sama Daffa?”

Cinta SesungguhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang