02 | Sosok Yang Lain

15 3 2
                                    

Gedung yang letaknya bersebelahan dengan kantin itu terasa masih baru, karena anggaran dana yang tidak cukup, pembangunannya ditunda beberapa bulan dan baru selesai dua minggu yang lalu.

Lebih ditekankan untuk kegiatan olahraga yang membutuhkan banyak tempat dan berada di dalam ruangan. Pertandingan-pertandingan atau yang lain, tribun berjejer mengelilingi lapangan ada di dalam gedung ini.

Karena akan ada kejuaraan bulutangkis dalam waktu dekat, para siswa yang sudah terpilih mengikutinya kini mengunakan gedung tersebut untuk berlatih.

Ada Reno disana. Laki-laki itu sedang duduk menikmati 15 menit waktu istirahat yang diberikan.

Tubuhnya tinggi, perawakannya besar. Air mukanya serius, tetapi ada kerlipan tengil di wajahnya yang tak boleh tertinggal.

Terlepas dari itu semua, Reno mempunyai pemikiran yang maju ke depan. Meskipun senang bergurau, Reno tahu masa depannya bukan sebuah candaan.

Olahraga adalah salah satu hal yang penting bagi Reno, untuk sekarang atau masa nantinya. Tidak mau kelewat sibuk, Reno memilih ekskul bulu tangkis yang tak banyak mengekang.

Para anggota yang bergabung, tidak harus berkumpul setiap saat, bahkan tidak ada jadwal pertemuan rutin yang harus dihadiri. Hanya saat mendekati perlombaan seperti ini, Pak Alam sebagai pembina itu akan sering mengadakan latihan.

Pemantapan dan pengembangan, begitu katanya.

Syukur-syukur jika ada kejuaraan seperti ini dan Reno terpilih untuk mengikuti. Manusia bukan orang yang langsung bisa melakukan sesuatu, selalu ada proses yang mengantarkannya pada sebuah pencapaian.

Reno tahu, ia tak sehebat  atlet-atlet yang sering tayang di televisi. Tapi ada latihan untuk terus mengasah kemampuannya. Setidaknya tak usah khawatir namun juga tidak meremehkan.

"Reno! Sini lah, sendirian terus kayak jomlo, ups."

Rendi, teman satu ekskul Reno yang berbeda jurusan, laki-laki yang gemar berceletuk riang dengan ceplas-ceplosnya. Meskipun bersungut, Reno tetap menghampiri sumber suara tadi.

Jika dihitung, ada 14 orang yang melakukan kegiatannya di sini. Dari mereka, adalah para murid yang sudah terpilih mengikuti lomba, masing-masing putra dan putri ada enam orang, sementara lagi terdapat dua senior yang mewakili Pak Alam karena tak bisa datang.

Untuk saat ini, gedung serbaguna yang besar itu masih bisa menggema atas suara-suara lantang yang diserukan.

"Semangat dong, Kak Reno. Kalau ikhlas mainnya dari hati kan bagus, siapa tahu menang, bisa lah kalau buat Kak Sherina balik," Djanuar menimpali.

"Apasih, bocil."

Seharusnya keputusan Reno untuk duduk bersama keempat laki-laki tak tahu diri ini diurungkan. Tidak ada gunanya, Djanuar si adik kelas itu juga semakin pedas sindirannya.

"Tadi gue ketemu di green house, tuh."

Green house, sebuah ruang yang berukuran tak terlalu besar, terdapat banyak tanaman yang tumbuh di dalamnya, juga beberapa di sekitar ruangan tersebut.

Sementara Sherina, salah satu anggota cinta lingkungan yang lingkup kegiatannya tidak jauh dari green house, bahkan ruangan itu adalah objek utamanya. Juga dengan lingkungan sekitar menjadi fokus penting yang tak boleh diabaikan.

"Cinta Sherina ke lingkungan itu, lebih besar daripada cintanya ke laki-laki, deh." Rendi berceletuk lagi.

Membicarakan orang lain, bobot pembicaraan terbaik di setiap perkumpulan makhluk hidup yang mempunyai akal.

"Betul, nggak pernah tuh aku lihat Kak Sherina suka sama orang lain."

"Hatinya lagi sakit, tahu kan siapa yang tabur luka?"

Jika Rendi akan berbicara secara langsung tanpa melantur kemana-mana, Ares lebih senang menyampaikan sesuatu lewat makna tersirat. Bahasa kerennya menyindir, dan, pas.

Reno yang sedari tadi menyimak, sebenarnya pura-pura tak peduli akan pembicaraan yang lagi-lagi mengarah padanya ini, hanya mendelik.

"Nah, malah sekarang mau masuk lagi, Res. Coba deh itu dinasehatin, temannya."

"Idih, apa sih? Kenapa? Kenapa kalau gue mau masuk ke hatinya Sherina lagi? Toh hati dia yang mau gue masukin, bukan hati penuh iblis kalian."

Biasanya, Reno akan berubah banyak kali lipat menjadi lebih sensitif ketika Sherina yang menjadi bahasan.

"Gue cuma mau nebus kesalahan," gumam Reno yang tak didengar teman-temannya yang lain.

Laki-laki memang tak pernah sadar apa yang sudah ia lakukan, tak pernah mengerti bagaimana setiap perempuan menahan rasa yang terlanjur mengembang.

Dihilangkan sekuat tenaga, dihancurkan tak mengenal sisa.

*

Halo! Happy Saturday, Kawans! Terimakasih yang sudah membaca dan memberikan tanggapan baik!

— June 06

#1 Kompliziert (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang