Kantin hari ini begitu menyesakkan. Orang-orang lapar, asap-asap yang mengepul, sampai kursi dan meja yang nyaris tak ada batas satu sama lain.
Untungnya Sherina dan Fani datang tepat waktu. Keduanya masih mendapat tempat, di meja panjang paling ujung, tidak masalah sama sekali.
Makan dengan berdiri, di kelas, bukan pilihan yang bagus.
Nyatanya, soto ayam dengan sambal yang masih menyatu di tengah mangkuk itu tidak menggugah nafsu makan Sherina sama sekali. Pikirannya masih melayang, pada senyum manis dan lebar yang ia dapat di depan perpustakaan tadi.
Senyum Reno adalah satu hal yang Sherina sukai dari sebanyak apa yang laki-laki itu miliki. Sebuah semangat yang tak padam, sebuah rasa yang tak bisa digenggam, sebuah tekad yang tak mampu dipendam.
"Kalau ini tentang Reno, basi banget." Fani langsung pada intinya.
Putaran bola mata dan sebuah decihan lolos begitu saja. "Bentar. Ini Reno, bukan satu juta laki-laki imajinasi lo yang nggak pernah ada, ya."
"Katanya mau move on, katanya bosen sama fakboi, katanya nggak mau jatuh di lubang yang sama. Katanya teros, action nope."
"Susah, Fan. Jatuh cinta di pandangan pertama."
"Teros? Lo pikir hati lo nggak susah juga nerima satu orang ngeselin kayak Reno lagi. Apa hati yang lemah lo itu mampu sakit untuk kedua kali, andaikata Reno melakukan hal yang sama kayak dulu? Be a smart, kasihanilah hatimu yang tidak salah apa-apa."
"Omongan lo! Ndak ada obat, Lur." Pengalihan terbesar, Sherina.
"Gue ngomong sebagai salah satu makhluk hidup yang suka bernapas, dan kebetulan ada saat lo dan seluruh sakit hati lo melebur. Oke senyum Reno ganteng, menawan, bikin meleleh, dan lain sebagainya. Akhir yang lo dapet belum tentu bahagia, baru dikasih senyuman ini, kepastiannya aja masih belum kelihatan."
Fani ada pada saat-saat itu. Menunggu yang tak benar, penantian yang sukar.
"Makan. Nanti kalau sotonya tiba-tiba ilang bukan salah wanita cantik ini, ya." Tangan Fani ditepis begitu saja.
Suara bising dari orang-orang di kantin perlahan membuat Sherina mendongak, mereka berbisik dan berdesis, kebanyakan terlampau kencang. Soto di mangkuknya tinggal sedikit, kuahnya banyak sekali.
Selanjutnya, Sherina menepuk pipinya, kembali memastikan senyum yang ia dapat di perpustakaan tadi bukan sebuah mimpi. Apalagi ketiga laki-laki yang sedang berjalan ke arahnya dengan kesamaan yang mereka miliki, ketampanan dan pujian-pujian yang mereka dapatkan.
Salah satu dari mereka, yang berada di tengah. Paling pendek di antara ketiganya, begitu melekat di hati Sherina.
Laki-laki nomor punggung 27, pemain futsal kemarin, si berkarisma, pangerannya yang membawa kesan tenang. Semesta memang senang sekali bercanda, Sherina tidak habis pikir.
"Fani, itu makhluk Tuhan yang indah darimana, euy?" Pandangannya masih pada ketiga laki-laki yang kini mengambil satu botol air mineral di lemari pendingin, Sherina tidak bisa diam, sangat antusias.
"Dari rahim ibu mereka masing-masing dan untuk hamba."
"Anak sini?"
"Seragamnya dilihat! Ngeselin banget loh sama kayak Reno tapi gue nggak mau bilang jodoh. Kelas tiga mereka."
"Lah kok kelas tiga? Eh beneran mereka anak sini? Yang tengah itu ganteng banget anjir, gue ketemu dia pas Kak Estu main futsal kemarin, satu tim. Lucu mukanya, kayak pangeran yang sengaja didatangkan untukku."
"Nanti kalo adek kelas lo menel." Fani menjitak kepala sahabatnya itu. "Mulai ketularan gue, kan."
"Ya emang baru lihat. Siapa tuh namanya biar gue tikung di sepertiga malam," Sherina berucap sungguh-sungguh.
"Yang tinggi banget kayak galah namanya Kak Rabbar, anak cinta lingkungan woi, satu ekskul sama lo masa nggak pernah lihat." Sherina menggeleng bodoh, helaan napas Fani berujung kasar. "Yang kedua, matanya setajam elang dan kalo udah senyum semeleleh es batu yang ada di bawah sinar matahari itu Kak Fariz. Agak eksotis gara-gara main voli terus, tapi jago debat kayak Sakira. FYI, dia adalah pick gue."
"Terus, yang terakhir, in your dream as prince. Itu Kak Rega, beneran pendiem dan uwu banget kalo udah senyum. Anak futsal, sama teater."
"Wow...."
"Telat banget ungkapan kagum lo bentar lagi mereka lulus."
"Kenapa lo nggak pernah bilang ada wujud kayak mereka?"
"Hei. Sejak lo dihadapkan sesuatu bernama Reno, Sherina ini sudah buta arah tahu, nggak. Apa-apa Reno, tuh sampe kakak kelas yang ganteng maksimal aja lo nggak tahu." Pedas sekali.
"Yaudah, sih. Yang penting kan sekarang udah tahu."
"Sebenarnya gue pengin ngelus dada Kak Fariz, tapi sebuah khayalan tidak akan menjadi kenyataan tanpa dilakukan."
"Udah sadar, kan. Dikurangin tuh halunya. Kak Rega, aku akan datang ke hatimu dan halo! Sambut aku pokoknya."
"Jijik, tahu, nggak."
"Ih. Fan, lo lagi belajar pantun? Omongan lo berima weh daritadi."
"Biar aesthetic, sih. Nggak cuma instastory aja."
"Sadapp uy gatau lagi."
Saat itu, Sherina tak pernah menyesal mendapat senyum menawan dari Reno, tak bisa melewatkan kenyataan yang baru saja datang di kehidupannya. Rega, dan seluruh dunia laki-laki berkarisma itu.
*
HaloOooo! Happy satnight, Lur!
Terimakasih yang sudah membaca dan memberikan tanggapan baik, ya! Sayang poOool pokoknya!
— June 20

KAMU SEDANG MEMBACA
#1 Kompliziert (✓)
Ficção AdolescenteSherina Iswari Nadindra menyukai banyak hal. Pintar, untuk masa lalunya, sebuah pengecualian. Sesuatu yang membuat hatinya menghangat, perempuan berambut panjang itu belum bisa berpikir panjang. Namanya Reno Abirahasa, tubuhnya jangkung dan besar...