09 | Perasaan Rega

0 0 0
                                    

Mereka baru sampai di lapangan sekolah yang luas sekali. Bima, seseorang yang ditunjuk untuk mengomando XII IPA 1 saat ada apa-apa itu memisah dari kerumunan. Menuju lambaian tangan Pak Alam yang berada di depan ruang guru.

Yang lain, yang sedang menunggu hanya berdiri kaku tak bersuara, juga ada yang sudah mencari tempat berteduh. Pelajaran belum benar-benar dimulai padahal.

"Pak Alam masih dipanggil sama kepala sekolah, kita disuruh pemanasan dulu, setelah itu baru siap-siap buat penilaian mingguan." kata Bima menghampiri teman-temannya, hembusan napasnya seperti berlomba-lomba untuk keluar.

Fariz menyahut, jarang begitu. "Gue yang mimpin pemanasan,"

Barisan empat banjar itu terbentuk, Fariz memulai pelajaran hari itu, tanpa sambutan dan harapan yang diberikan Pak Alam seperti biasanya.

"Hadah panas banget, nanti malem ujan deres nggak kira-kira nih," kata salah satu dari mereka, tak berlama-lama langsung menuju salah satu pohon rindang yang ada di sana ketika pemanasan itu baru saja selesai.

Rega tak ikut teman-temannya, melakukan persiapan seperti yang sudah diperintahkan. Melompat-lompat, dan lain sebagainya. Laki-laki itu memilih duduk menepi, kepalanya berdenyut, sedang tidak enak badan.

"Kalau sakit ke UKS aja, Ga." Deva yang kebetulan duduk di samping Rega itu mengusulkan.

Laki-laki yang diajak bicara hanya bisa menggeleng. "Masih bisa ditahan sampai pelajaran ini selesai kayaknya."

Setelahnya, Rega bersandar di pohon rindang yang melindunginya dari panas terik matahari. Memerhatikan teman-temannya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Sampai pandangannya menumpu, pada perempuan yang berdecak kesal karena hulahoop beragam warna itu terus jatuh tak bisa dikendalikan dengan baik. Terus begitu sampai tawa kecil Rega keluar, Nissa benar-benar lucu.

Sampai Nissa duduk kembali, hanya melihat teman-temannya melakukan segala cara agar hulahoop itu tetap dalam jangkauan. Rega tetap berada di sana, matanya yang menjelajah setiap apa yang Nissa lakukan, menopang dagu dengan mata bulat yang meneduh.

Kemudian putus saat teman-temannya mengerubungi perempuan itu, membiarkan hulahoop tergeletak di pinggir lapangan. Berbicara tanpa henti seakan sudah menjadi kelebihan para perempuan, meski Rega masih bisa melihat, Nissa menanggapi itu seadanya, tersenyum atau mengangguk.

Rega tahu Nissa saat mereka masih sepinggang orang dewasa. Jarak rumah yang tidak terlalu jauh, keduanya sering bermain bersama yang lain meskipun hanya membicarakan apa yang sedang ada saat itu.

Sederhana sekali, sampai mereka dipersatukan kembali. Di sekolah yang sama, dari kecil hingga sekarang ini. Sampai Regapun tak sadar, mereka jauh meskipun jarak tak ada hak untuk menghalangi.

Laki-laki itu tanpa sadar melamun, kembali pada masa-masa di mana bermain sampai sore menjadi hal yang paling menyenangkan.

"Bahas festival sekolah aja yuk mumpung Pak Alam masih lama!" Teriakan itu tidak hanya membuyarkan lamunan Rega, tetapi juga orang-orang yang duduk di sudut-sudut lapangan ini.

Yura memang yang paling nyaring suaranya.

Rega tak beranjak sama sekali, menyambut teman-temannya yang kini duduk melingkar tanpa terkecuali.

"Kita belum latihan drama sama sekali, kan?" Jeana memang sengaja bertanya.

"Emang maunya kapan? Secepatnya lebih baik," jawab Bima dengan senyumnya yang tidak pernah tertinggal.

"Karena kita udah nggak aktif di ekskul, pulang sekolah yang biasanya sore kan jadi agak siang. Kita latihannya tiap pulang sekolah aja, nanti dijadwal."

Diam-diam, yang lain menyimak serius.

"Jangan sore banget pulangnya," Rabbar menyela kemudian.

"Ya nggak dong. Lagian uah dibagi naskah dan pemerannya, di rumah bisa sambil latihan sendiri-sendiri." Juru bicara hari ini adalah Jeana. "Nanti pas latihan sama-sama tinggal penyempurnaan, kita udah punya bekal dari rumah. Nggak usah yang latihan terus sampai lupa belajar, sebisanya aja tapi sepenuhnya."

"Iya, bener kata Jeana. Yang penting ikhlas aja kalau latihan, pasti berbuah manis pas hari H.l," Bima menambahkan.

Kemudian, Rega mengangguk-angguk. Kebanyakan dari mereka tersenyum sumringah, membayangkan kebahagiaan seperti apa yang akan didapat ketika semua berjalan lancar.

Fariz berdiri kemudian, sekilas melihat Pak Alam yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah. Yang lain mengikuti tak lama setelah itu, penilaian mingguan akan dilaksanakan sebentar lagi.

*

Huhu, pertanda apaan, nih?

Terimakasih sudah membaca dan memberikan tanggapan baik!

— June 28

#1 Kompliziert (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang