Sebenarnya, Sherina juga melihat bagaimana senyum manis dan tawa renyah Rega terbit kemarin, bahkan saat di jalan kembali dari kantin. Untuk kedua kalinya, bersama orang yang sama. Beberapa waktu, perempuan itu mengutuk dirinya sendiri yang tak pernah beruntung dalam hal seperti ini.
Kemarin juga, Fani berbicara panjang lebar, berkata ini bukan salahnya, juga bukan salah Rega. Perempuan berambut sebahu itu tidak luput memperingatkan agar Sherina tak macam-macam, membentuk kelompok agar bersama-sama membenci kakak kelasnya yang cantik itu, contohnya.
Bodoh sekali, Sherina tidak akan melakukannya. Mempermalukan diri sendiri, sadar juga siapa perempuan itu di sekolah ini.
"Dibuka apa, Rin, hapenya." Sherina menganggap suara Estu adalah sesuatu yang tidak perlu diperhatikan, dilanjutkan saja kegiatan melamunnya itu.
Setelah kemarin Rega memberinya semangat, Sherina membunyikan notifikasi di ponselnya agar pesan dari kakak kelasnya itu bisa dibalas cepat. Mereka lumayan lama bertukar pesan setelah itu, sebelum berakhir hanya dibaca oleh Rega.
Sherina lupa mematikan notifikasi sampai sekarang, rentetan pesan yang entah siapa pengirimnya malam itu membuat bising ruang tamu. Beberapa kali, panggilan masuk juga menjadi penyebab.
Perempuan itu mengambil ponsel hitamnya tanpa minat kemudian, dua puluh pesan dikirimkan oleh Fani. Sungguh, suasana hati Sherina hari ini sedang berantakan sekali, perempuan itu tak membaca pesan Fani satu-satu seperti biasanya. Membukanya sudah cukup.
Menggulir layarnya, kini perempuan itu sibuk melihat cerita-cerita dari kontak teman-temannya. Matanya sempat membulat saat menatap pembaharuan cerita yang baru masuk sembilan menit yang lalu. Tetap dibuka, padahal perempuan itu tahu apa yang akan diterima nantinya.
Sakit, sakit sekali hatinya. Sherina memperbesar gambar itu lama sekali, potret dua orang yang mungkin sedang menjadi perbincangan hangat teman-temannya yang lain. Oleh Wendy atau Elisha, oleh orang-orang satu sekolah. Senyumnya benar-benar membuat Sherina terpaku, sebelum akhirnya umpatan keras itu mengudara, sesuatu yang bisa terhitung jari perempuan itu saat melakukannya.
"Dibilang jangan kebawa perasaan, Rin," Estu yang baru saja kembali setelah mengambil segelas air dari dapur itu tidak sengaja melihat, berucap sarat keputusasaan.
Sherina menoleh, menghela napas yang semakin memberat. "Ya gimana, sih, Kak. Soft gitu sama gue, ternyata udah punya cemewew."
"Belum waktunya jatuh cinta."
"Takdir ini mah. Sadgirl banget tiap suka sama orang gini terus." Estu ikut pilu mendengarnya.
"Yaudah, sekarang lo tidur. Udah makan apa belum?"
"Udah. Gue ke kamar dulu, ya, selamat malam," Ucapan selamat malam pertama yang tulus sekali untuk Estu.
Memeluk adiknya yang sedang rapuh, Estu tidak benar-benar mampu melakukannya. Dadanya ikut sesak melihat itu, tak tahu pada siapa harus meluapkan kekesalan ini. Tidak ada yang bisa disalahkan karenanya.
"Selamat malam." Lirih, lirih sekali.
Sherina memasuki kamarnya sembari berlari, tangan perempuan itu dibuat menutupi wajah yang sudah siap memerah kemudian. Karena selamat malam, karena Rega dan Nissa, Sherina tidak ada niatan untuk tidur sekarang. Air matanya turun deras, tidak tahu mau berhenti atau tidak.
*
Kasian ya. Baper baper sendiri, nangis nangis sendiri :)
Terimakasih sudah membaca, jangan lupa berikan vote dan komen!
— August 10

KAMU SEDANG MEMBACA
#1 Kompliziert (✓)
Fiksi RemajaSherina Iswari Nadindra menyukai banyak hal. Pintar, untuk masa lalunya, sebuah pengecualian. Sesuatu yang membuat hatinya menghangat, perempuan berambut panjang itu belum bisa berpikir panjang. Namanya Reno Abirahasa, tubuhnya jangkung dan besar...