35 | Peringatan Fani

1 0 0
                                    

Ini sudah ketiga kalinya Fani mengelilingi sudut-sudut sekolah pagi itu, menghabiskan jam istirahatnya yang membosankan untuk pertama kalinya.

Temannya ke kantin, yang teramat sabar menunggu Fani selesai makan dan tak pernah protes karena terlalu lama sedang tidak masuk. Sherina tidak bisa dihubungi, guru piket mengantarkan surat dokter tiga hari yang lalu, demam tinggi yang tertulis di sana.

Fani tahu, Sherina benar-benar syok atas kejadian mengejutkan kemarin. Ingin rasanya gadis ini memeluk Sherina dengan sangat erat—berkata tidak apa-apa meski tidak memiliki pengaruh besar juga.

Fani juga ingin meminta maaf atas tindakannya yang gegabah. Sherina belum selesai dengan lukanya yang lama, Fani mengenalkan Reno, sementara si brengsek satu itu masih terikat dengan orang lain. Gadis ini hanya tak percaya mengapa hidup Sherina harus begitu rumit, sahabatnya tidak sekuat itu. Fani takut jika Sherina menyerah dan tak punya sedikitpun semangat untuk hidup suatu saat nanti.

Gadis yang masih terus berjalan ini juga tidak berhenti mengutuk Reno dalam hatinya, sedari kemarin mencari tempat untuk menenggelamkan laki-laki menyebalkan itu agar tidak kembali. Fani tak tahu mengapa Reno pandai sekali membohongi seseorang.

Langkahnya yang jarang-jarang itu termundur ketika sampai di gerbang masuk, mengumpati niatnya yang ingin mencari udara lebih segar lagi. Mengapa juga matanya yang berfungsi dengan baik ini harus bersitatap dengan seorang laki-laki yang baru saja berdiri dari salah satu kursi taman.

Tidak tahu apakah Reno menyadari itu, Fani sudah bersembunyi dibalik gerbang yang tidak bisa dijamin keamanannya. Juga masih dengan mengendap-endap, perempuan ini mengeluarkan ponselnya.

Kalau lo jantan, ayo ketemu!

Fani merasa dirinya sudah pantas menjadi intel yang diutus negara, tapi itu bukan pokok masalahnya sekarang. Setelah mengirim pesan itu pada Reno, diam-diam Fani mengintip jauh ke taman depan yang sepi itu. Reno sudah membaca pesannya, tinggal menunggu benar jantan atau tidak.

Mata Fani masih berkamuflase dengan garis-garis besi yang disusun menjadi gerbang di sana, memerhatikan Reno yang mulai berjalan memasuki area sekolah. Seperti depresi berat saja mau berjalan harus menghela napas kasar terlebih dahulu, dasar melebih-lebihkan.

"DOR?!" Hilang sudah citra Fani yang mengaku seorang intel utusan negara.

Reno benar-benar terkejut, sampai melompat ke belakang. Laki-laki ini berpikir Fani masih berada di kelas atau kantin, secepat ini Reno dibuat gugup untuk kedua kalinya, bahkan belum benar-benar tenang pikirannya setelah bertemu Dianrera tadi.

Fani mengangkat alis, tenang sekali. "Apa kabar nih, Bosku? Kayaknya umur lo masih panjang."

"Baik."

"Kaku aje si Bapak." Fani benar-benar tak menyadari keringat sebiji jagung yang memenuhi dahi Reno sekarang.

"Mau apa lo?"

"Ke kelas bareng, yok! Sambil nostalgia asik nih."

Reno selalu salah menyaring ucapannya saat tidak tenang seperti ini. "Bentar anjir. Gue masih deg-degan tadi ketemu Kak Rere, biarin gue napas sebentar dong!"

"Ngapain lo ketemu Kak Rere? Baikan? Rujuk?"

Reno menggeleng, kini tubuh bongsornya itu meluruh ke tanah. "Klarifikasi."

"Lemah banget jantan satu ini," celetuk Fani begitu saja. "Terus kapan lo mau klarifikasi sama gue?"

"Sekarang juga bisa. Tapi yang santai aja nggak usah mengintimidasi kalau nanya." Reno Abirahasa banyak maunya.

Entah sudah berapa kali Fani mengutuk dan mengumpati laki-laki di depannya ini. "Kapan, sih, gue mengintimidasi?" tanyanya seakan meyakinkan.

Reno akhirnya hanya mengangguk, dibantu uluran tangan Fani untuk berdiri. Keduanya berjalan ke area sekolah lebih dalam lagi sekarang, masih tersisa beberapa menit jika menunggu bel masuk berbunyi—penasaran Fani bisa dijawab meskipun tidak semuanya.

"Jadi, apa hubungan lo sama Kak Rere?"

"Nggak ada, temen doang. Temen tapi alay banget, klaim gue miliknya. Tahu, sih, gue ganteng tap—"

Laki-laki ini diberi jantung minta hati. "Lo nggak usah keluar dari pembahasan dong. Jawab aja pertanyaan gue segamblang-gamblangnya."

"Katanya nggak bakalan mengintimidasi, Fan."

"Tapi lo malah minta gue mutilasi, sat."

Di perjalanan yang singkat itu, Fani masih sempat menyapa orang-orang yang berlalu lalang di lapangan depan atau yang duduk-duduk di depan kelasnya masing-masing. Sayangnya, tidak bisa menjawab tatapan penasaran dari orang-orang yang heran mengapa Fani dan Reno bisa berjalan berdua sedangkan Sherina masih sakit di rumah.

"Mendingan gue habisin berminggu-minggu buat tahu Bayu lebih jauh, daripada ngumpanin Erin ke kandang buaya kayak gini." Fani sudah tidak bisa berpura-pura lagi. "Lo tahu, nggak, gue merasa bersalah sama Erin? Sadar nggak pas gue minta tolong buat jadi obatnya Erin? Lo masih nggak ngerti konteks yang gue maksud waktu itu? Nggak pernah, Ren, gue ketemu hansaplas buat dua orang."

Reno juga bingung tak tahu harus membalas apa, Fani tidak membual sekarang—apa yang dikatakan perempuan itu benar adanya.

Kalau bisa, Fani ingin menonjok wajah tampan Reno sekarang. "Pokoknya, gue akan nyari cara biar lo sepi di kalangan perempuan. Bikin selebaran buat nolak ajakan kencan Reno Abirahasa karena itu berbahaya dan nggak manfaat sama sekali."

"Tahu tempat kalau gue mau bercanda, Ren. Enak banget lo lepas gitu aja setelah bikin banyak anak orang sakit hati. Kak Rere, Kak Icha, Sherina, atau korban lo yang lain. Gue juga punya otak buat mikir yang bakalan dihukum atas kejadian ini cuma Kak Rere sama temen-temnnya, lo yang jadi dalang? Paling cuma dapet peringatan sama wejangan dari guru BK, kan? Padahal yang seharusnya dihukum mati itu lo."

Fani berbicara untuk terakhir kalinya. "Reno Abirahasa itu temen gue dari dulu, tapi apa masih disebut begitu saat dua kali bikin sahabat gue nangis nggak mau berhenti? Sherina yang bodoh masih punya gue kalau lo lupa."

*

Sayang banget sama Fani :(((


Terimakasih sudah membaca! Jangan lupa berikan vote dan komen!

— September 03

#1 Kompliziert (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang