14 | Agenda Pertama

3 0 0
                                    

SMA Buntara itu ramai sekali di sudutnya masing-masing hari ini. Di lapangan depan, lapangan upacara yang sudah terbangun panggung, parkiran, sampai kantin untuk mengisi perut. Padahal, hari belum benar-benar siang.

Dua minggu sebelumnya, atau topik pembicaran sejak berbulan-bulan yang lalu itu akhirnya datang sekarang-menjadi kenyataan. Perayaan ulang tahun sekolah, yang mau tak mau menarik perhatian banyak murid.

Sekarang-saat jam di pergelangan tangan Sherina baru menunjuk pukul tujuh lebih sedikit, lapangan utama sudah berisik, menggema sampai lapangan depan meskipun jaraknya memang tidak benar-benar jauh.

Agenda pertama, sambutan dari beberapa pihak yang ada sangkut pautnya dengan acara ini. Kepala sekolah, ketua panitia, dan yang lain. Karena panggung itu digunakan nanti dan besok saat pementasan dari setiap kelas serta beberapa undangan pengisi acara, sambutan itu hanya dihadiri oleh beberapa orang saja. Donatur-donatur juga hadir tanpa terkecuali, semua asing di mata Sherina.

Perwakilan kelas, yang lain harus sibuk mengurus ini dan itu untuk keperluan acara hari ini. Barangkali sesuatu yang akan dijual dan bakal pementasan yang belum benar-benar selesai.

Jika dihitung, Sherina sudah tiga kali bolak-balik dari parkiran. Menerima makanan yang sudah jadi dari teman-temannya. Perempuan itu memang tak ada pekerjaan yang lebih berarti dari ini, sebisa mungkin menjadi orang yang bermanfaat.

Kemudian, Sherina kembali bersibuk menata kebab dan takoyaki yang banyak jumlahnya di atas meja berlapis taplak batik. Ada juga yang hanya ia taruh di atas kursi, es mambo yang berada di dalam termos.

Suara lembut Bu Andriani itu perlahan sudah tidak terdengar, Sherina hanya menyimak sampai riuh tepuk tangan yang mungkin diciptakan oleh para penonton. Satu persatu, orang-orang yang semula dari dalam area sekolah itu keluar. Semakin ramai saja.

"Rin, bantuin ngambil minuman di parkiran! Kalau gue aja nggak kuat, banyak soalnya," kata seorang perempuan yang rambutnya dicepol rapi, Sherina mengangguk-mengiyakan.

Sherina dan Sasi yang badannya tidak berjarak terlalu jauh itu berjalan berdampingan. Yang membedakan di antara keduanya adalah pakaian yang dikenakan, Sasi dengan kaus polos berwarna putih dan celana panjang motif kotak-kotak, sementara Sherina tampil formal menggunakan kemeja berwarna merah dengan celana berbahan denim. Selebihnya, mereka sama-sama menarik perhatian banyak orang.

"Eh, Rin. Reno tuh welcome banget, ya, ke semua orang," kata Sasi yang membuat Sherina tak bisa untuk tidak mendelik ke arah perempuan yang masih memasang ekspresi polos itu.

"Random banget, euy, pembahasan lo."

Jeda di antara keduanya hanya diisi oleh hembusan angin. "Enggaklah. Karena itu! Reno kelihatan akrab banget sama Hanna, meskipun mereka temen sekelas. Gue juga pernah lihat Reno ngobrol sama Kak Ich-" Setelah Sasi menunjuk seorang laki-laki dan perempuan yang baru saja melewati keduanya, Sherina langsung menyubit tangan putih temannya itu sebelum kalimat yang sedang diucapkan benar-benar selesai.

"Apasih?!"

"Lo tuh ngomong kenceng banget kalau orangnya denger gimana!"

"Biarin aja, gue ngomong juga nggak bermaksud apa-apa." Sasi tanpa kata llangsung mengangkat wadah besar dengan kedua tangan.

Mungkin belum mencapai dua puluh langkah mereka beranjak, perempuan yang termasuk ke dalam anggota ekskul bulu tangkis itu menghentikan langkahnya, ekspresi heran Sherina terjawab kemudian.

"Tuh, Rin! Bisa gitu, ya, akrab sama Hanna, sama Naya, kelas mereka itu kompak banget. Satu ketawa semuanya sakit perut, satu sedih semuanya ketawa." Pandangan Sasi jatuh di depan stan yang ramai sekali orang di sana, sedang mengabadikan momen.

"Hadah, Si. Lo kan juga anak bulu tangkis, sering ketemu sama Reno. Kenapa masih heran, sih? Nggak pernah diajak ngobrol kayak Hanna sama Naya apa gimana?"

"Ya sering, sih. Bingung gue tuh, Reno nggak ada kelihatan punya seseorang yang spesial. Semua perempuan diperlakukan sama."

"Fakboy tuh gitu, Si. Lo harus hati-hati." Air muka Sherina kelewat serius.

"Sembarangan lo! Gue aduin Reno, loh, nanti."

"Kalau gue tebak lo naksir Reno, bener, nggak?"

"Ya nggaklah, gue lagi nggak mau menjalin hubungan apapun dalam waktu dekat. Cerita sama lo cuma pengin berbagi kebingungan aja, sih," ujar Sasi panjang lebar.

Sherina tahu, Sasi tidak sekaku dan sedatar wajah yang ditunjukkan perempuan itu sehari-harinya. Lagipula, apa-apaan membahas fakboy dengan korbannya seperti itu. Mungkin Sasi benar-benar tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Sherina dan Reno.

Sementara di sana, di tempat yang sempat menjadi perhatian Sasi dan Sherina itu orang-orangnya masih saja tak bisa diam. Bersahut-sahutan.

"Lama banget, anjir." Naya, yang mempunyai senyum menggemaskan karena gigi kelincinya itu tak pernah berhenti mengeluh sejak tadi.

"Iya, woi. Sabar, ya, Nay, lo mesti udah nyengir daritadi." Bukan Alfen jika tidak membuat orang lain naik darah.

"Kak lama banget!"

Seorang laki-laki yang diminta mengabadikan berpuluh-puluh adik kelasnya itu mendengkus, hampir saja membanting kamera mahal yang dipegangnya ini. "Sabar, elah. Lo mau cantik apa jelek hasilnya?"

"Jeleklah. Cantik mah sebelah, Kak." Reno memang tak pernah sulit berbicara.

Tanpa menunggu lama lagi, dorongan dan jitakan di kepala itu menyambut Reno kemudian. Teman-teman sialan.

"Ibu mohon jangan ada pertumpahan darah di sini," ucap seorang wanita cantik yang berdiri di tengah-tengah. Bu Dara, wali kelas XI IPA 2.

"Pertumpahan rasa antara Naya dan Alfen kayaknya, Bu. Kalau itu fix," Kali ini, yang berceletuk adalah Haikal. Laki-laki yang silih berganti menunjukkan ekspresi datar dan kebodohannya.

"Najis banget suka sama Alfen." Naya langsung saja membuang muka.

"Sok iya banget lo gue sukain." Alfen sendiri tidak mau kalah, merundukkan kepala menatap perempuan yang pendek sekali di sampingnya itu.

"Ini jadi foto nggak, Yang Terhormat?"

"Jadi, Bosku."

Satu, dua, tiga, yang mendapat tugas itu mengambil gambar berkali-kali. Yang ada di sana juga tidak semuanya dalam keadaan siap, dapat dibayangkan foto seperti apa yang kelas XI IPA 2 hasilkan. Beberapa jam acara hari itu berlalu dengan ukiran senyum manis yang sukar habis.

*

Halo! Minggu kemarin nggak update sama sekali. Miane

Terimakasih sudah membaca dan memberi tanggapan baik!

- July 20

#1 Kompliziert (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang