29 | Kemungkinan Yang Lain

0 0 0
                                    

Fani duduk tak nyaman di pinggiran kasur bersprei hitam dan putih itu. Sesekali kedua tangannya menepuk-nepuk paha, atau berganti pada kakinya yang dihentak-hentakkan ke lantai.

Terakhir, perempuan cantik itu melongok takut-takut ponsel di sampingnya—yang sengaja tidak dipegang itu.

Saat tiga pesan masuk dari kontak yang berbeda, Fani berjungkir balik di selasar kamar, benar-benar tidak jelas orang satu ini. Tapi, ditunggu sampai bermenit-menit pun, tetap tak dibuka pesan yang baru masuk itu oleh Fani.

Tak lama kemudian, mulutnya terbuka, sampai pekikan teramat keras itu mengudara ketika melihat ada panggilan masuk. Perempuan itu mengangkatnya gemetar, tetap menaruh ponselnya di atas kasur, sementara ia tetap dalam posisi berjongkok dengan gusar.

"Halo."

"Share lokasi, Fan, mau gue bunuh lo anjing," sembur di seberang sana tanpa menunggu lagi.

"Lo jangan nggak tahu diri gitu, Ren." Setakut-takutnya Fani, sisi menyebalkannya itu tak akan pernah hilang sampai kapanpun.

"Lo spam buat dengerin radio sekolah secara nggak langsung nyuruh gue mundur dari Sherina, kan?"

"Iya tapi sekarang bed—"

"Sekarang ngapain malah disuruh maju lagi? Lo pikir gue nggak gemeteran anju."

"Makanya dong gue ngomong belum selesai malah lo potong."

"Yauds, monggo."

"Tapi sebenarnya gue juga ragu, Ren, sama lo." Fani menjeda sebentar. "Sherina lagi patah hatinya sekarang, gue tuh minta lo buat datang sebagai obat, tapi tampang lo nggak bisa dipercaya banget! Fakboi."

"Fakboy darimananya orang good boy banget ini."

"Tuh, kan. Lo belum apa-apa udah riya'."

"He bentar, lo nyuruh gue ngedeket sama Erin lagi kalo anaknya malah ngejauh gimana? Dia, Fan, yang paling tau kelakuan gue sampe akar-akarnya."

"Iyalah korban. Gue kan tadi udah bilang Erin lagi patah hati, butuh obat buat nyambung lagi. Menurut gue ya, Erin orangnya gampang butuh sandaran, disandarin siapa aja juga mau."

"Tapi lo jangan nggak tau diri gitu langsung minta balikan, sat."

"Balikansat, Reno bangsat. Haha nyambung juga." Muncul lagi randomnya.

"Serius dulu anjeng.—"

"Lo jangan kasar sama aku."

"Nggak, Kak, maap." Reno menyahut cepat.

"Pokoknya jangan ngedeket langsung ngajak balikan ya lo, gue mintanya kalian baikan aja. Erin tolol banget anjeng soal beginian, lo senyumin udah klepek-klepek kayak kena potas."

"Ya lo tau sendiri senyum gue manisnya kayak apa."

"Kayak lintah."

"Hai bangsat."

"Hehe, udah ah cuma mau ngomong gitu aja gue tutu—"

"Bentar elah. Nanti chat lagi, ya."

"Woi lo telponan sama gue lima menit masa langsung naksir anjir. Ingat misi kita berdua."

"Nggak waras orang naksir lo. Mau ada yang gue tanyain."

"Yayaya, bye!"

Belum selesai Fani menghela napas karena lega satu pesan dari Reno masuk kembali, tapi belum benar-benar dipedulikan.

Fani tahu Reno tidak semudah itu dipercaya, tapi melihat Sherina yang kebanyakan melamun dan tak fokus itu benar-benar membuat sang sahabat ini prihatin. Ingin rasanya menonjok Rega, tapi laki-laki itu jelas tak mengerti situasi yang ada.

Sejak tadi sore, Fani berpikir teramat keras. Menyemangati sahabatnya saja tentu tak cukup, apalagi hanya perempuan itu yang tahu, Sherina juga butuh lebih dari itu. Pengganti.

Fani juga repot-repot menghubungi Bayu, anak IPS yang mengirimi salam Sherina kemarin. Menanyakan apa maksudnya, perempuan itu merasa seperti seorang ibu yang posesif sekali.

Daripada harus memutar otak kembali untuk mengenal Bayu lebih jauh, Fani lebih memilih Reno yang maju untuk menyembuhkan hati Sherina. Ketar-ketir Reno membuat masalah lagi, membuatnya semakin rumit.

Tak salah jika Sherina bilang Fani yang paling mengerti apa-apa tentangnya, bagaimana perempuan itu mempertaruhkan semuanya untuk membuat perempuan itu bahagia. Sherina benar-benar bersahabat dengan orang yang tepat.

*

Enak banget punya temen kayak Fani, apa-apa dibantuin 😆😆

Terimakasih sudah membaca, jangan lupa berikan vote dan komen!

— August 26

#1 Kompliziert (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang