33 | Pertunjukan Siang Itu

0 0 0
                                    

Sherina hanya diam saat tiga orang di depannya ini terus membuka suara. Rianti—salah satu temannya di klub bahasa Inggris yang kebetulan bersama Sherina karena ada keperluan juga tidak tahu harus menanggapi seperti apa, sama-sama kelu lidahnya.

"Gini, loh, Dek." Yang berada di tengah, yang berambut lurus dikuncir sembarang—terlihat dari anak rambutnya yang masih menyisa beberapa itu berucap angkuh. "Di antara Sakira, Milan, Airani, dan Fani, lo itu yang paling nggak pantas ada di antara mereka. Nggak ada yang bisa dibanggain, di sekolah cuma nyiram tanaman sama ngumpulin aqua. Simulasi kerja lo? Nantinya jadi tukang bersih-bersih apa pemulung?"

Bisa apa juga Sherina selain menunduk? Yang diucapkan kakak kelasnya ini juga benar, Sherina tidak lebih baik dari keempat temannya—dari semua orang, sekadar membela dirinya saja tak mampu. Memalukan.

"Apa udah ngerasa paling keren setelah dapet panggung solo dan diomongin siapa-siapa pas pentas kemarin, ya. Airani sama Sakira aja nyumbang banyak prestasi buat sekolah nggak sombong kayak lo, Anjing." Sherina sombong darimananya Ya Tuhan. "Ibaratnya nih, ya. Temen-temen lo udah nginjak ranting, lo baru naruh sendal deket akar. Capek kalo mau ngejar, udah telat."

"Seenaknya deket sama cowok orang. Pulang bareng, makan di kantin, menel sama temen-temennya yang lain." Dianrera—yang berdiri sebagai pemimpin itu berucap lagi, yang meninggalkan banyak pertanyaan baru untuk Sherina.

"Segitu bangganya lo diajak ke rumah Pak Alam? Merasa diterima sama orang-orang di sana?" Rawika menyerobot cepat.

Dibalik ketakutanya yang tak bisa dikendalikan itu, Sherina berhasil menyimpulkan apa yang terjadi. Apa, siapa, mengapa Dianrera menghakiminya terang-terangan di lapangan yang ramai banyak orang begini. Sampai sekarang—meskipun sudah sedari tadi, Sherina benar-benar tidak kuat lagi untuk menahan air mata yang sudah siap keluar itu.

Di sampingnya, Rianti yang lebih pendek dari Sherina itu menggaruk-garuk kepalanya. "Emm, Kak.  Apa nggak lebih baik diomongin pelan-pelan, ya. Ini kan masalah kalian,  harusnya juga cuma kalian yang tahu." Tentu saja perempuan ini berbeda dengan Sherina. "Kayaknya kebalik siapa yang baru naruh sendal deket akar."

Atas kalimat terakhir yang diucapkan Rianti itu, salah satu di antara mereka—Shima namanya melotot juga langsung maju tak bisa diam. "Lo tahu ini masalah kita, kenapa malah ikut campur, Mariska Rianti?"

"Nggak adil aja kalian tiga cuma lawan satu orang."

Dianrera langsung menghembuskan napas kasar. "Urusan gue cuma sama Sherina Yang Sok Cantik ini. Kalau pengin dapet masalah lain kali aja, gue lagi sibuk."

"Yaudah selesaikan masalah kalian," Penuturan Rianti itu awalnya membuat Sherina khawatir. "Tapi aku rasa masih ada satu orang lagi yang harus datang, yang jadi alasan kalian langsung marah-marah sama Sherina. Kalian tanya alasannya dulu, kita mau pergi. Permisi, Kak."

Tiga orang itu tidak akan membiarkannya dengan mudah—tentu saja, Rianti dan Sherina sudah ditarik mundur ke belakang. Membuat orang-orang yang menontonnya sejak tadi memekik, meskipun berusaha keras untuk ditutupi.

"Seharusnya lo ngerti pas gue bilang ini bukan urusan lo," kata Dianrera memegangi rambut Rianti sebelum menyentaknya keras. Sherina benar-benar merasa bersalah dengan teman satu ekskulnya itu yang tidak tahu apa-apa.

"Seharusnya kalian juga sadar, nggak ada manfaatnya merundung orang kayak gini!"

Sherina merasa kulit-kulit rambutnya perih karena Rawika memegangi itu terlampau keras, masih menunduk seakan hanya itu yang bisa dilakukan.

"Nyampah apalagi kalian?" Suara berat seorang laki-laki membuat Dianrera yang terus mengoceh itu berhenti, juga dengan kepala Sherina yang perlahan terangkat untuk melihat itu.

"Nggak usah ikut campur karena ini bukan urusan kalian."

Mata Sherina tidak bisa untuk tidak membulat. Sedikit mencuri pandang lapangan yang semakin ramai banyak orang itu, juga kehadiran tiga laki-laki ini. Fariz, Rabbar, dan Rega yang entah mengapa harus datang.

"Kalian kenapa, sih? Ini adek kelas, nggak malu sama badge angkatan?" Rega hanya penasaran tujuan mereka melakukan hal seperti ini.

Dianrera menyeringai, tak peduli tatapan tajam Fariz yang terus menghakimi itu. "Setiap orang yang nyari masalah sama gue, ini yang bakalan terjadi."

"Lepasin tolol kesakitan itu anaknya!" Dengan tenaganya yang jauh lebih besar, kini Fariz ganti menyentak tangan Rawika dan Dianrera itu kasar.

"Kita emang nggak tahu apa masalah kalian. Tapi, semua bisa diselesiakan baik-baik tanpa main tangan dan ucapan kayak gini, kok. Kalian udah kelas tiga, harusnya fokus sama kegiatan ke depannya, ngapain buang-buang tenaga buat hal nggak ada manfaatnya kayak gini?" Rabbar sudah pantas menjadi guru sebenarnya.

"Kalian beneran ganggu kegiatan gue," kata Dianrera mendecak tak percaya. "Urusin kegiatan kalian ke depan, bukan urusan orang lain!" tambahnya mengakhiri pertunjukkan siang itu.

Dianrera masih sempat meludah di depan Sherina yang sudah gemetar ketakutan itu sebelum pergi, juga menyibak kerumunan dengan tatapan angkuhnya yang dibuat menakutkan.

"RIN, NGGAK PAPA?!" Tidak memedulikan apapun, lapangan yang masih ramai atau kehadiran tiga laki-laki yang digandrungi banyak orang ini, Sherina langsung menumpahkan tangisnya.

"Rere nggak ada otak!"

"Kak Fariz pokoknya laporin ini ke BK!" seru Rianti keras, masih berusaha menenangkan Sherina yang akan lama berhenti jika sudah menangis seperti ini.

Rega tertawa mendengar itu, merasa sedikit lucu. "Udah pasti dilaporin kok." Netranya yang teduh itu berganti memerhatikan perempuan yang berada di pelukan Rianti.

Ada sedikit khawatir di hati Rega melihat Sherina yang biasanya tersenyum dan tertawa dengan mudah itu terguncang seperti ini.

*

Halah Kak Rega raimu iwi-iwi!

Terimakasih sudah membaca dan memberikan tanggapan baik! Send love banyak-banyak!

— September 01

#1 Kompliziert (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang