"Ra sepirone loro ati iki amergo ditinggal pergi. Tapi loro ati iki amergo dikhianati."
Ada bagian tubuh Sherina yang bergerak saat lagu berbahasa Jawa itu terputar, entah kaki, tangan, atau kepala. Tapi, hanya bola matanya yang tidak diam saja sore itu.
Mata sembap perempuan itu menjadi tak berpaling saat memperhatikan kemasan susu coklat yang sudah habis isinya di laci tempat lampu tidur berada. Sudah berminggu-minggu ada di sana, tak luput dipandangi lama-lama sebelum Sherina memejamkan mata setiap malam.
Kemasan susu yang diberikan Rega tempo hari, yang membuat harapan Sherina membumbung semakin tinggi.
Masih dengan lagu yang mengalun indah di telinga Sherina, perempuan itu berganti tatap pada gelang warna-warni yang ada di pergelangan tangan kirinya, yang dibuatkan kedua adik Reno. Katanya, Arumi dan Andini sedang senang melakukannya, Sherina belum bertemu keduanya padahal. Katanya lagi, Reno sering menceritakan Sherina pada kedua adiknya.
Tanpa disadari lagi—untuk kesekian kalinya, air mata Sherina mengalir deras. Gadis itu tak tahu mengapa semuanya menjadi begini, memikirkan apapun membuat ketakutan Sherina bertambah kali lipat.
Sebenarnya, sudah dari kemarin malam badan Sherina kembali seperti biasanya. Sudah tidak demam, perempuan itu juga tidak mau sakit terlalu lama—tidak ada yang mau. Hanya saja, Sherina masih tidak siap pergi ke sekolah. Masih belum mengatur apapun untuk tatapan orang yang berlainan satu sama lain.
Sherina juga sering melamun sekarang.
"ERINAA SAYANGQ!" Gadis itu terkejut luar biasa saat melihat keempat sahabatnya ini berdiri memenuhi pintu kamar.
Sherina cepat-cepat menghapus air matanya yang masih menggenang di pipi. "Eh? Ngapain?"
Airani langsung duduk di samping Sherina, di pinggiran tempat tidur. Yang melihat itu langsung mengikuti tanpa menunggu lama, Sherina agak bingung mengapa Fani tak membuka suara sejak tadi.
"Kenapa repot-repot bawa makanan, sih, kalian?" tanya Sherina begitu melihat Milan dan Sakira menaruh masing-masing kresek berwarna putih di meja belajar Sherina yang tumben sekali tertata rapi.
"Yang beli Fani, Rin, kita juga ikut sih dikit-dikit. Nggak biasanya kan dia kayak gini? Sampai mau keluar uang juga."
Milan mengangguk-angguk. "Padahal pas kita mau jenguk lo awalnya dia nggak mau ikut."
"Kenapa, Fan?" Agak tidak biasanya juga Sherina bertanya serius begini pada Fani.
Perempuan yang memakai jaket abu-abu itu hanya menggeleng, memainkan kuku-kukunya dan tidak ada tanda-tanda ingin menjawab. "Kalau salah ya bilang, sejak kapan lo jadi pecundang kayak gini?" Sejujurnya, Airani, Milan, dan Sherina tak paham apa maksud ucapan Sakira.
Beberapa detik kemudian, tiga orang tadi hanya bisa melongo. Menyaksikan Fani yang langsung berhambur memeluk Sherina, menangis histeris sekali. Malah semakin tak paham.
"Rin maapin gue, ya. Gue bingung banget harus ngapain lagi pas ngeliat lo ngelamun terus nggak ada semangat hidup. Kalo lo udah nggak mau temenan sama gue nggak papa kok, tapi maapin gue karena lancang ikut-ikutan," Ucapan Fani itu bercampur dengan isakan yang masih belum bisa berhenti.
Sebenarnya, Sherina mulai menyadari ini sejak kemarin. Fani adalah teman pertamanya di sekolah menengah atas, satu-satunya orang yang paham betul patah hati Sherina saat itu. Sekarang pun, hanya Fani yang mengetahui perasaan Sherina pada Rega. Semua akan berhubungan jika lebih dipikirkan seperti ini.
Sherina tak marah pada Fani, tidak akan merubah situasinya juga. Perempuan itu tahu niat baik yang ingin disampaikan sahabatnya, Fani selalu membuat Sherina ingin mengucapkan terimakasih.
Meski baru sekarang, apa yang diniatkan Fani tidak sesuai kenyataan yang ada.
"Kenapa, sih, ini? Nggak ada yang mau cerita?"
Sherina mengusap punggung Fani lembut. "Nggak papa, Fan. Gue tahu kok maksud lo gimana, lo nggak perlu minta maaf."
"Apa hubungannya Reno sama kakak kelas yang udah punya pacar?" Baru pertama ini Airani bisa menyimpulkan sesuatu dengan cepat.
Sakira menoleh, berbisik-bisik. "Dulunya, Sherina dekat sama Reno. Terus pas Kak Rega punya pacar dan Sherina patah hati, Fani nyuruh Reno deket lagi sama Sherina."
Yang paling tidak mengerti di antara mereka adalah Milan.
"Kak Rega ini yang pacarnya Kak Nissa anak PMR, kan?" Sherina mengangguk.
"Fani lancang bener, ye!" seru Airani menunjuk Fani yang masih menyelesaikan kegiatan menangisnya. "Pas denger ceritanya dari Wendy kemarin, menurut gue Kak Rere lebih serem daripada Kak Marissa loh, anjir. Nggak ada akhlaknya, nggak ada takutnya juga lebih parah."
Milan ikut menyahut. "Lebih nggak ada akhlak Reno sih menurut gue, di PMR juga ngedeketin Kak Icha, lho."
"Sasi yang diem-diem aja sampek bingung kenapa Reno akrab banget sama anak-anak bulu tangkis." Sherina tertawa pelan.
Sakira yang sedari tadi diam itu berdehem, membuat atensi yang lain teralihkan sekarang. "Ini alasan kenapa gue nggak mau terlibat urusan percintaan apapun. Rumit. Ini suka ini, ini bantu ini, ini nyakitin ini," katanya mulai mengomel.
"Lo ya, Rin," Sakira menatap Sherina nyalang sekarang. "Meskipun gue tahu hati lo lemah dan gampang baper, lo bodoh kalau udah di mabuk asmara kayak gini. Gue mohon banget lo jangan deket sama siapapun lagi. Nggak peduli hati lo geter-geter pas ditolongin sama Kak Rega, atau kiriman salam dari anak IPS itu, bahkan masih kasihan sama Reno." Perempuan ini menyebutkan seseorang yang memenuhi pikiran Sherina akhir-akhir ini.
"Kesembuhan hati lo nomor satu. Gue nggak nyalahin Fani nyuruh Reno dateng lagi biar lo nggak terlalu sedih, tapi sekarang? Luka lo makin lebar lagi, Rin. Ditambah, banyak anak-anak yang udah tahu tentang ini, mental lo juga yang akan keganggu," Sakira mengatakannya dengan gamblang sekali.
"Nggak papa gue dimarahin karena ngambil kata-kata yang kedengarannya kasar banget." Suara Sakira itu terdengar putus asa. "Nggak ada kata-kata lembut yang bikin orang sadar dan berubah asal kalian tahu."
*
Mau spam sampai tamat!
Terimakasih sudah membaca! Jangan lupa berikan vote dan komen!
— September 03
KAMU SEDANG MEMBACA
#1 Kompliziert (✓)
Fiksi RemajaSherina Iswari Nadindra menyukai banyak hal. Pintar, untuk masa lalunya, sebuah pengecualian. Sesuatu yang membuat hatinya menghangat, perempuan berambut panjang itu belum bisa berpikir panjang. Namanya Reno Abirahasa, tubuhnya jangkung dan besar...