04 | Para Perempuan Hebat

7 2 0
                                    

Sherina tak tahu mengapa Bu Sarah—pengajar Bahasa Indonesia itu senang sekali menyuruh muridnya pergi ke perpustakaan.

Mungkin, hampir setengah abad usia guru tersebut. Rambutnya yang biasa digulung besar itu sudah terlihat uban putih di sana-sini, penggaris panjang selalu beliau bawa kemana-mana. Bu Sarah, memang salah satu guru yang masih menggunakan metode belajar terbelakang.

Di zaman apa-apa serba ada ini, beliau tak pernah ketinggalan untuk mengutak-atik ponsel pintarnya di setiap kesempatan. Tapi, untuk para muridnya, memegang handphone di jam pelajaran sudah seperti berzina, hukumnya haram.

Untuk mengatasi ketidakjelasan materi, Bu Sarah akan mengizinkan para muridnya belajar di perpustakaan. Tak ada google, takut menjalar kemana-mana.

Sementara teman-temannya menyebar mencari Kamus Bahasa Indonesia di penjuru ruangan ini, Sherina sibuk memilah novel-novel yang sudah tertata rapi di raknya sendiri.

Perempuan itu kembali dengan dua novel yang menurutnya menarik. Termasuk melihat kualitas suatu bacaan dari judul dan cover, Sherina terlalu malas membaca sinopsis. Memang seperti itu.

"Setdah, baca mulu nggak sakit mata lo?"

Sherina baru saja merunduk untuk memulai kegiatannya, suara keras nan nyaring Fani itu mengurungkan niatnya sebentar.

"Harusnya ditanyain ke samping lo, sih, Fan," Sherina menunjuk dengan dagunya perempuan cantik yang sibuk membaca itu.

Perempuan yang ditunjuk itu bernama Milan. Salah satu pengurus OSIS yang tak pernah lelah berusaha. Benar-benar gigih.

"Lah, bener juga. Seharusnya nggak usah dikerjain, bentar lagi juga istirahat, nanti malam masih bisa. Nggak usah buru-buru gitu ah."

"Ini banyak. Untuk ukuran manusia yang nggak suka megang buku kayak lo, mungkin tugas ini juga nggak akan selesai nanti malam sekalipun," Sakira menyahut, tajam dan pedas.

"Betul, dicicil lah sedikit-sedikit. Biar nggak keberatan banget nantinya." Milan ikut, dengan intonasi yang lebih lembut.

Perempuan di samping Sherina, yang tadinya hanya ingin diam ketika adu mulut terjadi, berucap sedikit keraguan. "Gue tuh udah niat nyicil, tapi yang mau gue jelaskan tentang apa belum kepikiran,"

Sherina langsung beralih pandang ke tumpukan buku-buku tebal yang berada di samping gadis cantik itu.

Airani, wajahnya yang manis dan cenderung menggemaskan itu kontras dengan badannya yang menjulang tinggi. Di lingkaran ini, ia yang paling tua, paling lama sendiri memahami sesuatu.

"Banyak, Ran. Coba lo angkat tema tentang pikiran laki-laki yang nggak pernah peka sama perasaan kaum hawa," Fani berbicara lagi, delikan Sakira tak dipedulikan.

"Coba ngasih saran yang masuk akal dan sesuai, ngelantur kemana-mana."

Sherina menoleh sebentar. "Denger sarannya Fani, gue jadi inget seseorang."

"Itu bukannya nggak peka, Rin. Dianya aja suka gantung anak kepala sekolah. Nggak takut dikeluarkan sama Bu Andriani."

Saat itu, kelimanya memang tak terikat dengan hubungan percintaan apapun. Sakira tak menunjukkan tanda-tanda dekat dengan seseorang, fokusnya sampai kapanpun adalah menjadi yang terbaik. Jika Airani, sebagai vokalis band sekolahnya yang semakin terkenal, tak sedikit siswa yang mendekatinya, satu orangpun belum ada yang dipikirkan matang-matang sampai sekarang.

Sherina masih sakit dengan kisahnya yang lama, gadis itu belum ada niatan untuk memulai kembali. Fani, tak pernah tertarik menjalani hubungan menyebalkan itu, hidupnya sudah bahagia dengan mengusik ketenangan orang lain.

Tetapi Milan, gadis itu memang tak sedang membuat kisah dengan siapapun. Namun Aldo, menjadi orang pertama yang akan mengucapkan selamat pagi untuk Milan, memberinya perhatian. Ketua OSIS, bukan siapa-siapanya, sampai sekarang. Milan menunggu yang tak pasti.

"Sekali aja, Lan. Sekali-kali lo blok sosial medianya. Aldo kan suka ngirim pesan tuh, kalau nggak lo balas pasti dia bingung. Nanyain pas di kelas, terus lo pancing."

"Mending pas dia ngirim pesan langsung lo hapus. Dia kan jadi makin bingung, ini aktif kok nggak dibalas pesannya." Yang lain memberi saran.

"Nggak, lo tinggalin aja orang kayak gitu. Udah hampir setahun lo deket sama dia, nggak ada perubahan. Aldo banyak yang suka sekarang, iya, Milan yang selalu dihubungi, kontak Milan yang disematkan. Tapi hatinya? Nggak ada yang tahu." Sakira membawa kenyataan.

"Gue tahu Milan pinter, masa ninggalin laki-laki sekelas ketua OSIS aja nggak bisa? Emang nggak kenyang makan harapan sama perhatian Aldo? Gue sih muak."

"Gue sih lebih milih nembak Aldo duluan. Ketua OSIS loh ini, bukan ketua kelompok pas ada tugas dari guru." Fani menggelengkan kepalanya tak bisa maklum.

Kemudian perempuan itu melanjutkan, kepalanya tertoleh. "Gampang banget lo ngomong gitu, nggak pernah jatuh cinta, kan?"

"Jatuh sakit pernah," Sakira menjawab setengah mendelik.

"WOI SAKIRA NGELAWAK ANJIR!? HUMORKU TERTAMPAR KENYATAAN!"

Kemudian Fani menepuk mulutnya sendiri karena penjaga perpustakaan yang gendut itu memberi tatapan sarat ancaman. Dan Sherina, berakhir meminjam dua novel yang belum sempat ia baca karena kisah cinta Milan lebih penting dan menarik dari apapun.

*

Hai! Hari Minggu yang cerah meskipun tadi sempat gerimis aku update dua kali! Kemarin nggak ada kuota, sih, soalnya

Terimakasih yang sudah membaca dan memberikan tanggapan baik!

Salangee, Guys

— June 14

#1 Kompliziert (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang