chapter 28: Jangan memberi harapan

25 1 0
                                    

"apa maksudmu"

"maksudku apa kamu tidak sakit melihatnya dengan cowo lain?"

"mau bagaimana lagi"

"menurutku pak amin emang gak salah sih, tapi kalo terus diam juga gak bakal bagus"

"terus kamu mau aku gimana? "

"ahh pusing bill, terserah kamu aja dah" katanya sambil mengaruk garuk kepala

Memang benar membingungkan.

Ada saat dimana, diam adalah hal terbaik, namun bisa sangat menyakitkan.
Bicara agar lega tapi bisa menghancurkan

Sudah 3 hari una galau karena alif tidak membalas pesan atau mengangkat telponnya, dia tampak lesu dan tidak seerti biasanya
Saat itu kami sedang di rumah una untuk menemani nya

"na, masak yok laper ni" ajak putri

"masak sendiri bisa gak put, itu ada mie di lemari atas" jawab una yang hanya membaca buku

"ayolah na, kita maen atau kamu mau jalan jalan jangan gak semangat kayak gini"

"badanku lagi lesu put"

"kenapa sih ini udah 3 hari, emang si alif belum ngehubungi"

Mendengar putri mengatakan itu membuatku langsung melotot kepadanya,
Dia langsung menurup mulut.
kenapa dia harus mengingat kan masalah itu, padahal aku tau benar kalau una sedang mengalihkan pikirannya

"keliatan ya" ucap una sambil murung

"na sorry aku gak bermaksud kayak gitu" kata putri sambil mendekat ke una

"engga kok gpp"

"karena udah terlanjur di bahas, ya udah deh, jadi kelanjutan nya itu kalian putus atau engga sih" sambung putri

"gak tau, aku kayak gak di kasih kepastian mau pisah atau lanjut" kata una sambil membaringkan tubuhnya di sofa

"harusnya kalo mau pisah ngomong" kataku dengan suara kecil

"aduh kok jadi kayak gini sihh" ujar putri

"apa aku ke rumah nya aja ya minta maaf" kata una

"ngapain" kataku

"ya minta maaf lah" jawab una

"na iya kamu emang salah, tapi masa sih mau minta maaf sampe dateng ke rumah, cowo macam apa kayak gitu, masalah sepele juga" sambungku

Dia terdiam, matanya berkaca kaca seperti ingin menangis

"udah jangan nangis, udah 2 kali kamu nangis di depan kami gara gara cowo" kata putri sambil mengelus kepala una dalam pelukannya

"jangan bodoh cuman gara gara cowo, udah dari awal aku gak setuju sama si alif" sambungku

Una hanya menangis kecil, rasanya sedih melihatnya di gantung oleh cowo macam si alif.

Setelah pulang dari rumah una pun, aku masih memikirkan dirinya

                       Ada yang perlu aku bicarain

Alif:
apa tumben ngchat?

                                  Kita ketemuan aja

Alif:
Ada masalah apa nih

                         Gak usah banyak tanya

SilentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang