10. Afraid

177 108 8
                                    

Happy reading☺
Budayakan Vote sebelum baca.

Sampai di Arpatemen, benar saja Yuna demam, wajah gadis itu pucat, tubuhnya menggigil.

Davin cemas, gadis ini memang mudah sakit, fisinya lemah.

"Ganti baju dulu ya?"

Yuna hanya bisa mengangguk lemah, ia berlalu pergi ke dalam kamar yang bernuansa pink.

Keluar dari kamar mandi, Yuna dikejutkan dengan adanya Davin yang kini duduk dipinggir tempat tidur, Davin sudah mengganti seragamnya dengan baju santai, rambut Davin masih basah nenambah kesan tampan berlipat ganda.

Davin menghampiri Yuna yang masih saja bengong, hingga jarak mereka sudah dekat barulah Yuna tersadar.

"Kenapa ngelamun hmm?" Davin menyentuh dahi Yuna,
"Panas banget, ke rumah sakit yuk?" Dengan berlahan Davin mengelus rambut Yuna yang masih basah.

Yuna menggeleng tanda ia tidak mau ke rumah sakit. "Cuman demam, besok aja sembuh." Yuna menyunggingkan senyum lebar namun dengan bibir yang terlihat pucat.

"Ga, ayo ke rumah sakit!" Titah Davin

"Jangan," sela Yuna

"Kenapa hm." Davin berusaha menjaga intonasi suara agar tidak membentak.

"I--tu ad-"

"Darah?" Potong Davin

"Iya." Yuna menundukan kepala  dengna perasaan takut, begini resiko jika ia menolak apa yang Davin putuskan, Davin akan marah dan berakhir membentak.

"Nggak ada," lagi, Davin mengelus surai hitam Yuna dengan pelan.

"Ta--pi," ujar Yuna gugup

"Oke, kita di Arpatemen," Putus Davin.

Yuna memang tidak berani ke rumah sakit, ia phobia terhadap cairan kental dengan warna merah pekat, ia phobia darah, saat kecil ia dan ayahnya sempat mengalalami kecelakaan berakhir sang ayah meninggal, dan Yuna kecil melihat betapa banyaknya darah yang keluar dari luka ditubuh ayahnya, sejak saat itu ia fobia darah, saat ia melihat darah maka ia akan teringat kecelakaan 9 tahun lalu sampai saat ini ia tak bisa lupakan.

Davin menyematkan tangan diantara sela kaki serta dibelang leher Yuna, ia menggendong Yuna ala bridal style, Yuna hanya pasrah mengaitkan tangan ke leher Davin apa daya badannya terasa lemah.

Davin mendudukan Yuna di atas tempat tidur, pergi mengambil handuk kecil di dalam kamar mandi.

Davin mengeringkan rambut Yuna dengan handuk kecil yang tadi ia ambil, Yuna memperhatikan raut wajah dingin Davin, Yuna sangat beruntung memiliki sahabat seperti Davin, andai saja mereka lebih dari kata sahabat, andai saja Davin tau apa yang selama ini ia pendam, ingin sekali ia menyatakannya, namun apalah daya ia tak bisa melakukan hal itu.

"Hey jangan melamun," ujar Davin, setelah mengeringkan rambut Yuna, ia membaringkan tubuh mungil Yuna secara berlahan kemudian menyelimuti sampai sebatas dada.

Yuna menggelengkan kepala untuk merespon, ia memang melamun, melamunkan sebuah harapan yang tak mungkin pernah bisa terwujud.

"Tunggu disini, jangan bangun." Davin baru saja ingin melangkah keluar tapi tangannya sudah ditahan terlebih dahulu.

"Kenapa hmm...?" Davin kembali duduk dipinggir tempat tidur Yuna.

"Jangan pergi," kata Yuna dengan nada memelas.

"Cuma ngambil kompres," Davin tersenyum menenangkan.

"Jangan lama," lirih Yuna.

"Iya." Davin berlalu keluar dari kamar Yuna menuju ke dapur untuk membuatkan Yuna makanan serta mengambilkan air kompres, dengan kesusahan ia membuat bubur untuk Yuna meski ini pertama kali ia melakukannya, demi Yuna ia akan berusaha.

FriendzoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang