Chapter One

27.3K 1K 25
                                    

Satu-satunya hal yang kurang dari hidup Aldwin adalah pasangan hidup. Atau setidaknya itu yang dianggap oleh semua orang. Ia yang kini berusia 31 tahun turut mengalami hal yang tampaknya dialami oleh banyak orang saat memasuki usia pertengahan dua puluh, tuntutan menikah oleh orang disekitarnya.

    Pria itu membuang napas berat untuk kesekian kalinya. Ia menatap arloji Richard Mille RM 58-01 yang mengisyaratkan bahwa orang yang terlibat janji temu dengannya telah terlambat selama hampir 20 menit.

Jika bukan karena Helena Kintagioro, ia tidak akan pernah mau terlibat dalam hal semacam ini. Neneknya kini mengupayakan segala cara agar Aldwin 'sedikit' meluangkan waktunya untuk sesuatu yang Helena yakini akan membuat Aldwin bisa memiliki hidup yang lebih normal, kencan buta untuk mendapatkan istri.  Neneknya bahkan membuat perjanjian untuk melepaskan 5% dari 10% sahamnya di Kalanka Group, sebuah perusahaan konglomerasi multinasional yang pertama kali dibangun oleh keluarganya 120-an tahun yang lalu. Bergerak di bidang manufaktur, real estate, pengembangan, jaringan telekomunikasi dan juga kesehatan, perusahaan tersebut merupakan perusahaan paling besar di Asia.

Seorang perempuan berpakaian serba pink layaknya Paris Hilton berjalan masuk dan menghampiri Aldwin.

Pria itu yakin dengan absolut bahwa perempuan itu adalah orang yang ditunggunya. Seluruh restoran itu telah ia reservasi sehingga ia tidak mungkin salah. Aldwin berdiri, memaksakan seulas senyum dan mengulurkan tangannya.

"Kamu Aldwin?"

"Aldwin."

"Latisha.. Karim." Balas wanita itu dengan napas tersendat.

"Aduh, maaf ya. Personal shopper aku.. bannya bocor. Aku belanja.. seminggu sekali, aku nggak bisa keluar kalau nggak pakai baju baru mingguan." Jelas Latisha usai ia menyesap air dari cangkir di meja.

    Aldwin sudah pernah bertemu gadis seperti ini, apa yang menjadi pusat perhatian mereka hanyalah diri mereka sendiri. Setidaknya Latisha telah membuat effort dengan berlari, jadi Aldwin akan memaafkannya. Demi Kalanka Group.

    Perempuan di hadapannya itu kini mengeluarkan cermin dari tas Birkin-nya dan mulai memeriksa apakah setiap detail make up-nya luntur saat pelariannya ke sini.

"Kamu punya alergi atau preferensi makanan?"

"Sebentar.. Aku hampir selesai." Balas Latisha yang tengah memoles wajahnya dengan cushion tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari cermin.

Setelah beberapa menit, gadis itu akhirnya bersedia mengangkat wajahnya dari cermin.

"Maaf, tadi kamu bilang apa?"

"Kamu ada preferensi makanan?" Ulang Aldwin.

"Oh.. minggu ini aku harus diet fruitarian. Peramalku bilang untuk menghindari kesialan. By the way, kamu tampan juga ya. Seperti kata orang-orang." Gadis itu kemudian tertawa kesenangan.

Aldwin menganggukkan kepalanya tipis, tanpa harus diungkapkan oleh Latisha, ia sudah banyak mendapatkan pernyataan serupa. 

"Hm.. tapi.. Hidung kamu kayaknya terlalu mancung deh, lebih mancung dari punyaku."

Pria itu lantas kaget karena Latisha tiba-tiba memajukan tubuhnya, menangkupkan tangan mungilnya ke wajah Aldwin untuk melakukan inspeksi wajah dan mulai mengadu fitur wajah.

"Kata peramalku nggak bagus punya jodoh yang hidungnya lebih mancung, tapi.. Nggak apa-apa, nanti aku minta dokterku yang ganti hidungku lagi. Ngomong-ngomong apa zodiakmu? Saya lebih cocok dengan yang Leo."

Pria itu kemudian menarik napas dalam. Aldwin tidak tahu sampai kapan ia harus.. lebih tepatnya bisa mentolerir gadis ini.  Rasanya ia mulai ingin melupakan sahamnya.

Dancing with Our Hands TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang