XI🍱

174 14 3
                                    

Dilema anak muda, sepertinya.

Nata yang pulang dengan wajah masam mengundang tatapan penuh tanya dari sang adik. "Mbak sen—MBAK HABIS NANGIS?!" itu unjin, bertanya dengan nada suara yang di naikkan satu oktaf.

Gemas.

Nata mencubit bibir unjin—yang bentuknya sekarang persis cocotan bebek mainan milik yoda. "Jangan teriak arkan! Ini bukan di hutan"

Yang tak unjin tanggapi omelan dari sang kakak, ia memandang tepat di manik mata nata. "Kenapa? Ada yang gangguin mbak senja? Siapa? Sini bilang sama aku!"

Tipe adik yang perhatian kepada saudara sendiri, unjin seperti itu. Membuat nata terkekeh karna ucapannya. "Anak kecil tau apa sih? Mbak nggak pa-pa..." tangan yang tak tinggal diam, mengelus pucuk rambut lelaki yang berada di depannya.

Berdecak dan memutar bola mata malas sambil bersidekap dada Unjin lakukan. "Aku bukan anak kecil lagi mbak!"

Suara tawa menguar, ekspresi dari sang adik sukses mengocok selera humor nata malam ini. "Iya sudah besar. Yang lain pada kemana? Kok kamu sendirian dirumah?" menyadari keadaan rumah yang sedang sepi—seperti kuburan. Tak seperti biasanya, nata mengerutkan kening heran.

Pasalnya ini sedang tidak malam minggu atau weekand . Yang mengharuskan seluruh anggota keluarga pergi untuk jalan-jalan keluar. "Mama sama papa tadi di undang untuk buka bersama dengan Pak RT. Mas naresh pergi sama mbak windi dan—"

"—Kamu?" terpangkas, sebab nata memotong pembicaraan. Senyum wajah yang dibuat seperti mengejek membuat lelaki itu kembali berdecak.

"Ck! Aku tadi buka puasa bareng nana di sini, sekarang anak nya lagi pulang sebentar!"


Mandi, mengganti pakaian serta melakukan sholat magrib, sudah dilakukan nata. Gadis itu merebahkan tubuh di atas kasur yang ada. Melihat jam yang berada di ujung sana, pukul tujuh malam. Dan sampai sekarang ia belum makan sama sekali.

Cacing yang berada di perut pun seakan sudah berdemo. Lupa, bahwa ia tadi memilih kabur dari sehun tanpa memakan satu jenis hidangan di meja sana.

Menghembuskan nafas kasar, apakah tindakannya tadi salah?

Meminta untuk pulang tanpa memikirkan perasaan sehun sama sekali. Wajah lelaki hidung bangir itu Nampak kecewa. Membuat nata memukul sang kepala. "Nggak usah dipikirin senja, mending kita cari makan dulu!"

Menuruni anak tangga dengan langkah gontai sembari memakai jaket, wajah nata terlihat datar tanpa ekspresi.

"Mau kemana teh?" itu nana. Teman unjin yang sedang memakan permen kaki—menatap nata dengan wajah bertanya-tanya.

"Temenin teteh beli bakso yuk na, sekalian ajak unjin. Nanti ditraktir"

Seruan serta nggukan—bak anjing pelacak nana lakukan. Membuat nata tersenyum gemas. "Teteh tunggu di depan, jangan lupa di cabut colokan listrik nya!"

🍭🍭🍭

Jalanan padat kota Yogyakarta pada malam hari, membuat hati nata berangsur-angsur tenang. Aroma masakan dari pedagang kaki lima di pinggir jalan sungguh memukakan indra penciuman. Lawakan serta gombalan receh dari adik dan temannya pun membuat mood nata kembali bangkit.

"Teh nata tau nggak perbe—"

"Alah basi!"

Ucapan nana terpotong karna unjin. Memandang temannya dengan tatapan jengah. "Lo nggak ada gombalan yang lain apa? Semua cewek kok dikasih pertanyaan itu terus"

Tawa nata kembali pecah. "Kalian masih kecil aja udah kayak begini giman—"

"KAMI UDAH BESAR TEH, MBAK!"

Baiklah. Mulut nata kembali terkatup, sambil terkekeh pelan. Tangannya tak lupa untuk menggiring keduanya masuk kedalam tenda sang penjual. Memesan tiga mangkok bakso daging dan minuman es serupa—kelapa muda.

"Nana udah nentuin mau masuk universitas mana?"

"Udah. Bareng aku kok mbak. Nana mana bisa jauh dari seorang arkan!"

Dengusan serta tatapan geli nana menghujani seseorang yang barusan saja berkata demikian. "Geli anjir, teteh kok mau sih punya adek kayak dia. Aneh pisan"

Dengan logat sunda bercampur Indonesia yang khas, lagi-lagi nata di buat terpingkal hingga wajah pias. "Nggak tau na, udah dari sana nya dikasih. Kalo mau di tuker ulang sih boleh aja. Soalnya teteh lebih suka kamu"

Unjin yang mengerucutkan bibir persis seperti kejadian di rumah tadi. "Nggak tau. Aku pundung"

Seharusnya nata bersyukur. Berkat duo krucil yang baru tumbuh besar, katanya. Unjin, dan nana sukses membuat nama seorang lelaki bermarga Diningrat itu hilang sekejap di otak cantik nata.


Bulan ramadhan sebentar lagi akan berakhir. Hanya tersisa empat hari di mulai dari sekarang. Nata yang sedang mengerjakan tugas terakhir dengan langkah cepat—bak kekuatan angin dalam film kegemaran unjin, boboboy.

Tumpukan laporan yang sedari tadi menggunung, sudah habis di luluh lantah kan. Kehidupan nya pun seakan flat-flat saja saat ini. Tidak ada lagi ucapan selamat malam dari sang kekasih. Tidak ada lagi senyuman serta tatapan jahil dari seorang sehun.

Seakan lelaki hidung bangir itu kembali memberi jarak antara hubungan mereka. Awalnya nata biasa saja. Hingga tak berapa lama, mengapa rasanya sesakit ini?

Perkataan serta perbuatannya waktu itu berakibat buruk bagi sehun kah?

Seharusnya lelaki itu sadar. Nata sedang di dalam ambang atau fase menyesuaikan statusnya yang mendadak berubah menjadi—jomblo.

Contohnya seperti sekarang. Saat sehun sedang lenggang—menyapa seluruh pegawai di ruangan yang ada. Hanya nata yang tidak disapa. Tersenyum pun tidak. Membuat rani menelan ludah nya secara kasar.

"Perang dingin antar kawan lama telah dimulai, lagi"

Perihal putus nya nata dengan abhim pun tidak mengundang banyak tatapan serta pertanyaan aneh dari sang keluarga. Semua nya tahu, tentang apa pun itu.

Berulang kali menghentakkan kaki dengan kesal. Berulang kali pula nata menghela nafas gusar. Mengelus perut dengan perlahan, ia kembali mengintip dari celah pintu kamar. Saat samar-samar terdengar.

"Ayok bang main ps!"

"Nanti ya, abang lagi ada perlu sama naresh. Nanti kita main"

"Sehun mau main catur bareng om?"

"Iya om, tapi tunggu sebentar ya"

Mengapa ruang lingkup nata dipenuhi oleh sehun semua sih? Dunia ini tidak sekecil daun kelor! Asal tahu saja.

Kedatangan mendadak yang membuat jantung nata berdegup kencang. Rasanya masih sama! Hati nata terlalu cepat untuk sembuh dari patah hati secara mendadak.

Dengan langkah kaki yang dibuat sepelan mungkin—berusaha menghindari tatapan sendu dari sehun di ujung sana. "Kamu sedang apa?"

Alamat, nata ketahuan!

Sedang ingin mengubur diri di palung mariana saja ia saat ini.






Tbc

Sehun berulah lagi.

Gimana caranya mereka jadian kalau perang dingin seperti ini?

SENA dan Rasa {End}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang