[10] Bubur Kacang Berkah

8.8K 1K 153
                                    

"Kita gak menyediakan plastik"

. . . .

Pukul 06.20 WIB, setelah aku dan Farhan menunggu rekan-rekan osis datang, kita langsung bergerak menuju kantin sekolah.
Iya, bubur kacang yang akan dibagikan dibuat oleh beberapa bibi kantin yang kebetulan menetap di sekolah.

Beberapa dari kita dibagi menjadi beberapa divisi.
Ada yang bersiap-siap untuk mengambil berbagai macam keperluan (logistik), ada yang bagian untuk mengatur bilamana barisan antrian agak rusuh karena ulah murid bar-bar (keamanan + humas), ada bagian yang membagikan bubur kacangnya, dll.

Aku masuk divisi logistik, mengangkat panci yang berisi bubur kacang dari kantin ke lapangan.

Untungnya ada beberapa cowok yang aku kenal ikut membantu, berhubung panci ini berjumlah 4. Gak terlalu besar sih, cuman berat banget kalo diangkat sama dua orang doang.

Ya intinya bukan panci buat masak mie :(

Aku kebagian ngangkat panci sama Farhan juga dua kakak kelas yang ikut nimbrung membantu.
Masing-masing panci dibawa oleh 3-4 orang.

"Anjir beurat gening ieu burcang teh. Uyuhan si manis ngiluan ngangkat haha", ucap salah satu anak kelas 12 yang selalu ngejailin aku, kang Tama.

(Anjir ternyata berat gini burcang. Kebayang si manis ikutan ngangkat haha)

Dan fuck you untuk kang Tama, karena udah manggil aku manis.

Kayaknya panggilan itu udah merajalela. Bangsul ah.

"Heh, kang Tama. Saha nu manis?", ketusku sambil terus mengangkat panci berat ini.

"Meni rumasa. Heeh iya maaf. Han, rek dibawa kamana yeuh?", balas kang Tama.

(Meni merasa. Han, mau dibawa kemana nih?)

#Aduh punten b.indo-nya 'meni' apa gais ? Wkwkk#

Farhan yang mendengar perdebatan cekikikan.

"Ka lapangan kang. Engke aya meja na da", jawab Farhan.

(Ke lapangan kang. Nanti ada mejanya kok)

Setelah percakapan yang membuat aku rada kesel, akhirnya kita sampai di tujuan dengan selamat tanpa cidera.

Kebetulan semua panci yang kita angkat itu anget, karena dibuntel sama kain tebel. Kata bibi kantin biar gampang bawanya. Biar kulit kita gak melepuh.

"Nuhun ya kang. Nanti ajakin temen sekelasnya ngambil bagian ya", ucapku sambil mengelap keringat yang bercucuran di kening dengan tangan.

"Heeh siap. Semangat ya osis. Kade baturan urang loba nu bar-bar, sok minta lebih haha", balas kang Tama sambil melangkah menjauh.

(Semangat ya osis. Tiati temen-temen aku banyak yang bar-bar)

Kang Tama itu orang yang ramah, walaupun dikenal sering bulak-balik dipanggil ke ruang BK, sering tercyduk merokok di sekolah, kang Tama ini selalu menolong sesama.

"Qil, gak akan ke kelas dulu? Buat nyimpen tas", tanya Farhan final memecahkan keheningan.

Aku yang sedang sibuk membuka buntelan kain di panci menoleh ke Farhan.

"Iya bentar lagi", jawabku.

"Yaudah, urang ke sekre dulu ya , mau ngambil tas. Sekalian ngebawain tas kamu"

Aku hanya mengangguk.

Usai Farhan berlari ke sekre, tiba-tiba ada getaran di saku celana abuku.

Aku merogoh dan mendapati ponsel dengan notifikasi WhatsApp.

For himTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang