[04] Perpustakaan

11.6K 1.3K 274
                                    

"Ga tertarik cewek"

. . . .


Udah 1 minggu semenjak kepindahan Fajri, teman sebangku ku.

Aku belum terlalu mengenal dirinya. Fajri itu tertutup.
Dan sampai sekarang dia masih tiis ke semua orang.

Tapi para ughtea di sekolah semakin menjadi-jadi, berusaha mendapatkan hati si manusia es.

Aku heran, apa dia punya masalah?

Dan heran karena, why cewek-cewek bisa klepek-klepek karena tampang si manusia es itu.

Aku ingin nyoba buat lebih dekat sama Fajri, secara kan kita sebangku gitu.

Sekalian bisa dijadiin partner nyontek hehe.

"Qil, tadi bu Euis nyuruh ngambil buku paket bahasa sunda di perpus sesuai jumlah siswa. Ambilin gih bareng Fajri", ucap Dian yang sukses menyadarkanku dari lamunan.

"Terus bu Euis nya kemana, An?", tanyaku.

"Cenah mah si ibu ada rapat. Jadi tadi nyuruh aku bawa buku paket buat baca-baca materi", jelas Dian.

"Yang disuruh kan kamu,An. Bukan aku"

"Hoream aku nya, mau tidur dulu. Kan kamu cowok, ajakin aja Fajri", alasan Dian bikin aku kesel.

Terus kalo aku cowok kenapa?

Mentang-mentang KM jadi nyuruh se-enak jidat.
Kagak amanah jadi KM, yang disuruh siapa yang ngambil siapa.

Lagi pewe gini disuruh, kenapa gak yang lain aja?

"Cepet atau aku bongkar rahasia kamu?", ancam Dian,

"Anjir main nya ngancem euy cewek mah",

"Iya iya akan segera dibawa bu ketu", lanjutku kesal, sangat kesal diganggu.

Udahlah ya, cewek mah selalu benar dan menang, gak mau kalah.

Eh, emang Dian si borokokok cewek?

'Hahhaha , hampura An', ngebatin as always

Kembali ke laptop,

Dian tersenyum bangga, setelahnya duduk di bangku langsung molor.

Aku hanya bisa mendesah

Eh, menghela nafas pasrah.

Aku menengok ke Fajri.

Si manusia es lagi anteng baca buku yang dari hari pertama dia bawa.

"Faj, bantuin bawa buku paket yuk, di perpus", pintaku.

5 detik

10 detik

"..."

Penyakitnya masih belum bisa disembuhkan gais.

Belum menemukan penawarnya.

Jadi yang bisa aku lakukan adalah bersikap sabar.

Aku menarik bahu Fajri agar tidak fokus ke buku, sehingga pandangannya bertemu dengan mataku.

Wajah Fajri datar sesaat setelah aku menarik bahunya. Tapi aku berhasil membuat Fajri menatapku.

"Bantuin bawa buku paket di perpus yuk", pintaku untuk kedua kalinya.
Fajri diam.

Beberapa detik dia menutup buku yang dibacanya, dan disimpan di kolong meja.

"Ayo", akhirnya Fajri ngejawab.

.

.

.

.

For himTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang