[11] Senyum

8.1K 1K 40
                                    

"Halo anak-anak bapak"

. . . .

"Nyet, hampura ya. Kemarin lagi terbawa suasana", ucap Dian yang baru duduk di bangkunya yang sudah diputar menghadap ke bangkuku.

(Hampura --> Permohonan maaf ; maaf)

"Cih, iya dimaafin. Tapi, naon maksudna Farhan bahaya?"

(Tapi, apa maksudnya Farhan bahaya?)

Ada jeda bagi Dian untuk menjawab pertanyaan yang aku lontarkan.

"Pokoknya bahaya", ucapnya cepat.

Hahhhh...

Yasudah lah.

"Memang kemarin kalian kenapa?"

Uwaw.

Uwaw waw waw wow.

Gak salah nih?

Fajri ikutan nimbrung. Uwaw.

Aku dan Dian sempat terkejut, namun Dian segera menjawab,
"Kepo"

Yang bertanya tetap memasang wajah datar andalannya.

Tini, temen sebangku Dian terkekeh.
Entahlah aku heran, Tini ini kerjaannya seseurian terus. Lol.

Merasa tak ada topik yang ingin dibicarakan, Dian memutar kursinya menghadap ke depan.

Ngomong-ngomong, sudah 15 menit sesudah bel masuk bunyi.

Tapi guru mata pelajaran pertama belum hadir juga.

Hem.. Bau bau nya sih bakal jam-

Sedang asik berpikir macam-macam, tiba-tiba datang Gilang yang habis lari terbirit-birit, masuk kelas gak santuy. Pintu di dobrak kayak rentenir yang mau nagih hutang.

"Anjir... Hoh hah hosh... Gais.. Hoh.. Hah.. Jam.. Hah hoh... Jamkos gaiso", ucap Gilang ngos-ngosan.

Seketika suasana di kelas berisik dengan teriakan kegembiraan.

See?

Kita tetaplah bocah culun yang ingin datang ke sekolah untuk bermain bersama teman, tidak ingin terus-terusan belajar karena nanti pusing. Hanya ada sedikit siswa rajin di kelas ini.

Tapi jika kita di beri waktu libur, kita ingin sekolah karena rindu teman, bukan rindu pelajaran.

Do you know what I mean?

Gilang masih berdiri di depan sambil menetralkan nafasnya.

"Woy bangsat, urang KM nya gak dapet kabar sama sekali. Wadul maneh mah ah, Lang", teriak Dian yang membuat suasana gaduh di dalam kelas menjadi hening.

(Bohong kamu mah ah)

"Ih anjir, sumpah. Tadi urang gak sengaja berpapasan sama si ibu Rodiyah, si ibu mau ke rumah sakit dulu ada urusan cenah. Mau manggil KM kelas kita, tapi keburu ketemu jeung urang", jelas Gilang rada emosi, karena Dian selalu nganggap Gilang tukang bohong.

Aku cuman bisa menyimak, begitupun yang lainnya.

"Dikasih tugas teu?", tanya Dian final.

(Dikasih tugas gak?)

"Teu, matakan urang bilang jamkos ge. Bisa bebas gais"

(Ngga, makanya aku bilang jamkos juga)

Dian menghela nafasnya kasar.

Gilang yang selesai menjelaskan, beranjak duduk di bangkunya.

Setelah dipikir-pikir, yang bisa menang debat sama Dian cuman Gilang seorang. Sedangkan yang lain pasti bakal kalah telak, bahkan aku yang notabene-nya sahabat Dian selalu kalah debat.

For himTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang