[17] Bukan Kejutan

6.7K 874 57
                                    

"Terima jadi pacar kamu"

. . . .

"Hah? Istri? Maksudnya apa ya?", tanya Farhan.

Waduh.

Kok aku merasakan hawa-hawa membahayakan disini.

Mereka tuh kenapa sih?

"Aqil. Calon istri gue"

Haduh Fajri kamvret. Malah ngomong yang ngga-ngga.

"Memang Aqil mau jadi istri kamu?", ucap Farhan yang ternyata sudah di sampingku.

Duh, mereka ini lagi debat atau gimana?

Argh, terserah mau debat atau bukan. Yang penting sekarang aku suruh mereka masuk dulu, kan bahaya kalau Fajri semakin menjadi. Dan apa maksudnya coba, kalau aku calon istri dia -Fajri- ? Gblk banget kan.

"Heuumm.. Faj, Han. Masuk dulu aja yu. Ga enak kalau ngobrolnya disini", terangku.

Fajri beralih menatapku dan tersenyum sambil ngomong, "Iya"

Lah anjir perubahan mimik wajahnya cepet amat. Tadi garang sekarang lembut, mau nya apa coba? Heran deh aku.

Akhirnya kita bertiga berada di ruang tengah, tepatnya duduk di sofa. Duh, kenapa suasananya jadi canggung gini. Kita bertiga malah duduk dempetan di sofa, duh tolong ya sofa di ruang tengah itu lebih dari satu, bukan yang ini aja. Padahal aku duluan yang duduk disini, eh mereka malah ikutan duduk disini. Mana posisi aku ditengah, kampret gak sih?

Kampret banget asw.

"Farhan, mening lo pulang", Fajri tiba-tiba bersuara. Anehnya, entah sejak kapan Fajri genggam tangan aku di paha-nya. Seperti biasa aku berontak dan akhirnya sukses melepaskan genggamannya.

"Apaan nyuruh-nyuruh. Pemilik rumahnya santai aja tuh"

"Bacot lu. Pulang sana, ganggu banget"

"Main ngusir aja, berasa pemilik rumah"

"Memang bukan rumah gue, tapi rumah calon istri gue"

"Jangan halu, berat"

"Bacot"

Ya ampun, kedua telinga aku tersiksa harus mendengar ocehan mereka ini. Gak bisa dibiarin nih, harus aku tegur lagi.

"Heh sutt. Santai aja dong. Fajri, yang ramah sama Farhan, dia pertama kali main kesini. Terus Farhan, jangan ngikut Fajri ngoceh, gak akan ada ujungnya. Kalau tau bakal gini, mening kalian berdua pulang aja sana. Aku pusing denger kalian yang gak ramah satu sama lain", protesku panjang, sepanjang jalan kenangan.

"..."

Diem juga.

Ampuh ya perkataan aku.

Jelas bikin aku kesel. Niat untuk main malah berujung suasana mencekam.

"Kali ini aja urang ngalah. Urang pulang duluan ya"

"Loh kok beneran pulang?", tanyaku setelah melihat Farhan berdiri sambil mengucapkan pamit tadi.

"Iya, sorry ya Qil. Lain kali urang main kesini lagi"

"Yaudah, gimana kamu aja Han. Sorry ya keadaannya ga mendukung, maaf kalo Fajri bikin kamu ga nyaman", ucapku sambil berjalan di sebelah Farhan menuju pintu rumah, sedangkan Fajri masih duduk di sofa.

Aneh ya, yang salah siapa yang minta maaf siapa.

"Urang pulang ya"

"Yo, hati-hati"

For himTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang