Chapter 2

232 18 0
                                    

I believe anything happens for a reason. I believe you are the reason.

Dua minggu, masih Roman menyesali. Bagaimana bisa? Nama? Hal paling penting, dan bodohnya dia lupa untuk menanyakan nama satu orang yang sanggup membuatnya betah berlama-lama dengan wanita. Apa hanya karena senyum wanita itu yang entah dengan cara apa menariknya menuju dasar jurang terkesima. Dan terima kasih berkat itu dia bahkan bisa membuat nachos yang paling hebat bahkan Roman tak bisa membuat sesuatu selain berbahan telur.

Hari ini, entah keberuntungan macam apa yang menimpa dirinya. Wanita itu masuk ke dalam ruangan. Rambutnya di kepang di sisi-sisi kepalanya dan di ikat ke belakang. Wajahnya belum melihat ke arah Roman , tapi dia begitu yakin bahwa wanita yang sedang memeriksa temannya ini adalah wanita yang sama yang membuatnya menyesal. Roman hanya bisa tersenyum sambil menatap wajah wanita itu, wajahnya seputih pualam, bulu matanya hitam dan lebat mungkin di bantu makeup , bola matanya yang abu-abu terang mengintip di baliknya. Bibirnya tidak merah, tapi berwarna coklat pucat yang anehnya sangat cocok dan terlihat menggoda.

Saat mata itu melihat kearah Roman, raut wajah terkejutnya tak dapat wanita itu tutupi. Roman tersenyum semakin lebar. Mungkin wajahnya akan sedikit kaku nanti menginggat dia tidak pernah tersenyum selebar itu.

"Hai, ternyata kau doctor" Roman menyapa menyembunyikan letupan excitement di hatinya.

Roman begitu menikmati pemandangan di depannya, wajah cantik itu masih melihat kearahnya. Keterjkejutannya sidikit menghilang di gantikan dengan tatapan penasaran yang terlihat berbinar di mata Roman.

"Man, kau tau dokterku?" Evan malah bertanya hal yang tidak penting pada Roman.

"Ya, ingat saat aku kalah taruhan. Dia yang membantuku." Roman mengingatkan.

2 minggu lalu Roman kalah taruhan karena football team andalannya harus kalah melawan team yang di jagokan Evan. Dan hukuman yang harus dia penuhi adalah memasak nachos. Evan sendiri tahu jika temannya itu payah dalam urusan membuat makanan. Dan walaupun nachos adalah cemilan yang simple tapi Evan sedikitnya tahu membuat nachos tidak semudah memakannya.

"Hai. Mr. Black temanmu?" Gwen menyapa Roman.

"Evan , mulai sekarang panggil aku Evan. Kau mengajari idiot ini membuat nachos paling enak yang pernah aku makan. Dia bahkan tak biasa membuat hal lain selain omelette dan scramble egg selama hidupnya." Si brengsek Evan malah mengoceh di depan wanita yang Roman belum tau namanya itu.

Gwen melihat Evan saat Evan berbicara. Dan Roman ingin wanita yang terlalu cantik itu melihatnya, hanya melihatnya. Entah dari mana keegoisan itu tiba-tiba muncul.

" Ya, ya cukup Evan. Aku tak sanggup harus mendengarkan ocehan mu bahkan saat kau sakit." Roman melirik Evan tajam.

"Dan ya, si cerewet ini temanku." Roman tersenyum ke arah wanita itu.

Saat wanita itu undur diri. Roman tahu dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang sudah di berikan semesta. Hari ini setidaknya dia ingin merasakan perasaan saat di super market itu sekali lagi. Excited ya, Roman ingin merasakannya lagi. Roman sudah mewanti-wanti dirinya, jangan sampai dia lupa bertanya nama lagi, nomor nya mungkin menjadi bonusnya. Goalnya dia akan mengajak wanita itu makan siang. Dia masih ingin melihat wajah paling cantik setelah ibunya itu lebih lama.

Dia menunjuk pintu dan segera berlari. Evan tahu maksud Roman. Dia berdo'a semoga itu yang paling baik untuk sahabatnya yang paling idiot tapi paling dia pedulikan.

"Hey, Sekarang aku boleh tau namamu?" Roman berhasil menyusul Wanita itu. Berjalan beriringan dengan wanita itu mungkin akan membuatnya tersenyum lebih sering hari ini.

Somewhere in the MiddleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang