12. Terlupakan.

10 3 0
                                    

Riani itu manja.

Riani memang di manja.  Apa saja keinginannya pasti di penuhi. Bukan hanya soal makanan.  Barang-barang yang di butuhkan pun pasti itu terpenuhi meski pun harganya selangit.

Seperti halnya sekarang.  Motor besar matic dengan harga belasan juta itu sudah terparkir manis di depan rumah.  Seperti halnya tradisi.  Setelah motor datang, maka pembagian uang ketetangga khususnya anak kecil dan ibu-bapak usia lanjut sudah di bagikan. Sebagai ungkapan rasa syukur,  karena bisa membeli kendaraan tersebut.

Riani tak henti-hentinya bersyukur.  Setelah mengeluh motor lamanya memiliki beberapa masalah.  Yang lebih parahnya masalah sampai membeli motor lagi karena, motor yang dulu jika terkena hujan maka tak bisa di pakai lagi.

Dan pada saat itu Riani sempat berdiri di pinggir jalan di tengah hujan yang lebat dengan motor yang mati total, di tengah malam saat usai membeli sesuatu di mini market.

Jadilah seminggu kemudian,  Riani di sibukan dengan jenis dan model motor yang Riani sukai.  Karena Riani belum tujuh belas tahun,  jangan harap iya bisa mengendarai mobil.

Motor Vario dengan gagah selalu Riani amati. Agak berat namun Riani suka karena mesinnya halus dan nyaman.

Keluarga Riani itu sederhana,  namun alhamdulillah nya jika Riani butuh sesuatu pasti orang tuanya akan selalu mencukupi.Selain soal kebutuhan, kasih sayang tak pernah kurang dari keluarganya.  Itulah kenapa Riani manja.

Selain manja Riani juga cengeng.  Dulu saat iya mempunyai dua kelinci dia sangat menyayanginya.  Namun karena salah,  memberikan rumput basah sehabis hujan,  kelincinya keracunan dan mati saat Riani mengecek nya sepulang sekolah.
Riani menangis histeris,  para tetangga juga sampai ada yang geleng-geleng kepala,  bahkan ada yang tertawa.  Sebab Riani menangis kencang sambil memeluk dan berguling-guling di atas makam dua kelinci yang amat iya sayang.

Dan sampai sekarang pun saat Riani punya kucing (namanya Bindusara)  yang mati  keracunan karena memakan tikus yang di racun tetangga,  membuat Riani tak henti-hentinya menangis.  Sampai-sampai abah (guru karate Riani) pun heran dan hanya bisa geleng kepala karena sesekali saat istirahat Riani menangis dan menyendiri.

"Bibi.. Ribut-ributan yuk? "

Riani yang tengah melamun,  setelah tadi capek jalan-jalan menggunakan motir barunya.  Iya tersadar saat keponakannya yang bernama Bintang itu mengajaknya bermain.

"Enggak ah males,  main aja sendiri. " Bukannya males namun ada alasan tersendiri kenapa iya tak ingin main dengan keponakan yang manis ini.

"Ah,  bibi cepetlah main yuk! Bibi jadi penjahat,  dede jadi Ultramen. " Ujar si kecil memaksa.

"Enggak mau!  Main aja sama Baim aja sana! "

Bintang cemberut, matanya berkaca-kaca siap mengeluarkan senjata ampuhnya.

Riani menghela nafas iya menjawil pipi Bintang yang berusia lima tahun itu gemas. 

"Ya udah ayo! "  seru Riani akhirnya.

Bintang tampak senang dia berdiri berancang-ancang.  Satu tonjokan kecil dapat Riani tangkis pelan.

Dug

Hening.  Beberapa detik hanya ada keheningan.  Namun detik berikutnya suara tangisan kencang Bintang berhasil membuat seisi rumah kalang kabut. Sang ibu--kakak pertama Riani segera menggendong sang anak sembari menenangkan. Baru juga main,  Riani tak senghaja menonjok pipi cubby keponakannya.

Rahma yang sejak tadi tiduran dekat Riani tertawa kecil.  Tonjokan bukan main kerasnya,  bahkan pipi Bintang yang cubby memerah di buatnya.

Riani menghela nafas, ini alasan kenapa Riani tak ingin mengajak main sang keponakan.

Menghembuskan nafas kasar,  tentu Riani merasa bersalah.

***

"Ayo,  de lari yang bener. " Ujar Riani.  Sore ini seperti biasa iya akan berolahraga dan sekarang dia mengajak Bintang yang katanya ingin ikut sang Bibi yang tadi siang menonjoknya.

Biasanya Riani dan Novy akan berlari mengelilingi pendesaan. Dan sekarang pun sama,  cuman Bintang saja yang ikut sampai rumah Novy dan kembali lagi di antar kerumah.

"Ah,  de larinya jangan cepet-cepet! " Riani menyeru.  Sekumpulan cowok yang asik ngobrol mulai menyapa, di sambut senyuman manis oleh Riani.

Dia tak ingin di anggap judes bahkan galak lagi.

Bintang berlari dengan semangat,  jalan menanjak pun tetap saja dia berlari.  Imbasnya adalah Riani yang sudah banjir keringat dan kewalahan mengejar sang keponakan yang semangat berlari.

Setelah menjemput Novy pun sama,  larinya tak berubah. Sehabis mencium tangan orang tua Novy yang memang menyayangi Bintang.

Riani terus mengejar Bintang yang berlari kencang.  Di belakangnya Novy sudah kewalahan dengan nafas memburu.

"Dadah.. Sana masuk kerumah. " akhirnya setelah berlari-lari mereka sampai juga di rumah.  Bintang menurut,  sepertinya dia sudah kelelahan.

"Buset dah lincah amat ponakan kamu. " ujar Novy tak percaya,  dia mengelap peluh yang bercucuran di dahinya.

"Hm,  bener tadi siang aja aku enggak sengaja nonjok dia."

"Apa?! " pekik Novy tak percaya.  Dia menatap Riani tajam lalu berkata, " Gimana ceritanya kamu bisa nonjok dia!  Kamu mukul lengan aku becanda aja sakit apalagi di tonjok mukanya! " Novy histeris dia tak bisa membayangkan sakit yang di rasakan Bintang.

"Ya gitu deh.... " Riani mulai bercerita panjang lebar sambil terus berjalan.

Mereka terus berjalan sesekali berlari sambil mengobrol sana-sini.

"Aku pamit pulang ya,  Assalamu'alaikum." Ujar Riani pamit,  setelah melambaikan tangan Riani kembali melangkah pulang.

Dia berjalan santai,  semburat jingga sudah nampak di atas langit. Riani tersenyum iya menikmati pemandangan indah di desanya.

Sesekali berpoto.  Riani mencoba menguasai diri agar tak terlihat salah tingkah saat melihat Ustadz Fauzan mengendarai motor kearahnya.

Ustadz Fauzan tersenyum manis,  setelah iya menengok kekanan.  "Riani, " Ustadz Fauzan menyapa dengan suara lembut. 

Riani tersenyum membalas.  Senyuman tak kalah manis iya tunjukan.

Ustadz Fauzan telah berlalu,  mengendarai motor dengan santai.  Riani menatap punggung Ustadz Fauzan dengan sedikit kecewa.

Mungkin memang dia sudah di lupakan. Tak ada lagi nama panggilan Ustadz Fauzan yang begitu Riani sukai.

"Cimindi. " Di ambil dari nama desa.  Itulah nama panggilan yang di sematkan kepada Riani dari Ustadz Fauzan.

"Cimin. " Ustadz Fauzan selalu memanggilnya dengan sebutan itu. Sebutan yang tak pernah lagi terucap,  sebutan yang selalu Riani rindukan.

Karena meski pun Ustadz Fauzan telah bertunangan.  Perasaan di hatinya ini telah mengakar sejak iya kecil dan entah kapan, Riani belum siap untuk bisa melupakan Ustadznya itu.

Karena saat Ustadz Fauzan tersenyum manis, jantung Riani berdebar kencang dan Riani sadar, jika perasaannya masih sama seperti dulu.
***

Haduh haduh kalo kalian merasa kenal sama 'Ustadz Fauzan'yang namanya di samarin.  Eumm.... Jangan baper ya ini mah cuman cerita fiksi biasa kok.

Bodo Amat!! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang