20. Hari Kemenangan.

7 3 0
                                    

Hari Idul Fitri sangatlah berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.  Tidak ada yang beri amplop berisi puluhan ribu uang.  Tidak ada pula kegembiraan yang terpancar dari orang-orang.

Meski pun mereka dengan semangat menyambut hari kemenangan,  namun tetap saja derai air mata jatuh tiada hentinya,  saat teringat anak atau kerabat mereka tak bisa pulang ke kampung karena wabah corona.

"Udah jangan nangis." meski pun Riani tak menangis di kala sang kakak--anak kedua lelaki Rum--tidak bisa pulang kampung bersama istrinya, dari lubuk hati Riani juga merasa sedih apalagi sudah setahun mereka belum pernah bertemu.

Maya-adik Novy dengan mata merahnya tak bisa membendung air mata.  Iya masih berumur tiga belas tahun,  amat sedih orang tuanya tak pulang tahun ini.

"Hm nih,  dari tadi nangis mulu, " Meski tampak Novy berdiri tegak melihat sang adik dengan tatapan biasa saja.  Riani tau jika Novy juga bersedih hati,  apalagi matanya itu terkadang berkaca-kaca.

"Udah yuk,  kita kerumah pak ustadz aja. " Riani mengajak.  Dia bukan mau cari perhatian,  tapi lebih tepatnya dia ingin bersilaturahmi.

Pernah satu kali Riani tak datang kerumah sang ustadz saat hari raya,  dan itu yang membuat sang ustadz sedih.

Jadi tak heran,  setiap tahun tepat jam sembilan pagi Riani akan menjemput Novy sekalian silaturahmi.

Riani menggandeng Maya,  adik Novy ini masih sesekali menangis dan Riani akan menenangkan.  Berhubung Novy tengah mengobrol dengan Lily jadilah mereka memilih jalan kaki.  Dan motor Riani terparkir manis di perkarangan Novy.

"Assalamu'alaikum, " Meski pun agak malu-malu Riani memimpin dan masuk dengan percaya diri.

Di ikuti Maya,  Novy dan juga Lily yang tampak malu juga.  Apalagi ada Bara, Jaya, dan santri senior yang sudah duduk manis dekat Ustadz Ali.

Riani menangkup tangan di depan dada sambil tersenyum manis,  kearah para cowok. Lalu beralih mencium tangan Ustadz Ali beserta Istrinya dan yang terakhir agak malu sih.  Riani pun menangkup tangan di depan dada dengan senyum kikuk kearah Ustadz Fauzan.

Sudah Riani bilang,  desa Riani itu masih bersih dari wabah.  Karena itulah silaturahmi masih terjalin.

Riani duduk manis, di ikuti kawan-kawannya.  Gerah melanda,  Riani mengambil tutup toples dan mengipas-ngipasi wajahnya.

Istri Ustadz Ali yang sadar pun menyeru,  menyuruh Bara menyalakan kipas angin.

Riani tersenyum tanpa malu, sedangkan Novy hanya bisa menepuk jidat sambil geleng-geleng.

Dalam bayangan Riani sebelum lebaran,  Tunangan Ustadz Fauzan datang dan memelototinya.  Riani yang tampil cantik dengan balutan gamis biru dongker dengan jilbab senada,  bibir merah jambu dan make up tipis mampu menyihir setiap mata termasuk Ustadz Fauzan yang selalu memandangnya tanpa berkedip.

Namun saat ingat Ustadz Fauzan tak punya tunangan,  Riani hanya bisa menghela nafas sambil menepis bayangan ambyarnya karena bagaimana pun, Ustadz Fauzan tetap menunduk di tempatnya,  sibuk vidio call dengan kerabatnya.

"Udah minta maaf belum sama dia?" Novy bertanya.

Riani berhenti menatap poto dari status Wa yang menampakkan wajah sahabatnya yang pernah sakit hati karena penolakan akan ungkapan cintanya dulu.

" Oh iya hampir lupa, " Riani segera mencari kontaknya. 

Panggilan tersambung tampak wajah ganteng sahabat Riani yang tak pakai baju.

"Ih kok enggak pakai baju!" Riani menyeru.  Baru sadar setelah tadi mengucap salam dan saling minta maaf.

"Iya nih Umy,  abis di kuburan. " Memang sudah jadi teradisi sebagian orang jika hari kemenangan tiba akan pergi ke kuburan dan berdoa di sana.

Dan sudah jadi kebiasaan pula sahabat yang satu ini selalu memanggilnya 'Umy'.

"Btw,  disini banyakan udahan dulu ya. " Riani undur diri lagian tak enak juga melihat tubuh cowok tanpa baju seperti itu.

"Btw?  Hemmm, "

Riani nengok saat kakak senior cowoknya menyeru. Seolah ada yang salah dengan kata 'Btw'.

"Emang salah ya Riani ngomong Btw?" Riani bertanya dengan polosnya iya mengerjap-ngerjapkan mata lucu.

Kakak senior itu menggeleng kepala.

"Oh ya udah nanti Riani ganti pake 'ngomong-ngomong'aja." Lagi Riani berkata dengan lugunya. 

Tanpa di sangka semua orang tertawa.

Riani beralih mengobrol dengan Novy,  sepakat selepas ini mereka akan pergi beli ice krim dan setelah dzuhur mereka akan bersilaturahmi kerumah Wati dan Tari.

"Riani ka Herman ngomongin kamu tuh! " Seru Jaya melapor.  Jaya itu sahabat Riani dari kecil.

Riani menengok lalu tersenyum simpul,  menatap Herman lalu berkata:" Jangankan di omongin,  di hina aja aku udah biasa." Ucap Riani dengan tampang polosnya.

Jangan salah ya meski pun Riani bersikap polos dan apa adanya,  iya akan berubah sangar bak singa betina jika ada yang mengganggu. 

Ruang tamu Ustadz Ali ramai oleh derai tawa.  Entahlah dengan ekspresi Herman,  karena Riani memilih menatap Ustadz Fauzan yang ikut tertawa dengan merdunya.

Herman pamit undur diri.  Meski pun Riani sering mengabaikan sesuatu yang malas iya urusi dan sering berkata 'Bodo amat! ' tak terkecuali urusan ucapan yang terlontar dari mulutnya.

Karena itu Riani meminta maaf saat Herman pergi,  dan yah,  seharusnya Herman yang meminta maaf.  Namun beda dengan Riani,  saat iya merasa bersalah iya tanpa ragu akan meminta maaf atas ucapan yang dirasa bisa saja membuat sakit hati.

Dari lirikan mata Riani menyadari tatapan Ustadz Fauzan.

Sekali pun Riani cinta mati,  iya tak akan berubah atau merubah dirinya agar orang yang iya cintai meliriknya barang sejenak.

Bodo amat!

Jika memang Ustadz Fauzan tak suka dengan sikapnya,  Riani rela jika cintanya bertepuk sebelah tangan.

Atau terhalang restu karena orang tua Ustadz Fauzan,  tak suka dengan sifat dan sikap Riani.

Semua orang berhak menentukan pilihan.  Dan Riani akan tetap jadi diri sendiri.

Karena Riani tetaplah Riani.

***
Maaf baru update

Bodo Amat!! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang