27.Membuka lembaran baru.

5 2 0
                                    

3 tahun kemudian...

"Rey,  kamu jagain kafe ya,  jangan lupa kunci semua pintu. Hari ini aku ada urusan. " Riani berujar memberikan amanat, Sambil menyodorkan kunci.

"Siap, tenang aja. Biar Rey yang urus. " Rey berkata dengan percaya diri sambil menepuk dadanya bangga. "Apa sih yang enggak bisa dari Rey, " sahutnya lagi.

Iya sih,  Rey itu segala bisa. Karyawan yang memang dekat dan di percaya Riani ini memang selalu terpercaya.  Pintar memasak,  membersihkan dapur, ramah, jago bela diri,  dan tentunya ganteng.  Eh tidak lupa,  cowok yang terpaut enam tahun dengan Riani juga pintar dalam mengurus keuangan.

"Bagus,  aku percaya deh sama kamu. Oh iya udah mau telat nih,  aku pamit ya. " ujar Riani undur diri.

Setelah mengurus sebentar Kafe yang iya rintis dari awal ini.  Riani segera bergegas pergi menjemput Novy.

Alhamdulillah, Riani sukses membangun sebuah kafe kekinian. Selalu ramai pengunjung,  meski pun Riani sempat jatuh bangun dan pernah terlilit hutang saat merintis usaha ini, namun karena kegigihan dan dukungan dari orang terdekatnya Riani berhasil dan meraup
keuntungan yang cukup besar.

Untuk biaya kuliahnya sendiri,  sang adik yang tengah menuntut ilmu di pesantren dan untuk keperluan orang tuanya juga.

"Maaf ya lama,  tadi abis ngecek kafe dulu soalnya. " Ujar Riani saat iya menyadari ia terlambat.

"Enggak pa-pa,  santai aja lah Ri,  aku juga ngerti kok. " Ujar Novy saat ia sudah duduk di bangku depan,  sebelah Riani yang menyetir mobilnya.

"Sip,  bagus-bagus. " Riani segela menancapkan pedal gas.  Mengendarai mobilnya dengan hati-hati.

"Jangan nangis,  awas aja nanti kalo nangis. " Ujar Novy memperingati.

"Iya, bawel. "

"Awas aja ya! "

"Iya. "

"Bagus,  ini baru Riani. "

Hening,  tampak Riani kembali fokus mengendarai mobilnya. Desanya tak berubah.  Sekali buang sampah yang berisi sayuran atau bawang pun akan langsung jadi tanpa di sadari. Tempat tinggal Riani memang subur,  sekali tancap batang singkong saja pasti akan jadi.

Riani menepikan mobilnya.  Rumah bertenda biru itu sudah terlihat di depan mata.  Riani menghembuskan nafas berat,  iya melirik rangkaian bunga nama kedua mempelai pengantin yang membuatnya sesak.

"Udah siap,  nanti jangan nangis ya! "Novy kembali memperingati.

Riani mengangguk lalu mereka berjalan kedepan bersisian.  Riani tampak cantik dengan balutan gamis dan jilbab merah maron yang sederhana.

"Ternyata kita terlambat, " Lirih Novy
"Mereka udah resmi jadi pasangan suami istri. " Ujarnya lagi.

Riani menggangguk.  "Mereka keliatan bahagia banget ya. " Ujar Riani.  Matanya menatap lurus kedepan,  tepat kearah kedua mempelai yang tengah sibuk menyambut tamu undangan.

"Mau makan dulu, apa langsung kesana? " Novy mengalihkan topik pembicaraan.  Ia tau bagaimana perasaan sahabatnya sekarang.  Bagaimana pun jika dia berada di posisi Riani,  mungkin ia tak akan sanggup sekali pun untuk mengijakan kaki di tempat ini.

"Kesana aja yuk. " Riani menunjuk pelaminan.  Sudah banyak orang yang antri ingin bersalaman.

Sebenarnya bukan mereka yang terlambat,  namun karena ke-sengajaan memperlambat agar bisa menghindari acara sakral yang menyesakan hati.

"Hebat,  ternyata bukan kamu aja ya disini yang patah hati. " Ujar Novy saat menyadari beberapa gadis bermata sembab.  Bagaimana pun ia tau mereka habis menangis.  Karena sahabatnya pun mengalaminya.

Riani bergumam kecil sebagai jawaban.  Ternyata benar,  bukan hanya dirinya yang patah hati di sini.

" Udah ah,  yuk kita ke sana! " Novy menarik lengan Riani dan menggeretnya agak paksa.

Menyadari Riani yang kian sedih jika berlama-lama disini, lebih baik mereka segera pergi.

"Nanti setelah ini kita makan seblak yah? "

Riani mengangguk semangat.  Seblak memang obat pereda kesedihan dalam hatinya.

Riani dan Novy mulai mengantri. Riani menghembuskan nafas kasar.  Sesak,  hatinya teramat perih.  Sepertinya luka yang berusaha ia sembuhkan belum hilang juga.

"Selamat ya Ustadz, Lily.  Samawa. "

Aneh kenapa Novy berwajah datar dan dingin saat berhadapan dengan pengantin.

Riani melirik Ustadz Fauzan yang kini telah resmi menjadi suami Lily.  Lalu kembali menunduk karena rasa sesak yang membelenggu hatinya.

"Selamat ya. " lidah Riani kelu, seperti amat sulit untuk di gerakan.  "Samawa. "  pungkas Riani.

Ini juga kenapa coba Ustadz Fauzan menatapnya seolah merasakan luka yang sama di hatinya. Dan kenapa pula Lily seolah tak suka melihatnya.

Yang jelas Riani tak peduli.

Bodo amat!

Sekali pun manusia saling berhadapan,  menatap tak berjarak pun tetap tak akan bisa menebak isi hati orang lain.

Riani tak peduli.  Sekarang tidak ada kesempatan lagi untuk dirinya memikirkan lelaki yang pernah ia mimpikan menjadi sosok yang mendamping dirinya, yang menemaninya hingga akhir nanti.

Nyatanya itu hanya ada dalam khayalan.  Kisah ini,  separuh kisah Riani ini akan menjadi sepenggal cerita yang akan terus ia ingat.  Bagaimana bodohnya ia mencintai ustadznya sendiri,  berharap lebih seolah ia memang jodohnya.

Ah,  Riani kembali melakukan kesalahan besar.  Air mata yang luruh turun dan jatuh ke pipinya tak mampu membuat sesak di dadanya menghilang.

"Sudah aku bilang jangan menangis. " Novy membawa tubuh menggetar sang sahabat.  "Sudah, jangan sedih lagi ya. "

Ketika kita merasa kecewa karena tak bisa bersama dengan seseorang yang namanya tersimpan dalam hati, jangan putus harapan. Lihatlah orang-orang di sekitar mu karena masih ada yang menyayangi kita melebihi seseorang yang kita sayangi.

Inilah sepenggal cerita Riani,  ya Riani.  Gadis bernama lengkap RIANI ini, telah berubah.  Mulutnya sering berkata "Bodo amat! " namun rasa peduli dan kebaikannya tak surut meski pun terkadang ia tampak acuh dan baperan.

Selebihnya inilah kisah cinta Riani, patah hati adalah resiko ketika kita mencintai.  Namun kesabaran dan keiklasan juga harus kita tanamkan dalam hati agar kita dapat mensyukuri dan menikmati hidup ini.
Karena pada hakikatnya,  hidup ini bukan hanya tentang kebahagian,  cinta dan kesenangan dunia. Namun hidup ini adalah sebuah perjalanan agar dapat meraih kebahagian dunia dan akhirat dengan berbagai terpaan cobaan,  duka, lara yang semata-mata hanya ujian untuk kita.

Apakah kita kuat melangkah dan menghadapi segala cobaan dan kesulitan.  Ataukah kita akan berhenti menyerah dan tak percaya di setiap kesulitan pasti akan ada kemudahan.

Cukup sekian.

Ya,  Riani percaya di balik kesulitan pasti akan ada kemudahan.

Setelah badai menerpa pasti akan ada pelangi yang menyinari.

Semuanya butuh keiklasan dan kesabaran.

Meski pun air mata Riani bercucuran,  namun dalam lubuk hatinya ia juga bahagia karena cowok yang ia sukai telah menemukan sosok pendamping hidupnya.

Tamat

***

Bodo Amat!! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang