Happy reading
Jarum jam sudah menunjukan pukul sebelas malam, rasa kantuk tak tertahankan begitu menguasai Amira, wanita muda yang nampak begitu telaten menggoreng adonan donat yang besok akan ia titipkan ke warung-warung dan kantin sekolah.
Sesekali wanita muda yang nampak sangat lelah itu memijat tengkuk dan pundaknya secara bergantian, berharap bisa mengurangi sedikit rasa pegalnya karena seharian bekerja disebuah rumah makan sebagai seorang pelayan.
"Unda?"
Amira tersentak kala mendengar suara mungil dari gadis cilik yang nampak begitu manis dengan rambut lurus nan lebat tergerai indah.
"Ayu? Kok bangun kenapa sayang? Ayu haus?" Tanya Amira sambil mematikan kompornya dan menghampiri sang putri.
Ayu menggeleng "Ayu pengen pipis." Ujar gadis kecil itu sambil melepas celananya, dan langsung berjalan menuju kamar mandi yang berada di samping dapur.
"Unda nggak bobok?" Tanya Ayu saat Amira memakaikan kembali celananya.
"Nanti sayang.. Unda selesaikan ini dulu."
Keesokan harinya, pukul enam tepat Amira dan Ayu sudah berkeliling mengantarkan donat-donat buatan Amira ke warung-warung dan kantin sekolah disekitar kontrakan mereka.
Box-box plastik berisi donat itu ditumpuk dan ditali dengan kencang di boncengan belakang, sedangkan Ayu duduk di sebuah kursi yang tertempel di stang sepeda butut milik Amira yang merupakan hibah dari seorang tetangga yang tak tega melihat kedua ibu dan anak itu harus berjalan jauh saat mengantar donat, apalagi kala itu Ayu masih berumur delapan bulan.
Dan diatas sepeda butut inilah Amira bercerita mengenai banyak hal pada Ayu, dan kadang sebaliknya. Hal itu seolah menjadi obat bagi Amira yang lelah mengayuh.
Setelah mengantar donat, kini Amira dan Ayu tiba di sebuah rumah makan padang milik sepasang suami istri paruh baya yang merupakan mantan lurah di desa mereka.
Beruntunglah Amira, karena Pak Hamdan dan istrinya mengizinkan Amira membawa Ayu untuk bekerja.
"Pagi mbak Delina, Mbak Ina."
"Pagi Ayu cantik." Balas kedua wanita yang sedang sibuk mengelap kaca dan etalase itu bergantian.
"Yang nyapa itu Undanya Ayu loh mbak.." ujar Amira pura-pura kesal.
Ina dan Delina sontak tertawa "pagi mir."
"Ayu salim dulu sayang sama tante Ina, sama tante De."
"Uluh-uluhh anak manis tante, cantiknya." Puji Ina mencubit pipi Ayu yang tak terlalu tembam, bocah cantik itu juga tak memilili kulit yang terlalu putih, namun wajah dan senyumnya sangat manis dan tulus, membuat siapapun langsung jatuh hati padanya
"Ayu tunggu di tempat biasa ya nak, Unda beres-beres dulu." Titah Amira, Ayu tersenyum mengangguk dan berlari menuju sebuah sofa tua yang telah koyak di pojok dapur.
Tempat dimana ia bermain bersama boneka pemberian Undanya yang telah nampak usang, ini adalah mainan pertama dan satu-satunya yang ia punya.
Meski masih sangat belia, Ayu sudah mengerti betapa sulitnya Undanya mencari uang, maka dari itu ia tidak pernah meminta bahkan saat ditawari ia pun menolak.
Gadis belia itu benar-benar dituntut oleh keadaan untuk menjadi dewasa sebelum waktunya.
"Ayu, sini nduk.. Ibu bawa apa nih." Ayu menoleh kala namanya dipanggil oleh Bu Hamdan, ibu baik hati yang selalu memberinya jajan dan es krim kala Undanya sedang bekerja.
Ayu tersenyum manis menghampiri Bu Hamdan "kue lapis sama kue bolu buat ayu."
"Makasih ibu." Ujar Ayu malu-malu.
Hari semakin siang, rumah makan semakin ramai dikunjungi oleh berbagai macam kalangan untuk sekedar merasakan nikmatnya makan siang ditemani dengan gulai kambing spesial yang menjadi primadona disini.
Amira dengan gesit mencatat dan mengantar pesanan para pelanggan dengan senyum merekah, fisiknya seolah tak pernah lelah, karena setiap kali ia merasa lelah, bayangan wajah Ayu selalu menjadi suntikan semangatnya kembali.
Sore menjelang, Amira kini sibuk menaikan kursi keatas meja lalu menyapu dan mengepel, hari ini ia melewatkan jatah makan siangnya agar bisa ia bungkus dan dibawa pulang untuk nanti makan malam bersama putri cantiknya.
"Unda.."
"Ya sayang.." Amira kini sedang mengayuh sepedanya menuju warung dan kantin sekolah tempatnya menitipkan dagangannya pagi tadi.
"Besok naik komedi putar yuk."
Amira tekekeh, memang sudah menjadi kebiasaan mereka sejak ada pasar malam yang digelar sebulan sekali selama satu minggu itu untuk naik komedi putar. Hanya komedi putar tanpa jajan atau membeli yang lain.
"Okey." Jawab Amira semangat.
"Janji?"
"Janji anak cantiknya Unda."
Amira kembali kerumah dengn wajah sedikit murung, donat dagangannya sisa banyak, tak seperti hari-hari biasanya yang selalu habis tak tersisa.
"Habis mandi kita antar donatnya kerumah nek Sumi ya?" Usul Amira diangguki Ayu.
Malam menjelang, setelah makan malam Amira menemani Ayu yang sedang belajar membaca sambil bermain boneka kertas, karena memang tidak ada televisi yang menghibur mereka.
"Unda nggak buat donat?" Tanya Ayu yang sedang fokus bermain kertas bergambar barbie cantik itu.
"Enggak sayang."
Uang Amira hanya tinggal tersisa duapuluh ribu di dalam dompet, gajinya di rumah makan hanya cukup untuk membayar kontrakan reot berukuran enam kali enam meter yang kini mereka berteduh dari hujan dan panas mentari.
Selama ini ia mengandalkan uang hasil berjualan donat untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kalau hari ini ia berbelanja bahan membuat donat, artinya besok mereka sama sekali tak punya uang pegangan.
Besok Amira akan kembali membuka jasa setrika baju, untuk menambah pemasukannya.
Cut
KAMU SEDANG MEMBACA
For My Beloved Daughter [END/COMPLETE]✔
Short StoryAda kalanya lebih baik diam daripada sibuk menjelaskan. Ada kalanya lebih baik pergi menjauh daripada harus bertahan. lima tahun berlalu, sejak kejadian yang melulu lantahkan hatinya, menghancurkan semua harapannya, menyisakan sebuah kerinduan tak t...