Selamat Jalan Cinta

18.4K 1.9K 156
                                    

Hi gaiss...
Maaf baru Update dan dari kemarin nggak ada respon.. hehhehe...

Pada kangen sama 4A? Wkwkwkwk

Happy reading All💞
Vote coments ya😂😂

Untuk terakhir kalinya..

Amira duduk bersimpuh disamping pusara Satria dengan tangis yang tak mampu lagi ia bendung.

Rasanya ribuan kali lebih menyakitkan dari pada apapun yang Amira pernah rasakan, seolah hidupnya pun selesai disini.

Satria..

Cinta pertamanya.. lelaki yang selalu ia sebut namanya kala bermunajat pada Tuhan.

Pemilik tahta tertinggi dihatinya.

Air mata Amira semakin deras meluncur bebas tanpa dapat ia cegah, meratapi setiap detik kesakitan yang saat ini melingkupi raga dan jiwanya.

Mengapa seolah Tuhan tak pernah adil dengannya?

Mengapa Satria harus datang jika akhirnya harus pergi? Pergi selama-lamanya seperti ini, saat Amira telah yakin.. yakin untuk kembali melabuhkan kembali hatinya pada pria itu.

Tetesan air dari langit kian semakin deras namun Amira tak peduli, ia masih ingin disini, menumpahkan semua kesedihannya atas kepergian Satria.

"Rara disini ya mas.. Rara temani mas." Bisik Amira menyandarkan keningnya pada nisan bertuliskan nama Satria.

Selamat jalan cintaku, beristirahatlah kamu dengan tenang disisinya biar ku disini menikmari untaian memori indahmu bersama malaikat kecil kita.

"Bu.. ibu Amira."

Amira membuka kelopak matanya dengan irama jantung yang tak karuan, ia melihat Omerto tepat dihadapan wajahnya dengan raut wajah yang menyiratkan kekhawatiran.

"Ibu baik-baik saja?" Tanya Omerto menyerahkan segelas air yang langsung ditandaskan Amira dalam satu kali tegak.

Amira menggeleng lemah, wanita itu menatap luar kaca jendela pesawat dengan tatapan menerawang penuh duka.

Mimpi itu begitu nyata dan seolah tengah menghadangnya

Omerto yang duduk disamping Amira kembali menghela nafas.

Dalam penerbangan nonstop mereka dari Jakarta ke Istanbul, sudah tiga kali Amira tertidur dan berakhir menangis seperti ini, sementara Ayu dan Arga nampak diam dan anteng seolah mengerti akan kesedihan sang Unda.

"Saya tau ibu pasti sangat kehilangan, saya mengerti sekali perasaan ibu Am--

Tatapan nyalang Amira menusuk kedua netra Omerto.

Wanita itu menggeleng "kamu nggak tau rasanya, kamu nggak mengerti sama sekali atas apa yang saya sedang rasakan." Tukas Amira tajam, wanita itu kembali memalingkan wajahnya ke arah jendela dengan pemandangan langit malam.

Omerto meringis merasa bersalah, namun yang dikatakan Amira salah.. Omerto pernah merasakan apa yang saat ini tengah wanita itu rasakan.

Bahkan Omerto harus kehilangan dua orang sekaligus. Omerto mengerti.. sangat mengerti.

Pria blasteran indonesia Turki itu kembali memejamkan matanya, menikmati pedih dihatinya yang tak jua membaik meski sudah lima tahun istrinya kembali pada sang Kuasa.

"Uncle?"

Omerto menoleh pada gadis kecil yang duduk disampingnya.

"Ya?" Tanya Omerto menelisik wajah kuyu Ayunda, bocah lima tahun itu nampak tersenyum menyembunyikan lukanya.

Ayunda melirik Undanya yang duduk disamping kirinya, lalu kembali menatap Omerto.

"Baba...

Ayu menghela nafas mencoba melanjutkan ucapannya, namun ternyata sulit.

Sekuat apapun Ayunda mencoba untuk tidak menangis namun ia tidak bisa, ia kembali menutup wajah mungilnya dengan Ciki, boneka kumalnya.

Omerto menghela nafas sedih, ia mengusap kepala Ayunda.

"Jangan sedih ya sayang.." lirih Omerto mengusap kelapa Ayunda, meski gadis kecil itu menggeleng.

Dalam diamnya Amira bukannya tak tahu bahwa putrinya pun sedang bersedih, namun apalah dayanya karena ia pun tak kuasa menahan kesedihan dan air matanya.

"Benarkah kamu sudah pergi mas? Bernarkah ini semua?" Batin Amira menutup wajah sembabnya.

Waktu berlalu, setiap detik menit telah berganti jam, kegelapan malam direnggut oleh sang surya yang nampak malu-malu bersembunyi di balik awan.

Untuk pertamakalinya Amira menginjakan kakinya di negeri orang, hangat sambutan keluarga besar Satria tak dapat menyentuh hatinya yang sedang murung berduka.

Di dalam ruang tamu mewah itu Amira duduk memangku Arga dikelilingi oleh kerabat Satria juga Serkan.

Pria paruh baya itu banyak-banyak mengucap maaf atas semua perlakuannya pada Amira dan cucu cantiknya Ayunda yang kini beristirahat di kamar.

"Pemakaman Mas Satria akan diselenggarakan kapan?" Tanya Amira pada Omerto, mengingat jasad Satria masih berada dirumah sakit.

"Besok pagi ibu."

Amira diam mengangguk, pandangannya begitu kosong.

Ia tak menyangka akan berada di titik terkelam dalam hidupnya seperti ini.

Kehilangan Satria bak kelihalangan seluruh hatinya.

"Sa-saya bisa lihat Mas Satria dulu?"

Omerto menggeleng "Pak Serkan tidak mengizinkan ibu pergi kesana."

Amira tak membantah karena ia pun tak yakin akan kuat melihat tubuh Satria terbujur kaku tanpa nyawa.

"Saya nggak lagi mimpi kan?" Tanya Amira lagi, dan lagi-lagi omerto menggeleng lemah.

Malam menjelang, Amira duduk termenung di kamar besar yang menguarkan aroma parfum khas Satria itu sambil menangis kembali.

Ia melewatkan makan siang juga makan malamnya, ia benar-benar tak berselera. Ia tak ingin apapun kecuali Satria.

Disudut lain..

Ayunda duduk sendiri di dalam kamar khusus yang disediakan untuk dirinya.

Jajaran mainan mahal dan menggemaskan tak mampu menggantikan Ciki dalam dekapannya.

"Kenapa Ci? Kamu kangen baba?" Tanya Ayu pada Ciki, sang boneka kumal sambil mendekatkan telinganya kearah Ciki, seolah boneka itu sedang bicara.

Ayu mengangguk "sama Ci.. Ayu juga kangen Baba.. kita berdoa sama-sama ya Ci, biar babanya Ayu masuk surga."

Lirih gadis kecil itu berkaca-kaca.

Namun Ayu buru-buru menghapus air matanya

"Kita nggak boleh nangis ya Ci, kita harus kuat biar Unda nggak sedih." Bisik Ayunda.

Serkan yang tadinya hendak memanggil Ayu untuk makan malam seketika trenyuh.

Cucu yang selama ini tidak ia ketahui keberadaannya, cucu yang selama ini ia sakiti tanpa ia ketahui tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat dewasa.

Amira sukses mendidik Ayunda.

"Satria harus membayar banyak untuk semua ini."

Cut ah....

For My Beloved Daughter [END/COMPLETE]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang