Ceritanya tuh emang bawank abisss
Kzl nggak sih😭😭😭Vote dan komenn yang buwanyakkkk ya
Pagi terlewat, matahari mulai terik.
Ayu yang biasanya akan bangun karena Undanya kini bangun sendiri ketika hari menjelang siang.
Tangan mungil Ayu bergerak menyentuh tangan Amira yang ternyata begitu panas.
"Unda.. Unda.. buka mata.. jangan merem terus." Ujar Ayu mengguncangkan tubuh Amira dengan wajah khawatir.
Ayu mulai khawatir, gadis kecik itu "Unda..."
Amira yang kini mengigil bukan main menatap Ayu lamat-lamat.
"Jangan nangis.. Unda nggak papa... peluk Unda saja ya.. Unda cuma kedinginan." Ujar Amira terbata-bata.
Sontak Ayu memeluk erat Amira. Tangan mungilnya mengusap-usap pipi tirus Amira sambil berdoa di dalam hati agar Undanya cepat pulih.
Sang fajar menyingsing ke titik tertinggi, lagi-lagi Amira dibuat trenyuh dengan satu centong nasi dingin sisa selama yang diberi taburan garam oleh Ayu dan kini tengah mereka berudua santap.
Amira masih terlalu lemah dan pusing untuk berdiri.
"Maafin Unda ya sayang." Lirih Amira pada Ayu yang kini menyuapkan suapan terakhir nasi dan garam kedalam mulut mungilnya.
Kedua tangan mungil milik Ayu kini tengah memijat kepala Amira, meski tak bertenaga namun itu cukup mengurangi pusing yang mendera kepalanya.
"Unda jangan sakit lagi ya. Ayu sedih.."
Amira mengangguk lirih.
Sore menjelang, keadaan Amira sudah lebih baik dari sebelumnya setelah seharian beristirahat dan meminum obat pereda pusing yang memang selalu menjadi persediaan wajibnya.
"Ayu temenin Unda antar cucian ke rumah Pak RT yuk."
Ayu yang sedang mengobrol bersama Ciki sontak melihat sosok cantik Undanya.
"Unda sudah sembuh?"
Amira tersenyum lembut pada putrinya "sudah donk.. kan Unda dirawat sama dokter Ayu." Kekeh Amira diakhiri dengan sebuah kecupan gemas dipipi putri cantiknya yang baru saja selesai mandi.
"Ayu mau ikut main sama mereka?" Tanya Amira setelah mengunci pintu, ia melihat putrinya sedang menatap gerombolan anak seusia Ayu sedang bermain dan tertawa bersama.
Ayu menggeleng.
"Ayu main sama Ciki aja.. Ciki baik." Jawab bocah dengan rambut lurus dikepang dua itu.
"Memang mereka nggak baik sama ayu?" Telisik Amira berjongkok menatap Ayu.
Ayu diam saja, Amira tersenyum tipis mengusap kepala Ayu.
"Ya sudah, yuk kita berangkat."
Ayu duduk diam diatas sepeda sambil mendekap Ciki, menikmati terpaan angin di wajah mungilnya.
Ia lebih suka seperti ini. Menghabiskan waktunya bersama Amira dan Ciki, daripada harus bermain bersama anak-anak seusianya di area rumahnya.
"Boneka kamu jelek. Kamu juga jelek, kamu nggak boleh ikut main."
"Kamu emang nggak punya ayah ya?"
"Kata mamahku, aku nggak boleh main sama kamu."
Dan banyak lagi kata-kata menyakitkan yang Ayu terima dari anak-anak itu, kala ia ingin ikut bermain bersama mereka.
Namun Ayu diam, bocah yang hampir memasuki usia lima tahun itu tak bercerita pada Amira, karena tak ingin melihat Amira bersedih.
"Sayang? Kok melamun?"
Ayu mendongak menatap Amira "nggak papa Unda."
Setelah mengantar cucian dan menerima upah sekaligus uang tambahan dari Bu RT, Amira membawa Ayu kesebuah taman kota yang tak jauh dari kontrakannya yang berada di pinggiran.
Dan disinilah mereka duduk, disebuah kursi panjang.
Ayu menikmati es krimnya dengan wajah sumringah, begitupun Amira yang menatap putrinya dengan senyum tak kalah lebar.
Ayunda, gadis kecil yang tumbuh dengan begitu dewasa dan penuh pengertian itu lahir diusia Amira yang menginjak duapuluh tahun.
Jangan kalian kira Ayu lahir diluar pernikahan atau hasil 'kecelakaan'.
Kala itu, Amira yang baru saja lulus sekolah menengah atas sedang mencari sebuah pekerjaan demi menghidupi dirinya yang tinggal sendirian sejak sang Ibu meninggal dunia beberapa bulan sebelum ia lulus sekolah.
Dan saat itulah, Amira bertemu dengan Satria. Pemilik sebuah cafe kecil tempat Amira melamar pekerjaan.
Singkat cerita, benih-benih cinta tumbuh semakin kuat diantara mereka, hingga mereka memutuskan untuk menikah secara siri.
Amira terlalu terlena dengan segala curahan perhatian dan limpahan kasih sayang dari Satria, lelaki yang selama ini hanya ia kenal sebagai bos, kekasih lalu suaminya, tanpa ia ketahui asal usulnya, siapa orangtuanya pun Amira tak tau.
Dan malam itu, malam tepat dimana pernikahan mereka berumur enam bulan.
"Ra, kamu percayakan kalau aku cinta sama kamu?" Tanya Satria menatap Amira serius.
Amira tanpa ragu mengangguk "Percaya dong. Kenapa memang?"
Satria mencium sekilas bibir Amira.
"Apapun yang terjadi nanti, kamu boleh benci sama aku, tapi kamu harus selalu ingat kalau aku cinta banget sama kamu, dan akan selalu begitu."
"Mas kenapa ngomong gitu? Mas mau ninggalin aku?" Tanya Amira takut sambil mengeratkan pelukannya pada Satria.
Satria tersenyum.
Dan itu senyum terakhir yang Amira lihat diwajah tampan Satria, karena keesokan harinya kala Amira terbangun, ia hanya menemukan secarik kertas serta sebuah kotak berisi kalung emas.
Jangan tanyakan bagaimana terpuruknya Amira, wanita itu bahkan hampir gila.
Belum lagi mendapati kenyataan bahwa dirinya sedang mengandung.
Sore itu, dibawah lembayung Amira menatap rumah dua lantai yang selama ini ia tempati bersama Satria untuk terakhir kalinya karena ia tak mampu lagi membayar sewanya.
Dan muali saat itulah perjuangan Amira yang sesungguhnya dimulai.
"Unda?"
Amira tersentak menatap Ayu "eh?"
"Unda kenapa nangis?"
Amira menggeleg lalu menghapus air matanya.
Ayu memandang Undanya khawatir "Kalau Unda sakit, kita pulang yuk.. nggak usah nonton kembang api."
Amira cemberut menatap Ayu "Unda tuh nggak nangis.. Unda mau liat kembang api kok."
Ayunda terkekeh lalu memeluk Amira.
"Ayu sayang Unda."
"Masa sih?" Goda Amira membuat Ayu cemberut.
"Humm.. Nda?"
Amira menatap putrinya "Kenapa?"
"Ayahnya Ayu dimana sih?"
Cut
KAMU SEDANG MEMBACA
For My Beloved Daughter [END/COMPLETE]✔
Short StoryAda kalanya lebih baik diam daripada sibuk menjelaskan. Ada kalanya lebih baik pergi menjauh daripada harus bertahan. lima tahun berlalu, sejak kejadian yang melulu lantahkan hatinya, menghancurkan semua harapannya, menyisakan sebuah kerinduan tak t...