Mode rajin Update CHECK!!!!
wkwkkwHappy reading gaiss..
Vote komen yg banyak for next part😗🤍
Satria memandang Amira yang sibuk menyuapi Arga, ini adalah kali pertama Arga memakan sesuatu selain susu.
"Wah pinter ya anak ganteng Unda." Goda Amira menoel hidung bangir milik Arga yang tersenyum lebar menampakan dua gigi susu pada gusi atas bocah tampan itu.
"Unda Unda."
Amira menoleh pada Ayunda yany sejak tadi duduk menyaksikan Arga.
"Adik sudah kenyang?" Tanya Ayunda melihat sisa buah alpukat di dalam mangkuk milik Arga.
"Sudah, Ayu mau?"
Ayunda mengangguk bersemangat "suapi Unda ya?" Tawar bocah itu.
Amira terkekeh "wah, kakak Ayu mau disuapi juga kaya adik."
"Biar baba yang suapi Ayu yuk nak, Princess juga belum makan siang kan?" Timbrung Satria dan Ayunda pun mengangguk.
Dan siang itu selepas makan, Arga dan Ayunda tertidur diatas sofabed panjang diruang keluarga, dengan Satria disisi kanan dan Amira disisi kiri memeluk Arga.
"Ra, Rara.."
Amira membuka sedikit kelopak matanya, menatap Satria.
"Kenapa?"
"Aku harus ke kantor."
Wanita itu mengangguk menahan kantuknya. Ia merasa menjadi seorang pemalas sejak tinggal dirumah Serkan.
Hawa dingin di Ankara nyatanya mampu mematahkan semboyan Amira untuk mandi minimal dua kali sehari.
Ia pun tak melakukan aktifitas lain, selain mengurus Arga, Ayu dan terkadang Satria. Hanya terkadang.
"Aku mungkin pulang agak malam bersama papah, sebentar lagi bibi Margareth datang. Kalian bisa mengobrol." Ujar Satria kini berjongkok disamping Amira.
Wanita itu mengangguk "Hati-hati"
Dengan tangkas Amira menahan bibir Satria yang hendak mengecup keningnya.
"Jangan ngasal ya Sat. Aku tinju juga kamu lama-lama." Tegas Amira sambil melotot seraya mencubit bibir tebal Satria tanpa ampun hingga membuat lelaki itu mengaduh kesakitan.
"Ganas kamu ra." Protes Satria menjauh sambil menutup bibirnya dan menatap Amira sengit.
"Pergi sana! Ganggu orang tidur siang aja."
Satria menahan senyumnya, lelaki itu membungkuk bak memberi hormat.
"Saya pamit nyonyah."
Malam menjelang, berkali-kali Ayunda menanyakan keberadaan Satria, meski Amira sudah menjelaskan bahwa Satria bekerja, namun Ayunda masih menerornya dengan pertanyaan "kapan baba pulang?"
Setelah berganti pakaian dan menggosok gigi, kini Ayunda hendak bersiap tidur bersama Arga dan Amira di kamar tamu.
Ayunda menggenggam ujung piyama milik Amira yang sedang memakaikan popok pada Arga.
"Unda."
"Ya anak cantik? Baba? Baba pulang nanti malam sekali."
Gadis cilik itu menggeleng "Ayo tidur dikamar baba? Kita tunggu baba disana. Adik juga mau kok.. ayo Nda.." pinta Ayunda memasang wajah lugu dan penuh pengharapan.
Amira terpaksa mengangguk "Unda telfon baba dulu ya, kita minta izin baba dulu."
Ayunda mengangguk dan bersorak.
Jangan ditanya, karena pasti Satria mengiyakannya. Lelaki itu mengatakan akan pulang sebentar lagi.
Udara dingin menusuk kulit menerpa wajah Amira, wanita itu mencepol rambut panjangnya dengan asal hingga membuat anakan rambutnya berantakan tertiup angin.
Sesekali wanita yang tengah duduk di balkon itu melirik kedua anaknya yang tertidur pulas di dalam sana.
Kedua anaknya.. ya Arga pun anaknya. Amira menyayangi Arga tulus tanpa cela sedikitpun sama halnya dengan cintanya pada Ayunda.
"Kenapa disini? Dingin." Amira tersentak kala melihat Satria kini berdiri disampingnya dengan hidung dan mata memerah.
"Kamu minum?" Tanya Amira acuh tak acuh.
Satria tersenyum tipis "Sedikit, sama papah juga tadi."
Sejenak keduanya sama-sama diam.
Hingga helaan nafas Satria mengintrupsinya.
"Mandi gih." Titah Amira, Satria mengangguk.
Kedua mata itu saling menatap, hembusan angin disana membawa Satria kian merapatkan tubuhnya dengan tubuh mungil Amira.
"Marry me." Bisik Satria seraya menyelipkan anakan rambut nakal Amira.
Wanita itu diam menunduk.
"Ra.."
Amira mendongak menatap Satria yang semakin dekat dengannya.
"Will you marry me.. Again?"
"Menjadi rumah untuk aku pulang, berbagi canda, tawa, bahagia, sedih dan duka bersama? Merawat dan membesarkan anak-anak kita kelak?"
Dengan penuh keberanian Amira kembali menatap mata elang itu, mata yang mampu mengalihkan dunianya, mata yang sarat akan pedar cinta untuknya dan anak-anak.
Lengan Amira menggantung indah di leher Satria.
"Masuk yuk. Dingin." Ujar Amira.
Dalam sekali hentak Amira berada dalam gendongan Satria dan lelaki itu membawa Amira masuk kedalam kamarnya.
Dengan penuh perasaan diletakannya tubuh Amira diatas sofa di dalam kungkungannya.
Entah siapa yang memulai, kedua bibir itu saling bertaut. Hanya bersentuhan.
Rasanya begitu mendebarkan dada, ribuan kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya.
Perlaham namun pasti kedua benda itu beradu, saling membelit dengan hangat dan penuh perasaan.
Begitu nikmat, panas dan memabukan
Semakin dalam dan menuntut, nafas mereka hampir habis namun seolah keduanya tak rela untuk saling melepas belitan itu.
Jemari Amira tak tinggal diam, entah kemana urat malu dan akal sehatnya, wanita itu menuruti nafsunya sebagai seorang wanita dewasa.
Dengan telaten ia menyusuri rahang tegas Satria dan melepas kancing-kancing kemeja slimfit itu hingga dada bidang Satria terekspos bebas.
Usapan tangan hangat nan mungil Amira mengobarkan sesuatu dalam diri Satria.
Namun seolah tersadar, Satria menjaubkan wajahnya dari dada Amira yang bari hendak ia jamah.
"Terlalu jauh, maaf." Bisik Satria.
Pria itu mengancingkan kemabli piyama milik Amira.
Sepersekian detik kemudian Satri berlutut disisi sofa tempat Amira duduk mengumpulkan kesadarannya.
"Marry me.." ujar Satria entah untuk yang keberapa sambil membuka kotak cincin yang kemarin papahnya berikan.
"Cincin ini memiliki banyak sejarah, dengan cincin ini papah dan mamahku terikat penuh cinta dan kasih hingga maut memisahkan mereka. Aku harap kita pun begitu." Imbuh Satria memohon.
"Please Ra.."
"Jangan pergi lagi, jangan tinggalkan kami. Janji?"
Bak menerima lampu hijau Satria tersenyum lebar dan mengarahkan cincin itu untuk dipakaikannya pada Amira.
Kedua mata Amira berkaca-kaca menatap Satria, wanita itu mengangguk.
Cutt
Ini ngetiknya sambil ngantuk, nahan biar nggak tidur siang
KAMU SEDANG MEMBACA
For My Beloved Daughter [END/COMPLETE]✔
Short StoryAda kalanya lebih baik diam daripada sibuk menjelaskan. Ada kalanya lebih baik pergi menjauh daripada harus bertahan. lima tahun berlalu, sejak kejadian yang melulu lantahkan hatinya, menghancurkan semua harapannya, menyisakan sebuah kerinduan tak t...