29

2.1K 72 0
                                    

Tiara sudah berada diperjalanan bersama putranya, dengan hati yang sangat perih, dia terus menitikan air mata.

"Siniin remotnya!"

"Lo, tidur di sofa!"

"Bodo amat!"

Kata-kata dan bayangan Brayen dengan dirinya diawal bersama selalu berputar, yang terus membuatnya semakin larut dalam kesedihan.

Dia terus teringat, saat dirinya bersama di sekolah, Mall, Taman, bahkan di apartemen yang sudah lama membuat mereka bahagia.

"Ya Allah, apa aku kuat jalanin semua?" Tiara terus menitikan air matanya dan membayangkan indahnya keluarga kecil, yang sudah bertahun-tahun mereka bangun, dari awal mula mereka benci, hingga kini mereka bisa bahagia. Namun, segalanya hancur dalam sekejap.

"Mama, udah dong nangisnya, mama mau jajan?" ucap Rey dengan polosnya.

"Nggak sayang, Rey makan yang banyak ya!"

"Ma, jangan nangis dong, Rey nanti juga ikut nangis ni, hua  ...." Rey berpura-pura menangis di depan Tiara.

"Haha, Rey mah gitu." Tiara mencubit pipi putranya dengan gemas.

"Aw, sakit!"

"Makanya, Rey jangan iseng dong!"

"Hehe, iya-iya." Rey nyengir, menampakkan deretan giginya yang rapi.

'Ya Allah, terimakasih, sudah memberikan sedikit kebahagiaan, walaupun saat ini hamba-Mu sedang bersedih' batin Tiara bersyukur.

Saat di perjalanan, Tiara tidak sengaja melihat ada kerumunan warga, dia pun penasaran, akhirnya turun dari mobil itu.

"Rey, tunggu sini ya!" ucap Tiara dan Rey hanya mengangguk patuh.

"Permisi, boleh saya liat?" Tiara menerobos kerumunan itu, hingga dia benar-benar jelas berada diantara 2 orang yang tengah tergeletak tak berdaya. Dia langsung terduduk lemas.

"Mama ...!"

"Papa ...!"

Tiara berteriak sekenceng mungkin, mengguncang bahu kedua orang tuanya, ini adalah terakhir kalinya dia memeluk orang tuanya dengan keadaan yang sudah tak bernyawa dan dilumuri dengan darah.

"Mama, papa, kenapa kalian tega! Aku lagi kesusahan, Ma!"

"Mama, ayo bangun!"

Tiara terus memeluk kedua orang tuanya dengan hati yang sangat kacau. Rey yang lama menunggu di dalam mobil pun tidak sabar, akhirnya ikut turun.

"Mama, ayo tempat oma," ucap Rey yang sudah menerobos kerumunan itu, seketika Tiara menoleh dan memeluknya.

"Ini oma, Sayang." Seketika Rey pun langsung berlari memeluk oma dan juga opanya.

"Oma! Opa! Hua ...  Rey rindu kalian!" Rey berteriak dengan sesegukan.

"Sayang, oma sama opa udah baik-baik di sana, sekarang kita pulang dulu, biar oma sama opa di bawa sama warga ya." Rey pun mengangguk dengan wajah yang masih menyimpan kesedihan.

"Pak, tolong bawa orang tua saya pulang ya, ini alamatnya." Tiara kemudian melajukan mobil ke rumah orang tuanya. Dia menelfon sanak saudara untuk mengurus Zenajah orang tuanya.

"Ma, Rey gak punya opa sama oma lagi, hiks ...." Rey terus saja menangis.

"Telfon papa, Ma!"

"Mama!" Rey menyadarkan Tiara dari lamunannya.

"Eh, iya sayang, jangan gitu dong, mama lagi fokus nyetir nih!" Rey pun hanya diam setelah Tiara memperingatinya.

***

"Gue di mana?" tanya Brayen pada dirinya sendiri.

"Maya!"

Maya tersenyum menghampiri Brayen, dan mencoba menggodanya.

"Iya Bray, lo di sini, sama gue." Tiara mengelus dada Brayen dengan nakal.

"Dasar gila! Mau lo apa ha!" Brayen menghempas tangan nakal itu.

"Bangsat, lepasin! Gue mau pulang!"

Bruk ....

Brayen mendorong tubuh maya hingga terbentur di dinding kontrakan itu.

"Aw ...." Maya memegangi sikunya.

"Bray!"

Maya terus memanggilnya, Brayen pun tidak menghiraukan, dia terus berjalan menuju mobilnya, kemudian melaju dengan kecepatan tinggi.

Di dalam mobil dia terus menelfon Tiara, dia takut jika Tiara khawatir padanya, pasalnya ini sudah lewat dari jam pulang biasanya.

"Ra, ayo angkat dong!" ucapnya dengan terus menelfon sang istri.

"Ah, kenapa gak di angkat sih!" Brayen membanting handphonenya.

Setelah lama diperjalanan, kini Brayen sudah sampai di apartemen, dia mencari keberadaan istrinya. Namun, tidak menemukannya. Dia memutuskan untuk menelfon lagi.

"Halo." ucap Tiara.

"Halo! Lo di mana sih Ra, pulang sekarang!" Brayen membentak Tiara, karena dia memang paling tidak suka jika telfonnya diabaikan.

Setelah lama menunggu, akhirnya yang ditunggu datang juga, Brayen langsung berdiri dan menghampiri Tiara.

"Kamu dari mana aja ha! Telfon gak diangkat, apartemen kosong, kamu kan bisa ngomong sama aku dulu, kamu mau kemana!" Brayen terus membentak Tiara yang sudah banjir air mata.

"Lo boleh Bray bentak gue kaya apa aja, tapi jangan sekarang." ucap Tiara lembut dengan isak tangisnya.

"Maksud kamu apa! Kamu gak ngehargain aku, ha?!"

"Lo mikir pake otak dong Bray, lo tidur sama Maya, dan sekarang orang tua gue udah gak ada, saat gue udah kaya gini, lo malah bentak-bentak gue! Maksud lo juga apa, ha?!" Tangis Tiara semakin menjadi setelah dia menjelaskan semuanya.

"Lo, pikir, gue gak tau soal lo tidur sama Maya?" tanya Tiara yang masih menangis.

"Aku gak tidur sama Maya, Ra!" Brayen mencoba untuk menenangkan Tiara.

"Udah, cukup!"

Disaat mereka berkelahi, di situ lah ada sosok buah hati yang menyaksikan kehancuran keluarganya. Rey mendekat dengan isak tangisnya.

"Mama, papa, jangan berantem. Rey takut!" Rey memeluk kaki Brayen dengan kuat.

Tiara yang menyaksikan putranya sedih, dia semakin sakit hatinya.

"Rey sama mama, jangan sama papa lagi!" Tiara menarik Rey ke pelukannya.

"Dari dulu Bray, seharusnya kita jangan pernah kenal! Gue bener-bener nyesel punya seorang suami yang gak cukup sama 1 istri!" Setelah berkata itu, Tiara meninggalkan Brayen sendiri, dengan keadaan yang sudah kacau, matanya sembab akibat menangis.

"Argh  ... Maya brengsek!" Dia terus menangis dan menjambak rambutnya.

"Tiara, Rey. Aku gak bisa kehilangan kalian!" ucapnya dengan suara parau.

Menikah SMA [Tamat] Belum Revisi, Hati-hati Sakit Mata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang