Hidden Feelings

510 55 34
                                    


"Menurut gue...semuanya soal waktu, dan kemauan dari dalam diri lo. Kalo lo emang niat melupakan dan maafin Jeno, ya lakuin. Jangan ngoyo, jangan entar bilang "iya", tapi di belakang masih mikirin."

"....Gue tau memaafkan itu sulit, tapi ada yang lebih sulit daripada memaafkan, Thal."

"...Apa?"

"Ngerelain seseorang yang udah tau ujungnya pasti nggak sama kita."

"Yaelah, sad boy banget lo, Markkk!! Nih gue kasih tau. Lo ganteng, lo multitalent, lo tinggal ngedipin mata juga cewek nempel sama lo."

"Ya apa bedanya sama lo? Lo cantik, pinter, tapi masih ngarepin orang yang udah nyakitin lo."

Skakmat.

------

Senyum tipis yang menyedihkan itu terukir di bibir Mark. Kemungkinan itu kini semakin jelas di matanya. Sepertinya ia terlalu mengabaikan kata orang-orang yang selalu bilang cinta itu buta.

Memang, dan ia mengakui hal itu. Ia baru memyadari satu hal, yaitu memaksakan takdir. Harusnya dia sadar dari dulu, jika Thal memang diciptakan untuk Jeno. Bukan dirinya.

Bodoh. Mark memaki dirinya sendiri. Yang seharusnya dia lakukan adalah mengacuhkan Thal, bukan kembali menghubunginya dengan sok berani, padahal hatinya sekarang tengah tertatih-tatih.

"Mark..?" Suara Thal terdengar begitu lirih di telinga.

"Hmm?"

"Gue juga sayang sama lo. We are best friend, right...?"

"Yes, we are."

"Mark, gue minta maaf banget sama kelakuan gue, ya. Mungkin gue emang nggak pantes buat dicintai. Dapet sahabat baik kayak lo, gue seharusnya lebih--"

"Princess, stop it."

Ah. Mark tidak punya kemampuan untuk mengendalikan perasaannya yang sudah terlanjur meluap-luap. Panggilan sayang pada Thal itu seharusnya tak keluar dari mulutnya. Ia merasa harus menggantinya. Tapi apa daya, Mark sulit sekali tidak memanggilnya dengan sebutan itu.

"Dengerin gue, Princess. You are precious. You're worth. Lo masih punya gue, Princess."

Sejujurnya Mark benci pada dirinya sekarang. Sesulit itukah belajar merelakan? Kenapa ia masih saja ingin memeluk erat gadis itu sekuat yang ia bisa? Ia dapat mendengar isakan kecil di ujung telepon. Ia ingin Thal tahu bahwa sampai kapapunn ia akan mencintai gadis itu.

"Markeolli..."

"Iya, Princess?"

"Gue takut..."

"Jangan takut, Princess..."

"Gue takut suatu saat gue akan jadi egois," ujar Thal ditengah-tengah ia berusaha menghentikan tangisnya.

-----

"Udah laper?" Jeno mengusap lembut kepala Xavi yang baru saja terbangun dari tidurnya.

"Sayang," Xavi menarik kembali tangan Jeno yang terlepas dari genggaman tangannya.

"Aku mau ambil makanan buat kamu," sahut Jeno sambil melepas tangan Xavi. Ia membalikkan badan, kemudian mengambil nampan dengan piring di atasnya. Xavi memerhatikan langkah Jeno yang sibuk kesana kemari mengurusnya.

Rasa puas dan bahagia serta kemenangan bersarang di benaknya. Lihat, bagaimana Jeno mengurusnya meski ia terlihat lelah; bagaimana Jeno memberinya perhatian kecil, mengusap pelan kepalanya tadi.

Will you be Mine?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang