Manusia yang kuat itu adalah manusia yang pandai dalam menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Mereka pandai dalam memainkan mimik wajah. Menyembunyikan sesuatu yang mereka rasakan adalah hal yang biasa bagi mereka.
Sama halnya dengan seorang anak laki-laki yang kini tengah termenung di dekat jendela kamarnya. Memandang langit malam yang terdapat beribu-ribu bintang dan satu buah bulan yang bersinar dengan terangnya. Tersenyum, namun jauh di lubuk hati yang paling dalam, ia menangis. Entah apa yang ditangisi.
Berbeda halnya dengan keadaan di lantai pertama rumah itu. Lebih tepatnya di sebuah ruang makan yang diisi oleh ayah, ibu dan seorang anak. Mereka seakan lupa bahwa anak mereka yang satunya lagi kembali ke rumah itu.
"Ayah, Atha gak ikut makan bareng kita?"tanya seorang remaja laki-laki berusia 12 tahun itu setelah ia duduk dihadapan pria paruh baya yang ia sebut ayah.
Mendengar itu, seorang wanita paruh baya yang tidak lain adalah ibu dari remaja itu menoleh ke arahnya. "Rio, Atha itu udah besar. Jadi terserah dia mau makan atau tidak,"
"Tapi kan bunda, mungkin Atha ketiduran dan mungkin saja dia lapar,"ucap seorang remaja laki-laki yang bernama Rio.
Pria paruh baya yang tadinya hanya diam saja, kini membuka suaranya."kalau gitu, Rio ayah minta tolong panggilkan Atha,"kata pria itu untuk menyuruh Rio memanggil seseorang yang mereka bicarakan tadi.
Tanpa mengucapkan kalimat apa pun, Rio segera berjalan menuju anak tangga dan menuju kamar adiknya yang pintunya tertutup rapat.
Sedangkan di dalam sana, seseorang yang tengah memainkan ponsel miliknya sedikit terganggu akibat sebuah ketukan dan namanya yang selalu di sebut-sebut
"Atha. Ini abang,"teriak seseorang di luar sana
Lelaki yang awal posisinya itu tengah duduk di kursi meja belajarnya kemudian berdiri menuju pintu dan membukakan seseorang yang sedari tadi mengetuk-ngetik pintu itu. Padahal pintu itu tidak di kunci, tinggal masuk saja. Itu pikiran remaja laki-laki itu.
Setelah membukanya, yang pertama ia lihat adalah wajah datar sang kakak yang merupakan keturunan dari wajah ayahnya.
"Kenapa sih bang, tinggal masuk aja ngapain digedor-gedor. Berisik,"ucap Atha dengan muka balasnya
Hembusan napas itu dikeluarkan sang kakak dan kembali mengubah mimik wajahnya sesantai mungkin. "Heh, kenapa gak bilang sih dari dalem. Sakit nih tangan,"ucap Rio menunjukkan tangannya yang sedikit memerah
"Gitu aja sakit. Lembek,"cibir Atha
Rio berdecak. Enak saja ia dikatakan lembek begini. "Terserah. Turun makan,"ucapnya
"Maleh, abang aja sana,"jawab Atha
"Ayo,"
"Gak mau bang. Atha gak laper,"
Bohong. Masa sih gak lapar, padahal sedari siang ia belum saja menyentuh makanan apapun. Sekedar jajanan saja tidak hanya air yang ia minum. Alasannya memang tidak lapar. Namun, alasan sesungguhnya adalah nanti ia akan bertemu dengan ayah bundanya ia malas terabaikan di sana.
Sedangkan Rio, menyadari kebohongan adiknya. Rio memperhatikan adiknya sedari tadi siang saat mereka kembali dari rumah sang nenek, adiknya tidak turun untuk makan siang alasannya ia mau membersihkan kamarnya dan sekarang, malam ini alasannya malas. Mana mungkin orang disuruh makan jawabannya malas.
"Abang gak mau jawaban. Ayo kita turun,"ucap Rio menarik tangan sang adik.
"Gak mau bang,"jawab Atha berusaha melepas tarikan tangan sang kakak
Rio melepas tarikan tangannya dan menghadap ke arah sang adik. "Ini ayah yang nyuruh,"ucap Rio
Mendengar itu Atha sedikit terkejut, bagaimana tidak yang biasanya ayahnya tidak pernah memintanya untuk makan bersama dan sekarang, ayahnya menyuruh Rio untuk memanggilnya makan malam bersama. Mungkin ayahnya habis kepentok batu yang melayang di udara. Itu pikiran remaja laki-laki itu.
Tanpa pikir panjang lagi, mereka menuruni anak tangga dan berjalan menuju meja makan yang di sana ada. Rio kembali duduk di kursi yang ia tempatkan tadi dan Atha duduk tepas di sebelah Rio.
Suasana canggung menerpa Atha. Sungguh ia tidak menyangka kembalinya ke rumah ini ia akan mendapatkan sesuatu yang ia inginkan.
Setelah acara makan malam itu selesai sang ayah membuka suaranya. "Ini suatu bentuk kasihan saya kepada mu, bukan peduli,"ucap sang ayah kepada Atha
Sedangkan Atha hanya mengangguk paham. Ia sangat paham maksud dari ayahnya.
Rio, yang melihat interaksi antara anak dan ayah itu hanya maklum. Ia memecahkan keheningan dengan membuka suaranya. "Ayah, besok Atha akan bersekolah bersamaku?"tanya Rio.
"Siapa bilang dia akan bersekolah,"jawab sang ayah
Atha memandang wajah ayahnya. Kali ini ia tidak mengerti bukankah seluruh anak itu membutuhkan sekolah sebagai pendidikan lanjutan dari pendidikan orang tuanya. Dan kata ayahnya, dirinya tidak membutuhkan sekolah, memangnya ia sangat pintar sampai tidak bersekolah lagi.
"Tapi kan ayah--"
Ucapan Atha itu terpotong karena sang bunda lebih duku menyanggah. "Kamu mau bersekolah, dan kembali melakukan hal di tahun yang lalu?"tanya sang bunda
"Tapi kan itu tidak akan terulang lagi,"ucap Atha berusaha meyakinkan kedua orang tuanya.
"Apa jaminanya?"tanya sang ayah
Kalau sudah begini, Atha hanya pasrah sejujurnya ia sangat ingin kembali ke rumah sang nenek biarkan ia tinggal sendiri walaupun tidak ada yang membiayai hidupnya setidaknya ia hanya bisa menjauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Berusaha menerima kenyataan Atha hanya tersenyum menanggapi ucapan dari kedua orang tuanya. Setelah selesai ia kembali ke kamarnya dan tidak lupa untuk pamit kepada orang-orang yang berada di meja makan tersebut untuk menjaga sopan santunnya.
.
.
.Sejujurnya, aku tidak pandai menyembunyikan perasaan ini. Namun, hanya saja diriku pandai mengubah perasaan yang sebenarnya agar terlihat baik-baik saja.
~~~~~
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR ATHALLA
Teen Fiction[SELESAI] "manusia itu bisa menilai keburukan orang lain. Namun, apakah manusia itu bisa menilai keburukannya sendiri?" . . Kisah klasik seorang remaja laki-laki yang hanya bisa mengikuti alur kehidupan yang sudah ditentukan. Mencoba untuk memperbai...